Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lingkungan Belajar


Lingkungan Belajar 


PENDAHULUAN
Proses pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan yang menunjukkan interaksi guru dan siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Pembelajaran yang terlaksana dengan baik akan menghasilkan perubahan perilaku bagi subyek belajarnya menjadi lebih baik dan lebih aktif. Siswa merupakan subyek pendidikan paling penting karena tanpa adanya siswa proses pendidikan tidak akan berjalan dengan baik. Pada hakekatnya tujuan dari pendidikan adalah untuk mengembangkan kompetensi siswa agar siap dan dapat menjalani kehidupan. Keberhasilan belajar mengajar di sekolah ditentukan oleh beberapa faktor. Keberhasilan dalam proses pembelajaran dipengaruhi oleh faktor materi, faktor lingkungan, faktor instrumen dan faktor individu. Keberhasilan tersebut dapat diukur melalui kegiatan evaluasi belajar yang merupakan salah satu faktor penentu prestasi belajar siswa.

Faktor-faktor yang dapat menentukan prestasi belajar antara satu siswa dengan siswa yang lain pasti berbeda, sehingga prestasi belajar tiap-tiap siswapun juga akan berbeda satu sama lain. Lingkungan belajar dan kesiapan belajar merupakan salah satu contoh dari faktor tersebut.[1] Pencapaian prestasi belajar peserta didik yang maksimal adalah tujuan dari semua kegiatan pembelajaran, namun pada kenyataan di lapangan, dalam hal ini di sekolah atau lembaga pendidikan masih terdapat siswa yang belum atau tidak mencapai prestasi yang maksimal, baik prestasi dalam hal akademik (kognitif dan psikomotorik) maupun non akademik (afektif). Setiap satuan pendidikan akan menciptakan suatu lingkungan belajar yang akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap prestasi belajar siswa. Pengaruh yang diberikan dapat berupa pengaruh yang positif maupun negatif.

Lingkungan belajar disebut juga lingkungan pendidikan yang merupakan tempat berlangsungnya kegiatan belajar yang mendapatkan pengaruh dari luar dalam keberlangsungan kegiatan tersebut. Lingkungan belajar terdiri atas bermacam-macam jenis sehingga cara untuk menciptakan lingkungan belajar yang baik pun beragam disesuaikan dengan kondisi sekolah dan kebutuhan peserta didik sebagai subyek belajar. Oleh karenanya, makalah ini akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan penciptaan lingkungan belajar.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Lingkungan Belajar
Lingkungan belajar berasal dari dua kata, yaitu lingkungan dan belajar. Istilah lingkungan secara harfiah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai daerah (kawasan dan sebagainya) yang termasuk di dalamnya, bagian wilayah dalam kelurahan yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa, golongan; kalangan: ia berasal dari ~ bangsawan, semua yang memengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan: kita harus mencegah pencemaran, dan konfigurasi sumber daya yang tersedia bagi pengguna[2]. Lingkungan yang dalam Bahasa Inggris dikatakan environment diartikan sebagai suatu tempat (suasana) yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seseorang.[3]

Kata ke dua adalah belajar. Banyak ahli yang mengungkap pengertian belajar, namun secara umum belajar diartikan sebagai perubahan yang relatif menetap pada diri individu. Dari perpaduan kata lingkungan dan belajar, secara sederhana dapat dirumuskan pengertian lingkungan belajar yaitu suatu tempat atau suasana (keadaan) yang memppengaruhi proses tingkah laku manusia. Di samping itu, esensi lingkungan belajar menurut Blocher merupakan suatu konteks fisik, sosial dan psikologis yang dalam konteks tersebut anak belajar dan memperoleh perilaku baru.[4]




[1]Anisa Widyaningtyas, Sukarmin, Yohanes Radiyono. Peran Lingkungan Belajar dan Kesiapan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Fisika Siswa Kelas X Sekolah Menengah Atas 1 Pati.Jurnal Pendidikan Fisika (2013) Vol.1 No.1 hlm 136
[2]https://kbbi.kemdikbud.go.id diakses pada tanggal 25 November 2019
[3] Rita Mariyana, Ali Nugraha, Yeni Rachmawati. 2010. Pengelolaan Lingkungan Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. hlm. 16
[4] Rita Mariyana, Ali Nugraha, Yeni Rachmawati. 2010. Pengelolaan Lingkungan Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. hlm.16-17


Lingkungan belajar merupakan salah satu bagian dalam proses belajar untuk mencapai tujuan belajar, dimana lingkungan tersebut akan mempengaruhi kegiatan belajar-mengajar di sekolah (Winarno, 2012). Menurut Wahyuningsih dan Djazari (2013), lingkungan belajar merupakan lingkungan yang berpengaruh terhadap proses belajar baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi individu dan sebaliknya, individu juga dapat mempengaruhi lingkungan (Yusuf, 2011). Lingkungan belajar seperti sarana dan prasarana, luas lingkungan, penerangan dan kebisingan memiliki pengaruh yang besar terhadap penilaian menyenangkan atau tidaknya lingkungan belajar sehingga dapat mempengaruhi motivasi dan proses pembelajaran. Kondisi ruang kelas yang nyaman akan membantu siswa untuk lebih mudah dalam berkonsentrasi, memeperoleh hasil belajar yang maksimal dan dapat menikmati kegiatan pembelajaran dengan baik (Samodra, 2013).[1]

Muhammad Saroni mengemukakan bahwa:[2] Lingkungan belajar adalah: Segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Lingkungan ini mencakup dua hal yaitu lingkungan fisik dan lingkungan social, kedua aspek lingkungan tersebut dalam proses pembelajaran haruslah saling mendukung, sehingga siswa merasa kerasan di sekolah dan mau mengikuti proses pembelajaran secara sadar dan bukan karena tekanan ataupun keterpaksaan. (Saroni, 2006: 82)

            Sejalan dengan itu, Indra Djati Sidi mengemukakan bahwa:[3] Lingkungan belajar sangat berperan dalam menciptakan suasana belajar menyenangkan, lingkungan tersebut dapat meningkatkan keaktifan belajar. Oleh karena itu, lingkungan belajar perlu ditata semestinya.”(Sidi, 2005: 148)

Lingkungan belajar merupakan tempat dimana terjadinya aktivitas dan proses belajar mengajar (Naibaho dkk, 2012). Lingkungan belajar merupakan segala sesuatu yang digunakan dalam proses pembelajaranyang meliputi kondisi, keadaan maupun fasilitas yang ada di lingkungan tersebut (Triyogo, 2014). Melalui lingkungan belajar, seseorang bisa mendapatkan pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung yang dipengaruhi oleh lingkungan alami mapun lingkungan sosial (Nismawati, 2015). Menurut Baharuddin (2007) dalam Ningrum (2013), lingkungan belajar merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan dan memberikan pengaruh bagi siswa dalam proses belajarnya. Lingkungan belajar tidak hanya terfokus pada fasilitas yang baik saja, tetapi perlu diperhatikan juga terkait kenyamanan dan ketenangan lingkungannya agar perhatiannya dapat terpusat pada pelajaran. Lingkungan belajar yang baik menurut Saifuddin (2014) adalah lingkungan yang menantang dan merangsang untuk belajar serta rasa aman dan puas sehingga dapat mencapai tujuan belajar yang diharapkan. Secara keseluruhan, lingkungan belajar meliputi fisik, sosial, intelektual, nilai-nilai dan hubungan dengan pendidik (Yuliani, 2013). Menurut Prayitno (2009), lingkungan pembelajaran terbagi menjadi lingkungan fisik, hubungan sosio-emosional, lingkungan teman sebaya dan masyarakat dan pengaruh dari lingkungan asing. Lingkungan belajar tidak hanya ruang kelas saja tetapi juga meliputi design ruangan seperti laboratorium, perpustakaan, ruang tutorial dan tempat belajar non formal (United Nations of Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), 2012).[4]

Lingkungan belajar dapat pula secara sepesifik diartikan sebagai iklim ruang kelas. Iklim ruang kelas ini merujuk pada lingkungan fisik ruangan, hingga tingkatan di mana ruangan itu aman dan tertib, serta atmosfer emosionalnya. Iklim ruang kelas yang positif sangat penting bagi pembelajaran. Tidak ada strategi mengajar atau model mengajar yang akan efektif jika iklim ruang kelasnya negatif.[5]

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa lingkungan belajar merupakan tempat terjadinya proses belajar mengajar. Lingkungan belajar dapat mempengaruhi keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Lingkungan belajar bukan hanya benda mati yang ada disekitar tempat belajar, tetapi orang-orang yang ada di tempat tersebut juga termasuk lingkungan belajar.



[1] Maulin Halimatunnisa. 2017.  Hubungan Lingkungan Belajar dengan Konsentrasi Belajar Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. hlm.  11-12
[2]Muhammad Saroni, Manajemen Sekolah, Kiat Menjadi Pendidik Yang Kompeten,(Yogyakarta: Arruz, 2006), hlm. 82.
[3]Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm 148.
[4]Maulin Halimatunnisa. 2017.  Hubungan Lingkungan Belajar dengan Konsentrasi Belajar Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. hlm.13
[5] Paul Eggen. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta : PT Indeks Permata Puri Media. hlm. 43




B. KlasifikasiLingkungan Belajar
Lingkungan belajar memberi pengaruh kepada proses dan hasil perilaku siswa, baik secar langsung maupun tidak langsung. Penyediaan lingkungan belajar bagi siswa hendaknya mendapat prioritas utama. Hal ini meupakan factor penentu keberhasilan dalam membangun kemampuan perilaku siswa.Lingkungan belajar oleh para ahli disebut dengan lingkungan pendidikan. Arif Rochman menyatakan bahwa lingkungan pendidikan merupakan segala sesuatu yang ,elingkupi proses berlangsungnya pembelajaran.[1] Selanjutnya Rita Mariyana menyatakan bahwa lingkungan belajar merupakan: Sarana bagi siswa dapat mencurahkan dirinya untuk beraktivitas, berkreasi, sehingga mereka mendapatkan sejumlah perilaku baru dari kegiatannya tersebut. Dengan kata lain, lingkungan belajar dapat diartikan sebagai “laboratorium” atau tempat bagi siswa untuk bereksplorasi, bereksperimen dan mengekspresikan diri untuk mendapatkan konsep dan informasi baru sebagai wujud dari hasil belajar.[2]

Sartain mengemukakan bahwa lingkungan dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga), yaitu: 1.      Lingkungan alam atau luar (external or physicalenvironment), yaitu segala sesuatu yang ada dalam dunia ini yang bukan manusia seperti rumah, tumbuh-tumbuhan, air, iklim, dan hewan. 2.      Lingkungan dalam (internal environment), yaitu segalasesuatu yang ada dalam diri kita. 3.      Lingkungan sosial (social environment), yaitu semua orangatau manusia lain yangmempengaruhi kita. Pengaruhlingkungan sosial itu ada yangkita terima secara langsung danada yang tidak langsung, melaluipergaulan sehari-hari denganorang lain, keluarga, temanteman,kawan sekolah, dan temansepekerjaan.

Sedangkan Nana Syaodih mengemukakan bahwa lingkungan pendidikan mencakup:
1.      a) Lingkungan Fisik
Terdiri atas lingkungan alam dan lingkungan buatan manusia yang kadang memberikan dukungan dan hambatan dalam berlangsungnya proes pendidikan
2.     b)  Lingkungan social
Merupakan lingkungan pergaulan antar manusia, pergaulan antar pendidikdengan peserta didik serta orang-orang lainnya yang terlibat dalam interaksi pendidikan.
3.     c)  Lingkungan intelektual
Mencakup perangkat lunak seperti sistem program-program pengajaran, media, dan sumber belajar
4.      d) Lingkungan lainnya
Seperti nilai kemasyarakatan, ekonomi, social, politik, dan estetika.[3]



[1]  Arif Rochman, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009), hlm.195
[2]Rita Mariyana, dkk.,Pengelolaan Lingkungan Belajar, (Jakarta: Kencana Media Group,2010), hlm.43.
[3]Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Rosdakarya, 2004), hlm.5



C. Aspek- Aspek dalam Lingkungan Belajar
Ada beberapa aspek yang mempengaruhi lingkungan belajar yang dihadapi siswa, yaitu :
1.        Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah persekutuan hidup terkait dari masyarakat negara yang luas.[1] Hasan Langgulung menyatakan bahwa:[2]
Keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat di mana hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya sebagian besarnya bersifat hubungan-hubungan langsung.(Langgulung, 1995: 346)

       Dalam arti yang sempit menuju suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan istri atau dengan kata lain keluarga adalah perkumpulan yang halal anatar seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat terus menerus di mana yang satu merasa tentram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat.[3]

Keluarga merupakan masyarakat alamiah yang pergaulan di antara anggotanya bersifat khas. Dalam lingkungan ini terletak dasar-dasar pendidikan. Di sinilah pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan pergaulan yang berlaku di dalamnya, artinya agar diketahui dan diikuti oleh seluruh anggota keluarga.

Dikatakan  bahwa dasar-dasar pengalaman yaitu melalui rasa kasih sayang dan penuh kecintaan, keutuhan akan kewibawaan dan nilai-nilai kepatuhan, justru karena pergaulan yang demikian itu berlangsung dalam hubungan yang  bersifat kepribadian wajar, maka penghayatan terhadapnya mempunyai arti yang amat penting, sehingga keluarga harus mendapat pimpinan ayah dan ibu sebagai kepala keluarga dwitunggal yang mempunyai tanggung jawab. Demikian juga Islam memerintahkan kepada kedua orang tua untuk berlaku sebagai pemimpin keluarga. Sebagaiman firman Allah dalam Q.S. at-Tahrim (66) : 6 yang berarti:
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…[4]
Dari ayat di atas disimpulkan bahwa orang tua mempunyai dua fungsi yaitu:
a.       Orang tau sebagai pendidik keluarga.
b.      Oang tua sebagai pemelihara dan pelindung keluaga[5]

2.      Lingkungan Sekolah
       Lingkungan sekolah adalah lembaga pendidikan formal dimana kegiatan belajar mengajar berlangsung. Seorang pakar dalam bidang pendidikan menyatakan bahwa: “Kondisi lingkungan sekolah yang juga dapat mempengaruhi kondisi belajar antara lain adanya guru ya  baik dalam yang cukup memadai sesuai dengan jumlah bidang studi yang ditentukan, peralatan belajar yang cukup lengkap, gedung sekolah yang memenuhi persyaratan bagi berlangsungnya proses pembelajaran yang baik, adanya teman dan keharmonisan di antara semua personil sekolah.[6]

Lebih lanjut Suhardanan menyatakan bahwa lingkungan belajar di sekolah meliputi :
a.       Lingkungan fisik sekolah seperti sarana dan prasarana belajar, sumber-sumber belajar, dan media belajar.
b.      Lingkungan sekolah menyangkut hubungan hubungan siswa dengan teman-temannya dan siswa dengan guru-gurunya.
c.       Lingkungan akademis yaitu suasana sekolah dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan berbagai kegitan kurikuler.[7]

3. Lingkungan Masyarakat
     Sebagai salah satu lingkungan terjadinya pendidikan, masyarakat mempunyai pengaruh yang besar terhadap berlangsungnya segala kegiatan yang menyangut masalah pendidika. Dilihat dari materi jelaslah bahwa kegiatan pendidikan di masyarakat bersifat informal yang terdiri dari generas muda yang akan meneruskan kehidupanmasyarakat itu sendiri. Adapun materi itu berupa kegiatan keagamaan, sosial serta kegiatan positif lainnya. Oleh karena itu, bahan apa yang diberikan kepada anak didik sebagai generasi tadi harus disesuaikan dengan keadaan dan tuntutan masyarakat di mana kegiatan itu berlangsung. Pendidikan dalam pendidikan masyarakat ini boleh dikatakan pendidikan secara langsung. Pendidikan yang dilaksanakan dengan tidak mendidik dirinya sendiri, mencari pengetahuan dan pengalaman sendiri dan keagaamaan masyarakat. Melalui pendidikan inilah masyarakat mengajarkan bagaimana bertingkah laku dalam hidup masyarakat.

       Muhibbin Syah, menyatakan bahwa lingungan belajar yang mempengaruhi proses belajar anak terdiri dari dua macam yaitu :
1)      Lingkungan sosial terdiri dari lingkungan sosial sekolah, lingkungan social siswa, dan lingkungan keluarga.[8] Lingkungan sekolah yang termasuk dalam lingkungan social adalah seluruh warga sekolah, baik itu guru, karyawan, maupun teman-teman sekelas semuanya dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa . para guru yang dapat menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan juga dapat memperlihatkan teladan yang baikkhususnya dalam hal belajar seperti rajin membaca, hal tersebut dapat memberikan motivasi yang posotif bagi belajar siswa. Demikian halnya apabila teman-teman sekelas siswa di sekolah mempunyai sikap dan perilaku yang baik serta memiliki etos kerja baik seperti misalnya rajin belajar akan berpengaruh positif terhadap belajar siswa.
2)      Lingkungan non-sosial menyangkut gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, sumber belajar, keadaan cuaca, pencahayaan, dan waktu belajar yang digunakan siswa.[9] Gedung merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan. Siswa dapat belajar dengan baik apabila gedung sekolah disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Rumah dengan kondisi yang sempit dan berantakan serta kondisi perkampungan tempat tinggal siswa yang sangat bising sangat tidak mendukung belajar siswa. Siswa membutuhkan tempat yang nyaman dan tenag agar dapat berkonsentrasi dalam belajarSumber belajar siswa seperti buku dapat mempermudah dan mempercepat belajar anak. Ketersediaan sumber belajar akan mendorong siswa untuk belajar. Sumber belajar siswa yang terbatas akan menghambat siswa dalam belajar.




[1]Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm.74.
[2]Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa PsikologiPendidikan,(Jakarta: Alhusna Rikza, 1995), hlm. 346
[3]Ibid., hlm.355.
[4] Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra 1989), hlm.941.
[5]Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm.75.
[6] Kartini Kartono, Pengantar Ilmu mendidik Teoritis, (Bandung: Mandarmadya, 1992), hlm.115-117.
[7]Turshan Hakim, Interaksi Belajar Mengajar, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm.18.
[8]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Rosdakarya, 2011), hlm.137.
[9]Ibid., hlm.137.


D.  Desain dan Karakteristik Lingkungan Belajar yang Ideal
Berdasarkan hasil kajian kontekstual kelas, Farisi (2006) mengatakan bahwa terjadinya kejenuhan, kesulitan, mis-informasi, mis-konsepsi, lemahnya estimasi diri, dan munculnya pandangan negatif siswa terhadap pembelajaran, di antaranya sebagai implikasi kurangnya guru memperhatikan masalah penataan lingkungan kelas. Akibatnya, ketercapaian misi dan tujuan pembelajaran menjadi sesuatu yang dilematis. Menurut Savage (1996), agar pembelajaran kondusif, seorang guru harus memiliki pengetahuan tentang siswa, ekspektasi pengalaman siswa sebelumnya dan mengembangkannya secara optimal selama proses pembelajaran.[1]

Hal senada juga diungkapkan oleh Creech (2014), yaitu dari pengalaman mengajar yang dilakukannya, menyatakan bahwa faktor-faktor kondisi internal maupun eksternal guru dan siswa dapat memberikan kontribusi yang berharga dalam membangun lingkungan pembelajaran yang kondusif. Dengan demikian, rekayasa pembelajaran yang utama adalah penyediaan sumber-sumber belajar. Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Ia hanya salah satu bagian dari sumber belajar. Semua sumber belajar dirancang agar dapat mendorong prakarsa dan proses belajar menjadi lebih efektif, efisien dan menarik agar pembelajar dapat mendorong prakarsa dan proses belajar menjadi lebih efektif, efisien dan menarik agar pemeblajar tetap betah untuk terus belajar (Dwiyogo, 2008). Oleh karena itu, penataan atau pengorganisasian kelas merupakan hal utama dalam menunjang terciptanya lingkungan belajar yang kondusif.

Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Good dan Brophy (1991), guru harus memiliki dua pengetahuan yang patut dipahami agar pembelajarannya efektif dan efisien, yaitu:
1.      subject matter knowledge
2.      action-system knowledge.
Subject matter knowledge mencakup informasi spesifik yang dibutuhkan untuk menyajikan isi pelajaran. Selanjutnya, action-system knowledge menyangkut pengetahuan siapa dan bagaimana anak belajar dan berkembang, bagaimana kelas dikelola, bagaimana informasi/konsep diterangkan, dan bagaimana tugas-tugas secara efektif diberikan kepada siswa.

Kelas pembelajaran berfungsi sebagai konteks psikologis dan sosiokultural bagi setiap siswa untuk menciptakan makna-makna personal (Shaver, 1991: Bell, 1993). Dalam terminologi Gagne (1985), hal ini diartikan sebagai penciptaan lingkungan/kondisi psikologis dan sosiokultural yang dapat memicu (stimulus situation) dan memungkinkan siswa melakukan interaksi. Dengan kata lain, hakikat penciptaan lingkungan kelas pembelajaran di SMP tersebut, secara psikologis menarik menyenangkan dan membetahkan. Secara sosiokultural tercipta suasana yang interaktif, komunikatif, dan menantang bagi siswa.

Vygotsky (2003) juga menekankan pentingnya hubungan antar individu dan lingkungan sosial dalam rangka pembentukan pengetahuan seseorang. Dikatakan bahwa interaksi sosial antar individu dengan orang lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Artinya, bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila siswa belajar secara kooperatif dengan siswa lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive). Karena itu, keberadaan seorang pembimbing yang lebih mampu, baik guru atau orang dewasa sangat diperlukan.

Mengingat pentingnya lingkungan kelas pembelajaran, Les Gallay & Suet-Ling Pong (2004), menyimpulkan bahwa iklim kelas dapat mempengaruhi pencapaian prestasi akademik dan non akademik. Di samping itu, penelitian yang dilakukan oleh Silalahi (2008) menunjukkan bahwa iklim (lingkungan) kelas juga berpengaruh terhadap motivasi belajar. Meskipun kedua penelitian tersebut berbeda, keduanya memiliki aspek yang sama, yaitu bahwa situasi, suasana atau kondisi lingkungan, baik sekolah maupun di kelas sangat penting untuk pencapaian target akademik maupun non akademik.

Lingkungan belajar dapat diartikan dengan kondisi, pengaruh, dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik, sosial dan intelektual mempengaruhi siswa, (Bloom 1964). Lingkungan kelas adalah organisasi sosial informal dan aktivitas guru kelas yang secara spontan mempengaruhi tingkah laku. Menurut Hoy & Forsyth (1986) lingkungan itu analog dengan kepribadian pada manusia. Artinya, masing-masing kelas mempunyai ciri (kepribadian) yang tidak sama dengan kelas-kelas yang lain, meskipun kelas itu dibangun dengan fisik dan bentuk  atau arsitektur yang sama.

Lingkungan kelas adalah atmosfer, suasana, atau iklim yang terdapat dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Suasana ini merupakan hasil interaksi antara guru dan siswa, serta interaksi antar siswa. Baek & Choi, (2002) menambahkan bahwa lingkungan kelas seperti halnya kepribadian pada manusia, dapat memiliki kualitas yang berbeda. Misalnya, kehangatan dan dukungan ataupun kekakuan dan ketegasan. Dengan kata lain, masing-masing kelas memiliki lingkungan yang berbeda-beda dan unik meskipun dibangun dalam struktur dan arsitektur yang sama.

Situasi lingkungan kelas, merupakan tempat terjadinya berbagai interaksi dan pengalaman yang dapat membentuk sikap siswa terhadap berbagai hal seperti sikap terhadap sekolah, sikap terhadap teman sebaya, dan sikap terhadap subjek yang tengah dipelajari (Cheng, 1994). Selama proses pembelajaran, berbagai hal yang terjadi dalam lingkungan kelas, seperti perlakuan guru terhadap siswa atau hubungan antar siswa dapat menimbulkan perasaan atau pemikiran tertentu di benak siswa. Perasaan dan kurangnya pemikiran ini, positif maupun negatif, ketika terjadi berkali-kali, kemudian diasosiasikan dengan mata pelajaran itu sendiri. Melalui proses asosiasi tersebut, sikap terhadap suatu mata pelajaran dapat dibentuk.

Menurut Winataputra (2003:16), penataan lingkungan belajar yang tepat berpengaruh terhadap tingkat keterlibatan dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Pada prinsipnya, lingkungan fisik kelas yang baik adalah ruang kelas yang menarik, efektif, dan mendukung siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Berkaitan dengan hal tersebut prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan oleh seorang guru dalam menata lingkungan fisik kelas sebai berikut:
1)      visibility (keleluasaan pandangan)
2)      accesibility (kemudahan dicapai)
3)      fleksibilitas (keluwesan)
4)      kenyamanan
5)      keindahan.
Moos (1979) mengemukakan ada tiga dimensi umum yang dapat digunakan untuk mengukur lingkungan psikis dan sosial. Ketiga dimensi tersebut adalah dimensi hubungan (relationship), dimensi pertumbuhan dan perkembangan pribadi (personal growth/development) dan dimensi perubahan dan perbaikan sistem (system maintenance and change). Di samping ketiga dimensi di atas, Arter (1989) menyebutkan satu dimensi sebagai pengembangan dari dimensi-dimensi Moons, yaitu dimensi lingkungan fisik (physical environment).

Menurut Marzano & Marzano (2003) berbagai hasil studi menunjukkan bahwa  pengelolaan kelas adalah salah faktor yang sangat berpengaruh terhadap prestasi siswa. Pengetahuan dan keahlian di bidang pengelolaan kelas adalah tanda keahlian  dalam mengajar; stres dan merasa payah karena kesulitan di dalam pengelolaan kelas  adalah tanda awal burn-out dalam pengajaran (Emmer & Stough, 2001). Menurut Brophy dan Evertson (1978) ada empat tahap umum mengelola kelas  menurut kebutuhan terkait umur, yaitu:[2]
1.      Selama TK hingga tahun-tahun awal SD diperlukan pengajaran langsung;
2.       Masa pertengahan SD selain rutinitas kelas, prosedur-prosedur baru juga  perlu diajarkan secara langsung, dipantau, dan dipertahankan;
3.      Akhir masa SD anak-anak mulai kritis (menguji dan menentang otoritas),  oleh karena itu diperlukan penanganan yang lebih efektif di samping senantiasa memberikan motivasi pada siswa yang lebihtertarik kehidupan
3.sosial ketimbang pendapat guru; dan
4.      Akhir SMA, tantangannya adalah mengelola kurikulum; menyesuaikan  materi dengan minat dan kemampuan siswa, serta membantu siswa dalam  self-managing.

Manajemen kelas sebagai teknik yang digunakan untuk memelihara  lingkungan yang positif dan produktif, terbebas dari berbagai masalah perilaku. Tetapi  bukan berarti, membuat siswa patuh dan diam. Ada tiga alasan mengapa kita perlu  mengelola kelas, sebagai berikut:
a.       Lebih banyak menggunakan waktu untuk pembelajaran (allocated time)
Berdasarkan pengamatan, waktu aktual yang digunakan untuk pembelajaran di  kelas sangat sedikit. Lebih banyak waktu yang digunankan untuk interupsi, disrupsi,  terlambat memulai, dan peralihan yang tidak efisien dan efektif (Karweit & Slavin,  1981). Oleh karena itu, salah satu tujuan dari manajemen kelas adalah mengalokasikan  waktu yang lebih banyak untuk pembelajaran “allocated time” (Woolfolk, 2009: 298).  Meskipun demikian, tidak menjamin bahwa pengalokasian waktu yang banyak secara otomatis akan meningkatkan prestasi anak kalau tidak digunakan secara efektif.  Waktu yang digunakan siswa untuk terlibat aktif dalam tugas belajar disebut engaged  time (time on task). Bila siswa bekerja dengan tingkat kesuksesan yang tinggi dan benar-benar memahami materi, maka waktu yang digunakan disebut academic learning time.Ini juga merupakan tujuan lain dari manajemen kelas, yaitu menjaga agar siswa tetap  terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar. Penggunaan waktu secara efisien dan  efektif juga akan memprediksi prestasi siswa maupun keputusan drop-out siswa SMA  (Fredricks, Blumenfeld & Paris, 2004).

b.      Akses ke pembelajaran
Setiap kegiatan kelas memiliki aturan partisipasi yang berbeda-beda. Aturan itu  terkadang diuraikan secara jelas, tetapi kadang-kadang juga implisit dan tidak  dinyatakan. Agar siswa dapat berpartisipasi dalam suatu kegiatan, ia harus memahami  struktur partisipasinya. Tujuan lain dari manajemen kelas adalah memberikanakses  ke pembelajaran kepada seluruh siswa. Harus dipastikan bahwa seluruh siswa tahu  bagaimana cara berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kelas (Emmer & Stough, 2001).

c.       Manajemen untuk Self-Management
      Tujuan ketiga dari manajemen kelas adalah membantu siswa agar lebih mampu  mengelola dirinya. Jika guru hanya fokus pada kepatuhan siswa, maka ia akan  menghabiskan waktu pada mengajar, memantau dan mengoreksi. Siswa akan  memandang sekolah tidak lebih dari mengikuti peraturan, bukan pada pemahaman tentang pengetahuan akademik. Sementara struktur  belajar yang kompleks seperti cooperative learning atau problem-bases learning sangat  membutuhkan self management siswa, bukan kepatuhan siswa (McCaslin & Good,  1998). Peralihan dari menuntut kepatuhan ke mengajarkan self-regulasi dan self-control adalah peralihan yang fundamental. Pengembangan self-control itu sendiri merupakan  pundamental dari kedisiplinan. Pengetahuan dan keterampilan yang tidak dilandasi dengan self-control konsekwensi yang ditimbulkan tidak maksimal.[3] (Tom Savage, 1999 dalam Woolfolk, 2009: 301).



[1]Moh. I. Farisi. 2006. Penataan Lingkungan. KelasPembelajaran.di SD dari Perspektif Konstruktivisme. Jurnal Didaktika, hlm. 25-42.

[2]Lihat dalam Usman. 2011. Menciptakan Lingkungan Belajar dengan Latar Motivasi dalam Belajar dan Pembelajaran Menuju Terbentuknya Perkembangan Pribadi , Sosial, dan Moral. Jurnal Sulesana. Vol 6 No 2.hlm. 157-160
[3]Lihat Tom Savvage dalam Anita Woolfolk, 2009. Educational Psychology: Active Learning Edition . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 301


Siswa belajar self-control dengan membuat pilihan-pilihan  dan menghadapi konsekuensinya, menetapkan tujuan dan prioritas, mengelola  waktu, berkolaborasi belajar, memediasi perselisihan, mengembangkan hubungan dan  saling mempercayai dengan guru dan teman sekelas. Mendorong self-management membutuhkan waktu ekstra. Guru yang hanya memilki sistem manajemen kelas yang efektif, tetapi lalai di dalam menerapkan self-management sebagai tujuan akan  berdampak pada kesulitan siswa untuk bekerja secara mandiri (Woolfolk, 2009: 301).

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh para psikolog  pendidikan di Universtas of Texas Austria tentang manajemen kelas, diketahui bahwa  ada perbedaan yang mencolok tentang manajemen kelas di berbagai sekolah. Ada  yang memiliki masalah manajemen yang sedikit sementara sekolah lainnya memiliki  masalah yang banyak. Efektifitas guru diukur/diidentifikasi berdasarkan kualitas  manajemen kelasnya dan prestasi siswanya. Dari hasil penelitian ini dikembangkanlah  prinsip-prinsip manajemen kelas. Prinsip-prinsip tersebut selanjutnya diajarkan  kepada guru-guru baru dan hasilnya cukup positif. Para guru yang menerapkanprinsip yang telah dipelajari memiliki masalah yang lebih sedikit, siswanya  menghabiskan waktu lebih banyak, sedikit interupsi, dan prestasinya lebih tinggi.[1]

Sebagai contoh pada Sekolah Dasar (SD), guru mengajar 20 sampai 30 murid  dengan kemampuan yang bervariasi setiap hari. Tanpa pengaturan dan prosedur yang  efisien, maka banyak waktu yang dihabiskan oleh guru untuk menjawab pertanyaan  yang sama berulang-ulang. Di tingkat SMP, guru harus melayani lebih dari 100 siswa  setiap hari dengan menggunakan lusinan bahan pada ruangan yang berbeda-beda.  Siswa SMP sudah berkemungkinan menentang kebijakan-kebijakan guru. Untuk mengatasi masalah ini, telah dilakukan penelitian oleh Emmer & Evertson (2001)  terhadap manajer-manajer efektif sebagai dasar untuk merencanakan prosedur dan  peraturan yang akan diterapkan di tingkat SMP.

Adapun secara umum karakteristik lingkungan belajar yang ideal;
        a. Nyaman dan Indah
Penataan lingkungan kelas yang mempertimbangkan aspek kenyamanan dan keindahan merupakan syarat penting bagi terciptanya lingkungan belajar yang kondusif. Interaksi guru dan siswa maupun interaksi siswa antar siswa sangat dipengaruhi oleh suasana kelas yang indah dan nyaman. Kenyamanan dan keindahan terdiri atas kenyamanan psikis dan kenyamanan fisik. Kenyamanan psikis adalah kenyamanan kejiwaan (rasa aman, tenang, gembira, dan sebagainya) yang terukur secara subjektif (kualitatif). Kenyamanan fisik dapat terukur secara obyektif (kuantitatif), yang meliputi kenyamanan spasial, visual, auditorial dan termal.
Dalam mencapai keberhasilan belajar, lingkungan kelas merupakan salah satu faktor penunjang tercapainya hasil belajar. Tempat dan lingkungan belajar yang nyaman dan indah memudahkan siswa untuk berkonsentrasi. Dengan penataan lingkungan kelas yang nyaman dan indah, siswa mendapatkan hasil belajar yang lebih baik dan dapat menikmati proses belajar dengan tenang. Pada gilirannya, siswa dapat bereksperimen dan mengekspresikan diri untuk mendapatkan konsep dan informasi baru sebagai wujud dari hasil belajar.[2]

2        b. Ruang Kelas yang Terata Rapi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penciptaan lingkungan kelas pembelajaran yang kondusif, peran siswa sebagai subjek belajar menjadi syarat mutlak. Berangkat dari konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar, dalam konsep ini yang penting adalah belajarnya siswa. Kalau kita menganggap mengajar sebagai proses mengatur lingkungan, dalam kegiatan pembelajaran atau tidak ditentukan oleh selera guru tetapi sangat ditentukan oleh siswa itu sendiri (Degeng, 1998). Artinya, mau belajar apa siswa dari topik yang harus dipelajari, bagaimana cara mempelajarinya, bukan hanya guru yang menentukan tetapi juga siswa. Siswa memiliki kesempatan untuk belajar sesuai dengan gayanya sendiri.

Penataan lingkungan kelas pembelajaran yang kondusif sangat diperlukan agar “si belajar” atau “si pebelajar” mampu melakukan kontrol terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan belajar yang memberikan kebebasan kepada “si belajar” atau “si pebelajar” untuk melakukan pilihan-pilihan mendorong “si belajar” atau “si pebelajar” untuk terlibat langsung secara fisik, emosional, dan mental dalam proses belajar sehingga dapat memunculkan kegiatan yang kreatif-produktif. Belajar efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Oleh karena itu, “si belajar: atau “si pebelajar” perlu diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan sesuai dengan kemampuannya (Degeng, 1998).




[2]Rita Mariyana dan Ali Nugraha, Yeni Rachmawati. 2010. Pengelolaan Lingkungan Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. hlm. 17
E. Strategi Pembelajaran, Penggunaan Media, dan Dukungan Guru
Strategi pembelajaran yang dimaksudkan dalam hal ini adalah strategi pengorganisasian aktivitas belajar yang mendukung terciptanya lingkungan belajar yang kondusif.Aktivitas-aktivitas belajar yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah aktivitas fisikal, psikologis, dan sosial yang dilakukan siswa selama pembelajaran di kelas.Ketiga bentuk aktivitas belajar ini berkaitan dengan pengembangan intelektual, kesadaran diri, dan kesadaran sosial siswa.

Tujuan pengorganisasian aktivitas-aktivitas belajar siswa tersebut untuk menciptakan kondisi-kondisi belajar yang dibutuhkan siswa untuk melakukan kaitan-kaitan intelektual yang bisa membantunya belajar dan maju sesuai dengan perbedaan tahapan perkembangannya. Di samping itu, tujuan pengorganisasian aktivitas-aktivitas belajar siswa juga untuk menciptakan aktivitas-aktivitas belajar siswa yang asli dan mendasar dalam upaya mendorong pembentukan the child’s co-authoring knowledge (Kozulin, 1998).

Dengan demikian, apa yang dilakukan guru sejalan dengan apa yang disarankan oleh Degeng (1989), ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam mempreskripsikan strategi penyampaian, yaitu (1) media pembelajaran, (2) interaksi siswa dengan media, dan (3) struktur pembelajaran. Media pembelajaran merupakan komponen strategi penyampaian yang dapat dimuati pesan yang disampaikan kepada siswa, baik berupa orang, alat, atau pun bahan. Selanjutnya, interaksi siswa dengan mediaadalahkomponen strategi penyampaian pembelajaran yang mengacu kepada kegiatan apa yang dilakukan oleh siswa dan bagaimana peran media dalam merangsang kegiatan belajar.

F. Penanaman Nilai Kebebasan Interaksi antar Siswa
Strategi guru dalam membangun interaksi antar siswa selalu mengedepankan kerja berpasangan dan kolaborasi.Dalam kerja berpasangan dan kolaborasi, aspek nilai sosial dan kebebasan dalam mengungkapkan pendapat terbangun.Hal inilah yang menjadi ciri utama lingkungan kelas yang kondusif.Dengan adanya penanaman nilai kebebasan, siswa terlatih berpikir kritis sesuai dengan bakat yang dimiliki.

Menurut Degeng (1998), lingkungan belajar itu bagaimanapun penetapannya, haruslah dimaksudkan agar “si belajar” atau “si pembelajar“ mudah, nikmat, dan nyaman dalam belajar. Pandangan teori konstruktivistik tentang penataan lingkungan kelas berangkat dari pengakuan bahwa orang yang belajar harus bebas.Hanya di alam yang penuh dengan kebebasan, “si belajar” atau “si pebelajar” dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari hasil interpretasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dalam dunia nyata.Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar.Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan itu dilihat dari teori konstruktivistik adalah interpretasi berbeda yang patut dihargai.

Berpijak dari fenomena tersebut, Degeng (1998) memandang bahwa penentu keberhasilan belajar adalah kebebasan.Dalam hal ini, “si belajar” atau “si pebelajar” adalah subjek yang belajar. Pebelajar sebagai subjek yang belajar harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam proses belajar. Di sini “si belajar” atau “si pebelajar” juga memegang kontrol dalam proses belajar.

Penataan lingkungan kelas pembelajaran yang kondusif sangat diperlukan agar “si belajar” atau “si pebelajar” mampu melakukan kontrol terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan belajar yang memberikan kebebasan kepada “si belajar” atau “si pebelajar” untuk melakukan pilihan-pilihan mendorong “si belajar” atau “si pebelajar” untuk terlibat langsung secara fisik, emosional, dan mental dalam proses belajar sehingga dapat memunculkan kegiatan yang kreatif-produktif. Belajar efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Oleh karena itu, “si belajar: atau “si pebelajar” perlu diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan sesuai dengan kemampuannya (Degeng, 1998).

Kesimpulan
1.      Lingkungan belajar merupakan tempat terjadinya proses belajar mengajar. Lingkungan belajar dapat mempengaruhi keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Lingkungan belajar bukan hanya benda mati yang ada disekitar tempat belajar, tetapi orang-orang yang ada di tempat tersebut juga termasuk lingkungan belajar.
2.      Klasifikasi lingkungan belajar: Lingkungan alam/ luar, lingkungan dalam, lingkungan sosial, lingkungan fisik, lingkungan intelektual dan lainnya.
3.      Aspek-aspek yang mempengaruhi lingkungan belajar: Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
4.      Desain dan karakteristik lingkungan belajar yang ideal: lingkungan belajar ditata sesuai dengan tingkatan/ jenjang pendidikan, Fasilitas/ akses yang memadai, media dan strategi pembelajaran yang menarik dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. 1972. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga. Jakarta: Bulan Bintang.
Degeng, I Nyoman S. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti.
Degeng, I Nyoman S. 1998. Interactive Effects of Instructional Strategy and Leaner Character-istics on Learning Effectiveness and Appeal.Jakarta: Urge Batch II.
Dwiyogo, D. W. 2008. Mengembangkan Pembelajaran Visioner. Malang: Universitas Negeri Malang.
Eggen, Paul. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta : PT Indeks Permata Puri Media.
Hakim, Turshan. 2003. Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Alfabeta
Halimatunnisa, Maulin. 2017.  Hubungan Lingkungan Belajar dengan Konsentrasi Belajar Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Kartono, Kartini. 1992. Pengantar Ilmu mendidik Teoritis.Bandung: Mandarmadya Kementerian Agama RI. 1989.Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang: CV. Toha Putra.
Langgulung, Hasan. 1995. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi Pendidikan.Jakarta: Alhusna Rikza.
Syah, Muhibbin.2011.  Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosdakarya
Sidi, Indra Djati. 2005. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta: Paramadina.
Mariyana, Rita dan Ali Nugraha, Yeni Rachmawati. 2010. Pengelolaan Lingkungan Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Rochman, Arif. 2009. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan.Yogyakarta: Laksbang Mediatama.
Saroni, Muhammad. 2006. Manajemen Sekolah, Kiat Menjadi Pendidik Yang Kompeten.Yogyakarta: Arruz.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2004. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Rosdakarya.
Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology: Active Learning Edition . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jurnal:
Anisa Widyaningtyas, Sukarmin, Yohanes Radiyono. Peran Lingkungan Belajar dan Kesiapan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Fisika Siswa Kelas X Sekolah Menengah Atas 1 Pati.Jurnal Pendidikan Fisika (2013) Vol.1 No.1
Farisi, Moh. I. 2006. Penataan Lingkungan. KelasPembelajaran.di SD dari Perspektif Konstruktivisme. Jurnal Didaktika.
Usman. 2011. Menciptakan Lingkungan Belajar dengan Latar Motivasi dalam Belajar dan Pembelajaran Menuju Terbentuknya Perkembangan Pribadi , Sosial, dan Moral. Jurnal Sulesana. Vol 6 No 2.

Posting Komentar untuk "Lingkungan Belajar"