Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PENDIDIKAN KARAKTER ISLAMI PADA SISWA PUBERTAS DITINJAU DARI QS LUQMAN : 13-19, QS AN NUUR : 31 DAN QS AL AHZAB : 59 (Tinjauan Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Jalalain dan Muyassar)



ABSTRACT
 
               High school elementary students who have difficulty experiencing puberty experience changes in biology and psychological outlook. This period is a very vulnerable period where adolescent issues become very important to be discussed. Character education in the Qur'an for puberty children including contained in QS An Nuur: 31 and QS Al Ahzab: 59 about the obligation to close genitals, hold views and keep genitals. Character education can be seen from QS Luqman verses 13-19, where the three kinds of verses in the letter are reviewed from three kinds of commentary books namely Ibn Kathir, the Jalalain, and the Muyassar Book. The good characters taught in QS Luqman 13-19 include being simple in walking and softening the voice, being patient, filial to your parents, prohibiting associating partners with God and giving thanks. Bad characters that must be avoided include low self-esteem and do not want to be famous, arrogant and look away / arrogant. Stages of children's Islamic character education consist of teaching monotheism, etiquette, responsibility, care, independence and community.

Keywords: puberty, Islamic character education, ibn katir interpretation, jalalain interpretation, muyassar interpretation



ABSTRAK
Siswa SD kelas atas yang susah mengalami masa pubertas mengalami perubahan secara biologis dan secara pandangan psikologis. Masa ini adalah masa yang sangat rentan di mana persoalan remaja menjadi sangat penting untuk dibahas. Pendidikan karakter dalam Al Qur’an untuk anak pubertas diantaranya tertuang dalam QS An Nuur : 31 dan QS Al Ahzab : 59 tentang kewajiban menutup aurat, menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Pendidikan karakternya dapat dilihat dari QS Luqman ayat 13-19, di mana ketiga macam ayat pada surat tersebut ditinjau dari tiga macam kitab tafsir yaitu kitab Ibnu Katsir, Kitab Jalalain, dan Kitab Muyassar. Karakter-karakter baik yang diajarkan dalam QS Luqman 13-19 diantaranya sederhana dalam berjalan dan melunakkan suara, sabar, berbakti Kepada orang tua, larangan mempersekutukan Allah dan bersyukur. Karakter-karakter buruk yang harus dihindari diantaranya rendah diri dan tidak ingin terkenal, angkuh dan memalingkan muka / sombong. Tahapan pendidikan karakter islami anak terdiri dari pengajaran tauhid, adab, tanggung jawab, peduli, kemandirian  dan bermasyarakat.
Kata kunci : pubertas, pendidikan karakter islami, tafsir ibnu katsir, tafsir jalalain, tafsir muyassar



Siswa kelas atas sekolah dasar adalah siswa yang berusia 10-12 tahun. Pada usia tersebut, anak mengalami perubahan tubuh secara biologis yang dikenal dengan istilah pubertas. Pubertas atau lebih dikenal dengan masa remaja  merupakan masa perkembangan ketika anak-anak berubah dari makhluk aseksual menjadi makhluk seksual di mana pada masa ini terjadi pematangan alat-alat seksual dan tercapai kemampuan reproduksi yang kemudian disertai dengan perubahan dalam pertumbuhan sel tubuh atau sel somatis dan perspektif psikologis.[1] Usia pubertas pada anak perempuan dan laki-laki dan perempuan berbeda. Pada perempuan usia pubertas berlangsung pada usia 11-15 tahun, sedangkan apada laki-laki terjadi pada usia 12-16 tahun.
Perubahan fisik atau somatis pada laki-laki dan perempuan terjadi pada anak yang mengalami masa pubertas ini. Perubahan tersebut berupa perubahan primer dan perubahan sekunder. Perubahan primer pada laki-laki adalah dengan diproduksinya sel sperma oleh testis yang ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perubahan primer pada perempuan ditandai dengan diproduksinya sel telur atau ovum oleh ovarium. Perubahan sekunder pada laki-laki ditandai dengan mulai tampaknya perubahan fisik yang berupa tumbuh jakun, suara menjadi berat, dada terlihat bidang, dan tumbuhnya rambut halus di sekitar kemaluan dan atas mulut. Perempuan juga mengalami perubahan sekunder diantaranya tumbuhnya payudara, membesarnya pinggul, kulit menjadi halus, suara menjadi nyaring dan tumbuhnya rambut halus di sekitar kemaluan. Perubahan fisik ini dipengaruhi oleh aktifnya hormon gonadotropin pada remaja.
Tidak hanya perubahan fisik atau somatis yang dialami oleh remaja yang mengalami pubertas. Perubahan perspektif psikologis juga mulai terjadi. Misalnya mulai berkembangnya kedekatan dengan teman sebaya dibandingkan dengan kedekatan dengan orang tua yang ini tentu saja akan berakibat pada pola pergaulan anak. Apabila lingkungan di sekitar anak mendukung ke arah yang positif, tentunya anak akan terbawa ke arah yang baik. Saat ini persoalan karakter remaja di negara kita menjadi sorotan tajam masyarakat. Persoalan karakter remaja diantaranya kekerasan, hubungan seksual secara bebas, perusakan yang dilakukan pelajar, perkelahian antar siswa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, dan sebagainya. Salah satu alternatif yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah karakter remaja yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif dan kuratif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas remaja dalam berbagai aspek yang dapat  memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah karakter bangsa.
Pendidikan ersifat kuratif adalah pendidikan dianggap dapat memperbaiki masalah karakter yang telah terjadi pada para remaja. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat pada masyarakat di masa yang akan datang.[2]Al Qur’an sebagai pedoman hidup bagi umat Islam mengajarkan berbagai macam hal termasuk di dalamnya tentang pendidikan karakter dan pendidikan pada masa pubertas. Makalah ini membahas tentang pendidikan karakter pada masa pubertas ditinjau dari perspektif QS Luqman : 13-19, QS Al Ahzab : 59 dan QS An Nuur : 31.

    Pendidikan Karakter

 Sebelum membahas pendidikan karakter, terlebih dahulu dipaparkan tentang pengertian karakter. Istilah karakter diambil dari bahasa   Yunani “Charassian” yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter, adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, dan berwatak.
Imam Al-Ghazali menganggap karakter lebih dekat kepada akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Sementara Ki Hajar Dewantara (dalam Wibowo, 2013, p. 34) memandang bahwa karakter itu sebagai watak atau budi pekerti. Koesoema (2007, p. 80) menyebutkan bahwa jika karakter dipandang dari sudut behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir, maka karakter dianggap sama dengan kepribadian.
Karakter dipengaruhi oleh hereditas, sebagaimana dinyatakan oleh Samani & Hariyanto (2013) bahwa karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dengan sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara untuk pengertian pendidikan karakater Lickona (1992) menyebutkan character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values, hal ini berarti bahwa pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti. Pendidikan Karakter adalah pendidikan yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan etis siswa. Dirjen Dikti (dalam Barnawi & Arifin, 2013) menyebutkan bahwa pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, mewujudkan, dan menebar kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Semantara secara sederhana pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai hal postif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya (Samani & Hariyanto, 2013).
Pendidikan karakter merupakan sebuah upaya untuk membangun karakter (character building). Elmubarok (2008, p. 102) menyebutkan bahwa carakter building merupakan proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain, ibarat sebauh huruf dalam alfabeta yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Pendidikan karakter dapat disebut juga sebagai pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan dunia afektif, pendidikan akhlak, atau pendidikan budi pekerti. Secara Eksplisit Pendidikan Karakter merupakan amanat UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional[1]

       Pubertas
Perubahan fisik yang penting adalah mengarah pada kematangan seksual atau kesuburan bereproduksi. Proses pubertas ini diawali dengan sekresi hormon Gonadotropin dari hipotalamus otak yang mengakibatkan munculnya hormon luteinizing (LH) dan hormon follicle stimulating (FSH) di mana pada laki-laki mengakibatkan pemisahan hormon testosteron dan androstenedion, sedangkan pada perempuan peningkatan FSH menyebabkan terjadinya menstruasi.[i] Tahapan pubertas ada tiga macam, yaitu tahap prapuber, tahap puber dan tahap pascapuber. Tahap prapuber terjadi pada satu atau dua tahun terakhir masa anak-anak, di mana dalam usia ini seseorang bukan lagi seorang anak tetapi juga belum dapat dikatakan sebagai remaja. Ciri utama tahapan ini adalah ciri-ciri seks sekunder mulai tampak tetapi organ reproduksi belum sepenuhnya berkembang.
Tahap puber terjadi di mana terjadi saat kriteria kematangan seksual muncul yang ditandai dengan menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki. Pada tahapan ini pula, ciri seks sekunder telah berkembang dan sel-sel (sel sperma dan sel telur) diproduksi dalam organ-organ seks, dalam hal ini testis pada laki-laki dan ovarium pada perempuan. Tahap pascapuber bertumpang tindih dengan tahun pertama atau kedua masa remaja di mana tahap ini ciri-ciri seks sekunder telah berkembang baik dan organ-organ seks mulai brfungsi secara matang.
Akibat perubahan pada masa pubertas ada dua macam yaitu akibat terhadap keadaan fisik dan akibat pada sikap dan perilaku. Akibat terhadap keadaan fisik diantaranya menyebabkan perubahan-perubahan tubuh yang disertai kelelahan, kelesuan dan gejala-gejala buruk lainnya seperti gangguan pencernaan dan nafsu makan yang kurang baik. Anemia juga sering terjadi pada masa ini yang diakibatkan oleh kebiasaan makan yang tidak menentu yang pada gilirannya menambah kelesuan dan kelelahan. Selaama awal periode haid, perempuan sering mengalami sakit kepala, sakit punggung, kejang, sakit perut, muntah-muntah, gangguan kulit dan pembengkakan tungkai serta pergelangan kaki. Hal ini menimbulkan perasaan lelah, tertekan dan mudah marah. Ketika haid mulai teratur, gangguan fisik dan psikologis yang ada pada mulanya cenderung menghilang.
Akibat pada sikap dan perilaku di masa pubertas umumnya lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Hal ini sebagian disebabkan oleh perempuan umumnya lebih cepat matang daripada laki-laki dan sebagian karena banyaknya hambatan-hambatan sosial mulai ditekankan pada perempuan justru pada saat anak permpuan mencoba membebaskan diri dari berbagai pembatasan. Karena mencapai masa pubertas lebih dulu daripada laki-laki, perempuan lebih cepat menunjukkan tanda-tanda perilaku yang mengganggu dibandingkan dengan anak laki-laki. Namun, perilaku anak perempuan lebih cepat stabil dibandingkan laki-laki.    
Akibat perubahan masa puber pada sikap dan perilaku yang terjadi diantaranya ingin menyendiri, bosan, inkoordinasi, antagonisme soosial, emosi yang meninggi, hilangnya kepercayaan diri dan terlalu sederhana.[ii] (1) Ingin menyendiri, saat mengalami masa puber, anak-anak cenderung menarik diri dari teman-teman dan dari beragai kegiatan keluarga dan sering bertengkar dengan teman-teman dan anggota keluarga, melakukan eksperimen seks seperti masturbasi dan ketidakinginan berkomunikasi dengan orang lain. (2) Bosan, anak-anak yang memasuki masa pubertas mengalami kebosanan dengan permainan yang sebelumnya mereka sukai, tugas-tugas sekolah, kegiatan-kegiatan sosial dan kehidupan pada umumnya. Jika kodisi ini dibiarkan, anak akan mengalami penurunan prestasi karena mengalami kemalasan. (3) Inkoordinasi, pertumbuhan pesat yang tidak seimbang memepengaruhi pola koordinasi gerakan di mana anak akan merasa kikuk dan janggal selama beberapa waktu. Namun setelah pertumbuhan melambat, koordinasi akan membaik secara bertahap.
Akibat selajutnya adalah (4) antagonisme sosial. Anak yang memasuki masa puber seringkali tidak mau bekerja sama, sering membantah, dan menentang. Permusuhan dungkapkan dalam kritik dan komentar-komentar yang merendahkan. Namun seiring dengan perkembangan usianya, anak akan menjadi lebih ramah, sabar dan dapat bekerja sama dengan orang lain. (5) Emosi yang meninggi ditandai kemurungan, merajuk dan ledakan amarah serta kecenderungan untuk menangis merupakan ciri bagian awal masa puber. Perasaan kawatir, gelisah, sedih, cepat marah serta suasana hati yang negatif sering terjadi pada masa prahaid dan awal haid. Seiring dengan matangnya fisik anak, ketegangan emosi akan berkurang dan anak dapat mengendalikan emosinya dengan baik. (6) Hilangnya kepercayaan diri dan takut akan kegagalan juga terjadi pada masa puber. Hal ini disebabkan adanya penurunan daya tahan fisik dan berbagai kritik yang ditemui dalam kehidupan. Apabila hal ini tidak ditangani dengan baik, maka remaja akan menjadi rendah diri. (7) Terlalu sederhana, umumnya dilakukan dalam hal berpenampilan. Kesederhanaan ini mereka tampilkan untuk menghindari perhatian orang lain yang berlebihan yamg dapat menimbulkan komentar buruk

C.    Kaidah-kaidah Pubertas pada Remaja dalam QS An Nuur : 31 dan QS Al Ahzab : 59 menurut Beberapa tafsir Al Qur’an
Remaja adalah masa di mana seorang anak telah manjadi baligh sehingga pada dirinya dikenakan aturan-aturan tertentu terutama dalam hal menutup aurat. Pedoman mengenai hal ini terdapat pada QS An Nuur : 31 dan QS Al Ahzab : 59. Berikut adalah penafsiran ayat tersebut ditinjau dari 3 macam kitab tafsir yaitu Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Jalallain dan Tafsir Muyassar
1.      QS An Nuur : 31
{وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31) }

Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dinyatakan sebagai berikut
Ini adalah perintah dari Allah Swt., ditujukan kepada kaum wanita mukmin, sebagai pembelaan Allah buat suami-suami mereka yang terdiri dari hamba-hamba-Nya yang beriman, serta untuk membedakan wanita-wanita yang beriman dari ciri khas wanita Jahiliah dan perbuatan wanita-wanita musyrik. Disebutkan bahwa latar belakang turunnya ayat ini seperti yang disebutkan oleh Muqatil ibnu Hayyan, telah sampai kepada kami bahwa Jabir ibnu Abdullah Al-Ansari pernah menceritakan bahwa Asma binti Marsad mempunyai warung di perkampungan Bani Harisah, maka kaum wanita mondar-mandir memasuki warungnya tanpa memakai kain sarung sehingga perhiasan gelang kaki mereka kelihatan dan dada mereka serta rambut depan mereka kelihatan. Maka berkatalah Asma, "Alangkah buruknya pakaian ini." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya." (An-Nur: 31), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah Swt.: {وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ} “Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya." (An-Nur: 31) Yakni dari apa yang diharamkan oleh Allah bagi mereka, yaitu memandang kepada selain suami mereka. Karena itulah kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh memandang lelaki lain yang bukan mahramnya, baik dengan pandangan berahi ataupun tidak, secara prinsip.  Sebagian besar dari mereka berdalilkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Turmuzi melalui hadis Az-Zuhri dari Nabhan maula Ummu Salamah yang menceritakan kepadanya bahwa Ummu Salamah pernah bercerita kepadanya bahwa pada suatu hari dia dan Maimunah berada di hadapan Rasulullah Saw. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum. Ibnu Ummi Maktum masuk menemui Rasulullah. Kejadian ini sesudah Rasulullah Saw. memerintahkan kepada kami agar berhijab. Maka Rasulullah Saw. bersabda: "احْتَجِبَا مِنْهُ" 'Berhijablah kamu berdua darinya!' Maka saya (Ummu Salamah) bertanya, 'Wahai Rasulullah, bukankah dia buta tidak dapat melihat kami dan tidak pula mengetahui kami?' maka Rasulullah Saw. bersabda:  "أَوَ عَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ" 'Apakah kamu berdua juga buta? Bukankah kamu berdua dapat melihatnya?'." Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Ulama lainnya berpendapat bahwa kaum wanita diperbolehkan memandang lelaki lain tanpa berahi. Seperti yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa Rasulullah Saw. menyaksikan orang-orang Habsyah sedang memainkan atraksi dengan tombak mereka di hari raya di dalam masjid, sedangkan Aisyah Ummul Mu'minin menyaksikan pertunjukan mereka dari balik tubuh Nabi Saw., dan Nabi Saw. menutupinya dari pandangan mereka hingga Aisyah bosan, lalu pulang. Firman Allah Swt.: {وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ} “dan memelihara kemaluannya.” (An-Nur: 31) Sa'id ibnu Jubair mengatakan, maksudnya yaitu memelihara kemaluannya dari perbuatan keji. Menurut Qatadah dan Sufyan, dari perbuatan yang tidak dihalalkan baginya. Sedangkan menurut Muqatil, dari perbuatan zina.
Abul Aliyah mengatakan bahwa semua ayat Al-Qur'an yang menyebutkan perintah memelihara kemaluan maksudnya adalah memeliharanya dari perbuatan zina, kecuali ayat ini yang mengatakan: dan memelihara kemaluannya. (An-Nur: 31) Yang dimaksud ialah agar jangan sampai kelihatan oleh seorang pun.  Firman Allah Swt.: {وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا} “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya.” (An-Nur: 31) Yaitu janganlah mereka menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki lain, kecuali apa yang tidak bisa disembunyikan.  Menurut Ibnu Mas'ud, hal yang dimaksud adalah seperti kain selendang dan pakaiannya; yakni sesuai dengan pakaian tradisi kaum wanita Arab yang menutupi seluruh tubuhnya, sedangkan bagian bawah pakaian yang kelihatan tidaklah berdosa baginya bila menampakkannya, sebab bagian ini tidak dapat disembunyikan. Hal yang sama berlaku pula pada pakaian wanita lainnya yang bagian bawah kainnya kelihatan karena tidak dapat ditutupi. Pendapat yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abul Jauza, Ibrahim An-Nakha'i dan lain-lainnya.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya, (An-Nur: 31) Yakni wajahnya, kedua telapak tangannya, dan cincinnya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Ad-Dahhak, dan Ibrahim An-Nakha'i serta lain-lainnya. Pendapat ini dapat dijadikan tafsir terhadap pengertian perhiasan yang dilarang bagi kaum wanita menampakkannya, seperti apa yang dikatakan oleh Abu Ishaq As-Subai'i, dari Abul Ahwas, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya. (An-Nur: 31) Yaitu anting-anting, kalung, gelang tangan, dan gelang kaki.
Menurut riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Mas'ud dalam sanad yang sama, perhiasan itu ada dua macam, yaitu perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kecuali hanya kepada suami, seperti cincin dan gelang. Dan perhiasan yang boleh terlihat oleh lelaki lain, yaitu bagian luar dari pakaiannya.  Az-Zuhri mengatakan bahwa tidak boleh ditampakkan kepada mereka yang disebutkan nama-namanya oleh Allah Swt. selain gelang, kerudung dan anting-anting tanpa membukanya. Adapun bagi orang lain secara umum, maka tidak boleh ada yang tampak dari perhiasannya kecuali hanya cincin.  Malik telah meriwayatkan dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali yang (biasa) tampak darinya. (An-Nur: 31) Yakni cincin dan gelang kaki. Dapat pula dikatakan bahwa Ibnu Abbas dan para pengikutnya bermaksud dengan tafsir firman-Nya yang mengatakan, "Kecuali apa yang biasa tampak darinya," adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Pendapat inilah yang terkenal di kalangan jumhur ulama. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya, bahwa telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ka'b Al-Intaki dan Muammal ibnul Fadl Al-Harrani; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Khalid ibnu Duraik, dari Aisyah r.a., bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke dalam rumah Nabi Saw. dengan memakai pakaian yang tipis (cekak) Maka Nabi Saw. memalingkan muka darinya seraya bersabda: "يَا أَسْمَاءُ، إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا" وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ     "Hai Asma, sesungguhnya wanita itu apabila telah berusia balig, tidak boleh ada yang terlihat dari tubuhnya kecuali hanya ini. Nabi Saw. bersabda demikian seraya mengisyaratkan ke arah wajah dan kedua telapak tangannya. Akan tetapi, Abu Daud dan Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa hadis ini mursal karena Khalid ibnu Duraik belum pernah mendengar dari Siti Aisyah r.a.
Firman Allah Swt.:  {وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ} “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”An-Nur: 31) Yakni kain kerudung yang panjang agar dapat menutupi dada dan bagian sekitarnya, agar berbeda dengan pakaian wanita Jahiliah. Karena sesungguhnya wanita Jahiliah tidak berpakaian seperti ini, bahkan seseorang dari mereka lewat di hadapan laki-laki dengan membusungkan dadanya tanpa ditutupi oleh sehelai kain pun. Adakalanya pula menampakkan lehernya dan rambut yang ada di dekat telinganya serta anting-antingnya. Maka Allah memerintahkan kepada wanita yang beriman agar menutupi seluruh tubuhnya, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain melalui firman-Nya: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ} “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”  (Al-Ahzab: 59)
Dan dalam ayat berikut ini Allah Swt. berfirman: {وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ} “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya.” (An-Nur: 31Al-khumur adalah bentuk jamak dari khimar, artinya kain kerudung yang dipakai untuk menutupi kepala; dikenal pula dengan sebutan muqani'. Sa'id ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firmannya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maksudnya, menutupi bagian leher dan dadanya; maka tidak boleh ada sesuatu pun dari bagian tersebut yang tampak. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Yunus, dari ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisysah r.a. yang mengatakan, "Semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirin pertama. Ketika Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya.' (An-Nur: 31) maka mereka membelah kain sarinya, lalu mereka jadikan sebagai kerudung."
Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Nafi', dari Al-Hasan ibnu Muslim, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa Aisyah r.a. pernah mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (Ah-Nur: 31) Maka mereka melepaskan kain sarungnya, lalu mereka robek dari pinggirnya, kemudian robekan itu mereka jadikan kain kerudung (pada saat itu juga).  Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah ibnu Yunus, telah menceritakan kepadaku Az-Zunji ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Safiyyah binti Syaibah yang menceritakan, "Ketika kami sedang berada di rumah Aisyah, dan kami memperbincangkan tentang wanita Quraisy serta keutamaan mereka; maka Siti Aisyah berkata, "Sesungguhnya kaum wanita Quraisy memang mempunyai suatu keutamaan, dan sesungguhnya demi Allah, aku belum pernah melihat wanita yang lebih utama daripada wanita Ansar dalam hal keimanan dan kepercayaannya kepada kitabullah dan wahyu yang diturunkan.” Sesungguhnya ketika diturunkan firman-Nya: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maka kaum lelaki mereka berbalik kepada kaum wanitanya seraya membacakan kepada mereka apa yang baru diturunkan oleh Allah Swt. Seorang lelaki dari mereka membacakannya kepada istrinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, dan kaum kerabatnya yang wanita. Sehingga tiada seorang wanita pun melainkan bangkit melepaskan kain sarinya, lalu dipakainya sebagai kerudung karena membenarkan dan iman kepada wahyu dari Allah Swt. yang baru diturunkan. Sehingga mereka di belakang Rasulullah memakai kerudung semua, seakan-akan pada kepala mereka terdapat burung gagak'."
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini melalui jalur lain dari Safiyyah binti Syaibah dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa Qurrah ibnu Abdur Rahman pernah menceritakan kepadanya dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirin pertama, ketika Allah menurunkan firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maka mereka membelah kain sari mereka, lalu mereka jadikan sebagi kerudungnya. Abu Daud telah meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Wahb dengan sanad yang sama.
Firman Allah Swt.:  وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ} “dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka.”  (An-Nur: 31Ba'lun yang bentuk jamaknya adalah bu'ul artinya suami. {أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ} “atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka. “ (An-Nur: 31)  Mereka yang disebutkan di atas adalah mahram wanita, mereka diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada orang-orang tersebut, tetapi bukan dengan cara tabarrujj.
Ibnul Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Asy-Sya'bu, dari Ikrimah sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka. “ (An-Nur: 31), hingga akhir ayat. Lalu ia berkata bahwa Allah Swt. tidak menyebutkan paman dari pihak ayah, tidak pula paman dari pihak ibu; karena keduanya dinisbatkan kepada anak keduanya. Untuk itu seorang wanita tidak boleh meletakkan kain kerudungnya di hadapan pamannya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Demikian itu karena dikhawatirkan keduanya akan menggambarkan keadaannya kepada anak-anak keduanya. Adapun terhadap suami, sesungguhnya hal tersebut hanyalah untuk suaminya. Karena itu, seorang wanita dianjurkan merias dan mempercantik dirinya di hadapan suaminya, yang hal seperti itu tidak boleh dilakukannya di hadapan lelaki lain.
Firman Allah Swt.: {أَوْ نِسَائِهِنَّ} “atau wanita-wanita Islam.” (An-Nur: 31) Yakni seorang wanita diperbolehkan menampakkan perhiasannya kepada wanita muslimat, bukan wanita kafir Ummi agar mereka tidak menceritakan keadaan kaum wanita muslimat kepada kaum laki-laki mereka. Perbuatan ini sekalipun dilarang terhadap semua wanita, hanya terhadap wanita kafir zimmi lebih berat larangannya, mengingat tiada suatu norma pun yang melarang mereka untuk menceritakan hal tersebut. Adapun wanita muslimah, sesungguhnya ia mengetahui bahwa perbuatan menceritakan perihal wanita lain (kepada lelaki) adalah haram sehingga ia menahan dirinya dari melakukan hal tersebut. Rasulullah Saw. telah bersabda: "لَا تُبَاشِرُ المرأةَ المرأةَ، تَنْعَتُهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا" “Janganlah seorang wanita menceritakan (menggambarkan) keadaan wanita lain kepada suaminya, (hingga) seakan-akan suaminya memandang ke arahnya.” Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui Ibnu Mas'ud.
Sa'id ibnu Mansur telah meriwayatkan di dalam kitab sunannya, telah menceritakan kepada kami Isma'il ibnu Ayyasy, dari Hisyam ibnul Gazi, dari Ubadah ibnu Nissi, dari ayahnya, dari Al-Haris ibnu Qais, bahwa Khalifah Umar menulis surat kepada Abu Ubaidah yang isinya sebagai berikut: Amma Ba'du, “Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku yang mengatakan bahwa sebagian dari kaum wanita muslimat sering memasuki tempat mandi sauna bersama wanita-wanita musyrik, dan hal itu terjadi di daerah wewenangmu. Maka tidak dihalalkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian memperlihatkan auratnya kepada wanita lain kecuali wanita yang seagama dengannya.”
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: atau wanita-wanita Islam. (An-Nur: 31) Yakni kaum wanita muslimat, bukan kaum wanita musyrik. Wanita muslimat tidak diperbolehkan memperlihatkan auratnya di hadapan wanita musyrik. Abdullah telah meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “atau wanita-wanita Islam.“ (An-Nur: 31) Yaitu kaum wanita muslimat; wanita muslimat tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada wanita Yahudi, juga kepada wanita Nasrani. Perhiasan yang dimaksud ialah bagian leher, anting-anting, bagian yang ditutupi oleh kain kerudung, dan anggota lainnya yang tidak halal dilihat kecuali hanya oleh mahramnya. Sa'id telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Lais, dari Mujahid yang mengatakan bahwa wanita muslimat tidak boleh menanggalkan kain kerudungnya di hadapan wanita musyrik, karena Allah Swt. telah berfirman: “atau wanita-wanita Islam.” (An-N ur:31) Sedangkan wanita musyrik bukan termasuk mereka.
Telah diriwayatkan dari Makhul dan Ubadah ibnu Nissi, bahwa keduanya telah menghukumi makruh bila ada wanita Nasrani, wanita Yahudi, dan wanita Majusi menyambut wanita muslimat. Adapun mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abu Umair, telah menceritakan kepada kami Damrah, bahwa Ata telah meriwayatkan dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. tiba di Baitul Maqdis, maka yang menyambut kedatangan istri-istri Rasulullah Saw. adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Riwayat ini jika sahih, maka ditakwilkan karena keadaan darurat, atau dianggap sebagai suatu pekerjaan, kemudian dalam peristiwa tersebut tidak ada aurat yang terbuka, dan hal itu merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah Swt.: {أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ} “atau budak-budak yang mereka miliki.” (An-Nur: 31) Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud adalah budak perempuan yang musyrik. Dalam kasus ini wanita muslimat diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada budak-budak perempuannya, sekalipun mereka musyrik, karena mereka adalah budaknya. Demikianlah menurut pendapat yang dianut oleh Sa'id ibnul Musayyab. Tetapi menurut kebanyakan ulama, bahkan wanita muslimat diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada budak-budaknya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang mengatakan:  حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو جُمَيْعٍ سَالِمُ بْنُ دِينَارٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى فَاطِمَةَ بِعَبْدٍ قَدْ وَهَبَهُ لَهَا. قَالَ: وَعَلَى فَاطِمَةَ ثَوْبٌ إِذَا قَنَّعت بِهِ رَأْسَهَا لَمْ يَبْلُغْ رِجْلَيْهَا، وَإِذَا غَطَّتْ بِهِ رِجْلَيْهَا لَمْ يَبْلُغْ رَأْسَهَا، فَلَمَّا رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَلْقَى قَالَ: "إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكِ بَأْسٌ، إِنَّمَا هُوَ أَبُوكِ وَغُلَامُكِ“Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Abu Jami' Salim ibnu Dinar, dari Sabit, dari Anas, bahwa Nabi Saw. datang kepada Fatimah dengan membawa seorang budak laki-laki yang telah diberikan kepadanya. Sedangkan saat itu Fatimah memakai pakaian yang apabila digunakan untuk menutupi kepalanya, maka bagian kedua kakinya tidak tertutupi semua; dan apabila digunakan untuk menutupi kedua kakinya, maka bagian kepalanya tidak tertutupi. Ketika Nabi Saw. melihat keadaan Fatimah kebingungan, maka beliau bersabda: Sesungguhnya tidak mengapa bagimu (berpakaian seperti itu) karena yang datang hanyalah ayahmu dan budakmu.”
Al-Hafiz ibnu Asakir menyebutkan di dalam kitab tarikhnya mengenai biografi Khudaij Al-Himsi maula Mu'awiyah, bahwa Abdullah ibnu Mas'adah Al-Fazzari adalah seorang budak yang berkulit sangat hitam; dia adalah seorang budak yang dihadiahkan oleh Nabi Saw. kepada putrinya Siti Fatimah, lalu Siti Fatimah memeliharanya dan memerdekakannya. Kemudian sesudah itu ia melakukan perang tanding dengan Mu'awiyah dalam Perang Siffin; dia adalah orang yang paling keras dalam membela Ali ibnu Abu Talib r.a. وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَة، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ نَبْهَان، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، ذَكَرَتْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا كَانَ لِإِحْدَاكُنَّ مُكَاتَب، وَكَانَ لَهُ مَا يُؤَدِّي، فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ". “Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri, dari Nabhan, dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu (hai kaum wanita) mempunyai budak yang mukatab, dan dia mempunyai kemampuan untuk melunasi transaksi kitabahnya, maka hendaklah kamu berhijab darinya.”  Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui Musaddad, dari Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama.
Firman Allah Swt.: {أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ} “atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita).” (An-Nur: 31) Yakni seperti orang-orang sewaan dan para pelayan yang tidak sepadan. Selain dari itu akal mereka kurang dan lemah, tiada keinginan terhadap wanita pada diri mereka dan tidak pula berselera terhadap wanita. Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud adalah lelaki dungu yang tidak mempunyai nafsu syahwat. Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lelaki yang tolol. Sedangkan menurut Ikrimah, yang dimaksud adalah laki-laki banci yang kemaluannya tidak dapat berereksi. Hal yang sama dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Di dalam kitab sahih disebutkan melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, bahwa dahulu ada seorang lelaki banci yang biasa masuk menemui istri Rasulullah Saw. dan mereka menganggapnya termasuk orang lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Pada suatu hari Nabi Saw. masuk ke dalam rumahnya, sedangkan lelaki tersebut sedang menggambarkan perihal seorang wanita. Lelaki itu mengatakan bahwa wanita tersebut apabila datang, maka melangkah dengan langkah yang lemah gemulai; dan apabila pergi, ia melangkah dengan lemah gemulai disertai dengan goyangan pantatnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda: "أَلَا أَرَى هَذَا يَعْلَمُ مَا هَاهُنَا، لَا يدخلَنّ عليكُنَ" “Bukankah kulihat orang ini mengetahui apa yang ada di sini? Jangan biarkan orang ini masuk menemui kalian!” Maka Rasulullah Saw. mengusir lelaki itu, kemudian lelaki itu tinggal di padang sahara, ia masuk (ke dalam kota) setiap hari Jumat untuk mengemis meminta makanan.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Abu Salamah, dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahnya, sedangkan saat itu di hadapan Ummu Salamah terdapat seorang lelaki banci, juga Abdullah ibnu Abu Umayyah (saudara laki-laki Ummu Salamah). Lelaki banci itu berkata, "Hai Abdullah, jika Allah memberikan kemenangan kepadamu atas negeri (kota) Taif besok, maka boyonglah anak perempuan Gailan. Karena sesungguhnya dia bila datang menghadap melangkah dengan langkah yang lemah gemulai, dan bila pergi, ia melangkah dengan lemah gemulai disertai dengan goyangan pantatnya." Perkataannya itu terdengar oleh Rasulullah Saw. maka beliau bersabda kepada Ummu Salamah: "لَا يَدْخُلَنَّ هَذَا عَلَيْكِ". “Jangan biarkan orang ini masuk menemuimu!”
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain, melalui hadis Hisyam ibnu 'Urwah Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Az-Zuhri, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah r.a. yang telah menceritakan: Dahulu ada seorang waria biasa menemui istri-istri Nabi Saw. dan mereka menganggapnya termasuk orang-orang yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita. Kemudian Nabi Saw. masuk sedang waria itu berada pada salah seorang dari istri-istrinya sedang menceritakan perihal seorang wanita seraya mengatakan, "Bahwa sesungguhnya dia kalau datang seakan-akan datang dengan memperlihatkan empat anggota tubuhnya dan bila pergi seakan-akan pergi dengan memperlihatkan kedelapan anggota tubuhnya." Maka Nabi Saw. bersabda: "أَلَا أَرَى هَذَا يَعْلَمُ مَا هَاهُنَا؟ لَا يدخلَنَّ عَلَيْكُمْ هَذَا" “ Ingatlah, menurutku orang ini mengetahui apa yang ada di sana, jangan biarkan orang ini masuk menemuimu lagi!” Maka mereka menghalanginya (untuk masuk).
Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui Abdur Razzaq dengan sanad yang sama dari Ummu Salamah. Firman Allah Swt.: {أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ} “ atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (An-Nur: 31)  Yakni anak-anak kecil mereka yang masih belum mengerti keadaan wanita dan aurat mereka seperti perkataannya yang lemah lembut lagi merdu, lenggak-lenggoknya dalam berjalan, gerak-gerik, dan sikapnya. Apabila anak lelaki kecil masih belum memahami hal tersebut, maka ia boleh masuk menemui wanita.  Adapun jika seorang anak lelaki menginjak masa pubernya atau dekat usia pubernya yang telah mengenal hal tersebut dan ia dapat membedakan wanita yang jelek dan wanita yang cantik, maka tidak diperkenankan lagi baginya masuk menemui wanita (lain).
Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: "إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الحَمْو؟ قَالَ: "الحَمْو الْمَوْتُ" "Janganlah kalian masuk menemui wanita." Dikatakan, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang (masuk menemui) saudara ipar?" Rasulullah Saw. menjawab, "(Masuk menemui) saudara ipar artinya maut."  Firman Allah Swt.:  {وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ} “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya.” (An-Nur: 31), hingga akhir ayat.
Di masa Jahiliah bila seorang wanita berjalan di jalan, sedangkan ia memakai gelang kaki; jika tidak ada laki-laki yang melihat dirinya, ia memukul-mukulkan kakinya ke tanah sehingga kaum lelaki mendengar suara keroncongan gelangnya (dengan maksud menarik perhatian mereka). Maka Allah melarang kaum wanita mukmin melakukan hal semacam itu. Demikian pula halnya bila seseorang wanita memakai perhiasan lainnya yang tidak kelihatan, bila digerakkan akan menimbulkan suara dan dapat menarik perhatian lawan jenisnya; hal ini pun termasuk ke dalam apa yang dilarang oleh Allah Swt. dalam firman-Nya: “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya.” (An-Nur: 31), hingga akhir ayat. Termasuk ke dalam apa yang dilarang ialah memakai parfum bila keluar rumah, sebab kaum laki-laki akan mencium baunya.
Abu Isa At-Tirmizi mengatakan: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ القَّطَّان، عَنْ ثَابِتِ بْنِ عُمَارة الْحَنَفِيِّ، عَنْ غُنَيْم بْنِ قَيْسٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ، وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فمرَّت بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا" يَعْنِي زَانِيَةً
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, dari Sabit ibnu Imarah Al-Hanafi, dari Ganim ibnu Qais, dari Abu Musa r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Setiap mata ada zinanya. Seorang wanita bila memakai wewangian, lalu melewati suatu majelis, maka dia (akan memperoleh dosa) anu dan anu. Yakni dosa zina mata.” Dalam bab yang sama telah diriwayatkan hadis yang sama melalui Abu Hurairah. Hadis ini hasan sahih. Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sabit ibnu Imarah dengan sanad yang sama.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنِ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ عُبَيْدٍ مَوْلَى أَبِي رُهْم، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لقيتْه امْرَأَةٌ وَجَدَ مِنْهَا رِيحَ الطِيبِ، وَلِذَيْلِهَا إِعْصَارٌ فَقَالَ: يَا أَمَةَ الْجَبَّارِ، جِئْتِ مِنَ الْمَسْجِدِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ لَهَا: [وَلَهُ] تَطَيَّبتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ حِبِّي أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ امْرَأَةٍ تَطَيبت لِهَذَا الْمَسْجِدِ، حَتَّى تَرْجِعَ فَتَغْتَسِلَ غُسلها مِنَ الْجَنَابَةِ"
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kasir, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Asim ibnu Ubaidillah, dari Ubaid maula Abu Rahm, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa ia bersua dengan seorang wanita yang terendus darinya bau parfum yang wangi, sedangkan kepangan rambutnya menjulur kelihatan. Maka Abu Hurairah berkata kepadanya, "Hai Umayyah, tersia-sialah amalmu, bukankah kamu baru datang dari masjid?" Umayyah menjawab, "Ya." Abu Hurairah bertanya, "Apakah engkau memakai wewangian?" Umayyah menjawab, "Ya." Abu Hurairah berkata bahwa ia pernah mendengar kekasihnya, yaitu Abul Qasim Saw. (nama julukan Nabi Saw.) telah bersabda: Allah tidak akan menerima salah seorang wanita yang memakai wewangian dalam masjid ini sebelum ia kembali, lalu mandi seperti mandi jinabahnya (untuk membersihkan wewangian yang menempel di tubuhnya). Ibnu Majah meriwayatkannya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama. وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ مُوسَى بْنِ عُبَيدة، عَنْ أَيُّوبَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ مَيْمُونَةَ بِنْتِ سَعْدٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "الرَّافِلَةُ فِي الزِّينَةِ فِي غَيْرِ أَهْلِهَا، كَمَثَلِ ظُلْمَةِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا نُورَ لَهَا"
Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui hadis Musa ibnu Ubaidah, dari Ayyub ibnu Khalid, dari Maimunah binti Sa'd, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Wanita yang berdandan secara mencolok bukan untuk suaminya, perihalnya sama dengan kegelapan di hari kiamat, tiada nur (cahaya) baginya. Termasuk ke dalam bab ini disebutkan bahwa mereka (kaum wanita) dilarang berjalan di tengah jalan, karena hal seperti ini mengandung pengertian tabarruj (memamerkan diri atau mengundang perhatian lawan jenis).
. قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا القَعْنَبِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ -يَعْنِي: ابْنَ مُحَمَّدٍ -عَنْ أَبِي الْيَمَانِ، عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ أَبِي أُسَيْدٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ -وَقَدِ اخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ -فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ: "اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْققْن الطَّرِيقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ"، فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تُلْصَقُ بِالْجِدَارِ، حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لِيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ، مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami At-Taglabi. telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz (yakni Ibnu Muhammad), dari Ibnu Abul Yaman,dari Syaddad ibnu Abu Amr ibnu Hammas, dari ayahnya, dari Hamzah ibnu Abu Usaid Al-Ansari, dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. saat beliau berada di luar masjid, sedangkan kaum lelaki dan kaum wanita bercampur di jalanan. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada kaum wanita: Minggirlah kalian (hai kaum wanita), karena sesungguhnya tidak diperkenankan bagi kalian menutupi tengah jalan; kalian harus mengambil sisi jalan (trotoar). Setelah itu pinggiran jalan dipakai untuk jalan wanita, sehingga kain mereka menyentuh tembok karena dekatnya mereka dengan tembok yang ada di sisi jalan.
Firman Allah Swt.: {وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}  “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.”  (An-Nur: 31) Artinya, kerjakanlah segala sesuatu yang telah Aku perintahkan kepada kalian, yaitu dengan menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan akhlak-akhlak yang mulia ini. Tinggalkanlah tradisi masa lalu di zaman Jahiliyah, yaitu dengan meninggalkan sifat dan akhlaknya yang rendah, karena sesungguhnya keberuntungan yang paling prima berada dalam jalan mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya,dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh keduanya. Hanya kepada Allah sajalah kita memohon pertolongan.[2]

Dalam tafsir Jalalain dikemukakan bahwa
 َوَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّdan katakanlah kepada wanita-wanita  yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka” dari hal-hal yang tidak halal dipandang oleh mereka, وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ  “dan memelihara kemaluan mereka” dari hal-hal yang tidak halal mereka lakukan dengan kemaluan itu. وَلا يُبْدِينَ dan janganlah mereka menampakkan” yakni memperlihatkan زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا “ perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak darinya” yaitu wajah dan telapak tangan. Bagian itu boleh dilihat oleh laki-laki lain dan jika tidak ada kekhawatiran akan timbulnya fitnah menurut salah satu pendapat. Namun, pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu hukumnya haram karena wajah adalah objek yang rawan terhadap fitnah. Dan pendapat (yang kedua) ini dinilai unggul dalam rangka menutup pintu fitnah.
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ “ dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka”, maksudnya mereka harus menutup kepala, leher, dan  dada dengan cadar. وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ” dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka” yang tersembunyi yaitu wajah dan telapak tangan, إِلا لِبُعُولَتِهِنَّkecuali kepada suami mereka”   أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ ِ  atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita (yang seiman) dengan mereka atau budak-budak yang mererka miliki” maka mereka boleh melihatnya kecuali bagian yang ada di antara pusar dan lutut, maka haram dilihat oleh selain suami dan kata-kata “wanita-wanita (yang seiman) dengan mereka “ mengecualikan wanita-wanita yang kafir, sehingga wanita-wanita mulimah tidak boleh membuka bagian tersebut untuk dilihat oleh wanita-wanita yang kafir, dan kata-kata “budak-budak yang mereka miliki meliputi budak laki-laki, و التَّابِعِينَ ِ “atau pelayan pelayan” yang mengambil sisa-sisa makanan غَيْرِ dalam kedudukan sebagai istitsna  (pengecualian) أُولِي الإرْبَةِ “mempunyai hasrat” yakni memiliki kebutuhan kepada wanita مِنَ الرِّجَالِ”dari kalangan laki-laki” yang mana kemaluan mereka tidak normal (mengalami disfungsi ereksi), الطِّفْلِ “atau anak-anak” yakni bocah-bocah يَظْهَرُوا  الَّذِينَ لَمْ”yang  (belum berhasrat untuk) melihat” mengintip عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ” aurat wanita” untuk berhubungan badan, maka wanita-wanita itu boleh memperlihatkan auratnya kepada mereka, kecuali bagian yang diantara pusar dan lutut.   وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا  يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُواdan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”, yakni gelang kaki yang mengelurkan suara gemerincing. وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ  dan bertaubatlah kamu kepada Allah wahai orang-orang yang beriman” dari dosa yang kamu lakukan , seperti melihat hal-hal yang tidak boleh dilihat  dan lain-lain. لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)agar kamu beruntung”  yakni selamat dari dosa itu karena diterimanya taubat darinya.[3]

Dalam tafsir Muyassar dijelaskan
Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, agar mereka menundukkan pandangan mereka terhadap aurat-aurat yang tidak boleh mereka lihat, dan agar memelihara kemaluan mereka dari perkara yang Allah haramkan. Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan mereka di hadapan kaum lelaki. Akan tetapi, sebaiknya hendaknya mereka berusaha keras untuk menyembunyikannya kecuali pakaian luar yang biasa mereka kenakan, bila dalam pakaian itu tidak ada unsur yang membangkitkan fitnah, dan hendaknya mereka menurunkan tutup-tutup kepala mereka pada celah-celah terbuka di bagian atas baju mereka yang ada di bagian dada dan menutup wajah-wajah mereka, sehingga akan tertutup lebih sempurna.
Dan janganlah mereka mempertontonkan perhiasan mereka yang tersembunyi, kecuali pada suami-suami mereka, sebab suami-suami boleh melihat dari tubuh mereka hal-hal yang tidak boleh dilihat orang lain. Sementara sebagian bagian tubuh, seperti wajah,leher, dua tangan dan lengan, noleh dilihat oleh ayah-ayah mereka, ayah-ayah suami suami mereka, saudara-saudara lelaki mereka, anak-anak saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan yang beragam Islam, bukan yang kafir, atau hamba-hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki yang sudah tidak memiliki hasrat dan kebutuhan terhadap wanita, seperti orang-orang dungu yang sekedar mengikuti orang lain untuk makan dan minum semata atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti tentang aurat-aurat wanita dan belum ada pada mereka nafsu syahwat
Dan janganlah mereka menghentak-hentakkan kaki mereka saat berjalan, supaya memperdengarkan suara perhiasan yang tersembunyi seperti gelang kaki dan yang lainnya. Dan kembalilah kalian wahai kaum mukminin, kepada ketaatan kepada Allah dalam perkara yang Dia memerintahkan kepada kalian untuk itu, berupa sifat-sifat indah dan akhlak-akhlak terpuji ini, dan tinggalkan segala yang menjadi kebiasaan kaum jahiliyah, berupa perilaku-perilaku dan sifat-sifat rendah, dengan harapan kalian dapat beruntung memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. [4]

2.      QS Al Ahzab : 59

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “
Allah Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memerintahkan kepada kaum wanita yang beriman, khususnya istri-istri beliau dan anak-anak perempuannya -mengingat kemuliaan yang mereka miliki sebagai ahli bait Rasulullah Saw.- hendaknyalah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka agar mereka berbeda dengan kaum wanita Jahiliah dan budak-budak wanita. Jilbab artinya kain yang dipakai di atas kerudung, menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud, Ubaidah, Qatadah, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ata Al-Khurrasani serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Dan kalau sekarang sama kedudukannya dengan kain sarung. Al-Jauhari mengatakan bahwa jilbab adalah kain penutup. Seorang wanita Huzail mengatakan dalam bait syairnya ketika menangisi seseorang yang terbunuh:
تَمْشي النُّسور إِلَيْهِ وَهْيَ لاهيةٌ ... مَشْيَ العَذَارى عَلَيْهِنَّ الجَلابيبُ      “Burung-burung elang berjalan menuju ke arahnya dengan langkah-langkah yang acuh, sebagaimana jalannya para perawan yang memakai kain jilbab.”
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan kepada kaum wanita yang beriman apabila mereka keluar rumah untuk suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dimulai dari kepala mereka dengan kain jilbab dan hanya diperbolehkan menampakkan sebelah matanya saja. Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubaidah As-Salmani tentang makna firman Allah Swt.: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (Al-Ahzab: 59) Maka Ubaidah As-Salmani menutupi wajah dan mukanya, serta menampakkan mata kirinya (yakni memperagakannya). Ikrimah mengatakan, hendaknya seorang wanita menutupi bagian lehernya yang kelihatan dengan menurunkan jilbabnya untuk menutupinya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Az-Zahrani tentang catatan yang dikirim oleh Abdur Razzaq kepadanya, bahwa telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Khaisam, dari Safiyyah binti Syaibah, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Al-Ahzab: 59) Maka kaum wanita Ansar keluar seakan-akan di atas kepala masing-masing dari mereka ada burung gagaknya karena sikap mereka yang tenang, sedangkan mereka memakai pakaian yang berwarna hitam.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Yazid yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Az-Zuhri, "Apakah budak perempuan diharuskan memakai kerudung, baik dia telah bersuami atau pun belum?" Az-Zuhri menjawab, "Jika ia telah kawin diharuskan memakai kerudung, dan dilarang baginya memakai jilbab, karena makruh baginya menyerupakan diri dengan wanita-wanita merdeka yang memelihara kehormatannya."
Allah Swt. telah berfirman {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ} “ Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (Al-Ahzab: 59) Telah diriwayatkan dari Sufyan As-Sauri. Ia pernah mengatakan bahwa tidak mengapa melihat perhiasan kaum wanita kafir zimmi. Dan sesungguhnya hal tersebut dilarang hanyalah karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah, bukan karena mereka wanita yang terhormat. Sufyan mengatakan demikian dengan berdalilkan firman Allah Swt.: {وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ} “dan istri-istri orang mukmin. (Al-Ahzab: 59)
Firman Allah Swt.: {ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ} “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Al-Ahzab: 59)  Yakni apabila mereka melakukan hal tersebut, maka mereka dapat dikenal sebagai wanita-wanita yang merdeka, bukan budak, bukan pula wanita tuna susila. As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Al-Ahzab: 59) Bahwa dahulu kaum lelaki yang fasik dari kalangan penduduk Madinah gemar keluar di malam hari bilamana hari telah gelap. Mereka gentayangan di jalan-jalan Madinah dan suka mengganggu wanita yang keluar malam. Saat itu rumah penduduk Madinah kecil-kecil. Bila hari telah malam, kaum wanita yang hendak menunaikan hajatnya keluar, dan hal ini dijadikan kesempatan oleh orang-orang fasik untuk mengganggunya. Tetapi apabila mereka melihat wanita yang keluar itu memakai jilbab, maka mereka berkata kepada teman-temannya, "Ini adalah wanita merdeka, jangan kalian ganggu." Dan apabila mereka melihat wanita yang tidak memakai jilbab, maka mereka berkata, "Ini adalah budak," lalu mereka mengganggunya. Mujahid mengatakan bahwa makna ayat ialah hendaklah mereka memakai jilbab agar dikenal bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka, sehingga tidak ada seorang fasik pun yang mengganggunya atau melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadapnya.
Firman Allah Swt.: {وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا} “Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ (Al-Ahzab: 59) Yakni terhadap dosa-dosa yang telah lalu di masa Jahiliah, mengingat mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang etika ini. Kemudian Allah Swt. berfirman, mengancam orang-orang munafik, yaitu mereka yang menampakkan keimanannya, sedangkan di dalam batin mereka menyimpan kekufuran:[5]
Kitab tafsir Jalalain menyebutkan bahwa
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلابِيبِهِنَّ ْ  Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” maksudnya berarti pakaian yang menutupi seluruh bagian tubuh wanita, maksudnya hendaklah mereka menjulurkan sebagian darinya ke wajah – apabila ke luar rumah untuk keperluan mereka-kecuali satu mata
ذَلِكَ أَدْنَى “hal itu lebih rendah” maksudnya lebih dekat (bagi mereka) أَنْ يُعْرَفْنَ “untuk dikenali” bahwa mereka adalah wanita-wanita yang merdeka (bukan budak), فَلا يُؤْذَيْنَ”sehingga mereka tidak diganggu” dengan godaan yang ditujukan kepada mereka. Berbeda dengan wanita-wanita budak yang tidak menutupi wajah mereka, lalu digoda oleh orang-orang munafik. وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا” Dia adalah Allah Maha Pengampun” atas kesalahan mereka yang telah lalu yaitu tidak menutup wajah mereka, رَحِيمًا”lagi Maha Penyayang” kepada mereka tatkala Dia menutupi mereka.[6]

Dalam kitab tafsir Muyassar disebutkan
Wahai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita kaum mukminin agar mereka menjulurkan kain-kain mereka dari kepala ke wajah mereka untuk menutupi wajah mereka, kepala dan dada mereka. Hal itu lebih dekat kepada keterjagaan dan perlindungan sehingga mereka tidak beresiko diganggu atau dijahili. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, di mana dia mengampuni apa saja yang telah berlalu dari kalian, Dia menyayangi kalian dengan apa yang Dia jelaskan, mana yang halal dan mana yag haram[7]
Berdasarkan kedua ayat Al Qur’an tersebut tampak sekali bahwa Allah mengajarkan kepada manusia dalam hal ini wanita yang sudah baligh untuk menjaga dirinya dengan hijab. Kewajiban berhijab ini berlaku bagi anak yang sudah baligh (pubertas). Pada kedua ayat tersebut tampak jelas bahwa Allah menjaga perempuan dimulai dari cara berpakaiannya yang harus menutup auratnya, tidak menampakkan perhiasannya hingga diajarkan pula kepada siapa saja aurat boleh ditampakkan dan manfaat menutup aurat bagi anak perempuan itu sendiri. Dari sini dapat diambil pengajaran bahwa terdapat aturan yang ketat dalam berpakaian dan bergaul. Namun ketatnya aturan tersebut semata-mata untuk melindungi perempuan dari segala jenis kemaksiatan.

    Cara Pendidikan Anak yang Diajarkan Al Qur’an Untuk Membentuk Generasi yang Berkarakter Islami dalam QS Luqman : 13-19 menurut Beberapa Tafsir Al Qur’an
{وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) }   {يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ أَوْ فِي الأرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16) يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ (17) وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الأصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19) }


“ Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
 (Luqman berkata), "Hai Anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui. Hai Anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Dalam kitab Ibnu Katsir dijelaskan bahwa
Allah Swt. menceritakan tentang nasihat Luqman kepada anaknya. Luqman adalah anak Anqa ibnu Sadun, dan nama anaknya ialah Saran, menurut suatu pendapat yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi. Allah Swt. menyebutkan kisah Luqman dengan sebutan yang baik, bahwa Dia telah menganugerahinya hikmah; dan Luqman menasihati anaknya yang merupakan buah hatinya, maka wajarlah bila ia memberikan kepada orang yang paling dikasihinya sesuatu yang paling utama dari pengetahuannya. Karena itulah hal pertama yang dia pesankan kepada anaknya ialah hendaknya ia menyembah Allah semata, jangan mempersekutukannya dengan sesuatu pun. Kemudian Luqman memperingatkan anaknya, bahwa:   {إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ} “sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman: 13)  Yakni perbuatan mempersekutukan Allah adalah perbuatan aniaya yang paling besar.
  قَالَ الْبُخَارِيُّ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ ،عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} [الْأَنْعَامِ: 82] ، شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم، وَقَالُوا: أَيُّنَا لَمْ يَلْبس إِيمَانَهُ بِظُلْمٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أنه لَيْسَ بِذَاكَ، أَلَا تَسْمَعَ إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ: {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
            Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik). (Al-An'am: 82) Hal itu terasa berat bagi para sahabat Nabi Saw. Karenanya mereka berkata, "Siapakah di antara kita yang tidak mencampuri imannya dengan perbuatan zalim (dosa)." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Bukan demikian yang dimaksud dengan zalim. Tidakkah kamu mendengar ucapan Luqman: 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.' (Luqman: 13)
  Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Al-A'masy dengan sanad yang sama.   Kemudian sesudah menasihati anaknya agar menyembah Allah semata. Luqman  enasihati pula anaknya agar berbakti kepada dua orang ibu dan bapak. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:   {وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا} “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23) Di dalam Al-Qur'an sering sekali disebutkan secara bergandengan antara perintah menyembah Allah semata dan berbakti kepada kedua orang tua. Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:   {وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ} “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. (Luqman: 14)
            Mujahid mengatakan, yang dimaksud dengan al-wahn ialah penderitaan mengandung anak. Menurut Qatadah, maksudnya ialah kepayahan yang berlebih-lebihan. Sedangkan menurut Ata Al-Khurrasani ialah lemah yang bertambah-tambah.   Firman Allah Swt.:
  {وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ}   “dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Luqman: 14)   Yakni mengasuh dan menyusuinya setelah melahirkan selama dua tahun, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:   {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ}   “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (Al-Baqarah: 233), hingga akhir ayat.
            Berangkat dari pengertian ayat ini Ibnu Abbas dan para imam lainnya menyimpulkan bahwa masa penyusuan yang paling minim ialah enam bulan, karena dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:   {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا} “ Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (Al-Ahqaf: 15)  Dan sesungguhnya Allah Swt. menyebutkan jerih payah ibu dan penderitaannya dalam mendidik dan mengasuh anaknya, yang karenanya ia selalu berjaga sepanjang siang dan malamnya. Hal itu tiada lain untuk mengingatkan anak akan kebaikan ibunya terhadap dia, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:   {وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا} “ Dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al-Isra: 24)   Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:   {أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ}   “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Luqman: 14)   Yakni sesungguhnya Aku akan membalasmu bila kamu bersyukur dengan pahala yang berlimpah.
            Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Syaibah dan Mahmud ibnu Gailan. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Wahb yang menceritakan bahwa Mu'az ibnu Jabal datang kepada kami sebagai utusan Nabi Saw. Lalu ia berdiri dan memuji kepada Allah, selanjutnya ia mengatakan: Sesungguhnya aku adalah utusan Rasulullah Saw. kepada kalian (untuk menyampaikan), "Hendaklah kalian menyembah Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Hendaklah kalian taat kepadaku, aku tidak akan henti-hentinya menganjurkan kalian berbuat kebaikan. Dan sesungguhnya kembali (kita) hanya kepada Allah, lalu adakalanya ke surga atau ke neraka sebagai tempat tinggal yang tidak akan beranjak lagi darinya, lagi kekal tiada kematian lagi.
  Firman Allah Swt.:   {وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا} “ Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. (Luqman: 15)   Jika keduanya menginginkan dirimu dengan sangat agar kamu mengikuti agama keduanya (selain Islam), janganlah kamu mau menerima ajakannya, tetapi janganlah sikapmu yang menentang dalam hal tersebut menghambatmu untuk berbuat baik kepada kedua orang tuamu selama di dunia.   {وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ}  “dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)  Yaitu jalannya orang-orang yang beriman.  {ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} “ kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)
            Imam Tabrani mengatakan di dalam Kitabul 'Isyarh-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ayyub ibnu Rasyid, telah menceritakan kepada kami Maslamah ibnu Alqamah, dari Daud ibnu Abu Hindun, bahwa Sa'd ibnu Malik pernah mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengannya, yaitu firman-Nya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya” (Luqman: 15), hingga akhir ayat. Bahwa ia adalah seorang yang berbakti kepada ibunya. Ketika ia masuk Islam, ibunya berkata kepadanya, "Hai Sa'd, mengapa engkau berubah pendirian? Kamu harus tinggalkan agama barumu itu (Islam) atau aku tidak akan makan dan minum hingga mati, maka kamu akan dicela karena apa yang telah kulakukan itu, dan orang-orang akan menyerumu dengan panggilan, 'Hai pembunuh ibunya!'." Maka aku menjawab, "Jangan engkau lakukan itu, Ibu, karena sesungguhnya aku tidak bakal meninggalkan agamaku karena sesuatu." Maka ibuku tinggal selama sehari semalam tanpa mau makan, dan pada pagi harinya ia kelihatan lemas. Lalu ibuku tinggal sehari semalam lagi tanpa makan, kemudian pada pagi harinya kelihatan bertambah lemas lagi. Dan ibuku tinggal sehari semalam lagi tanpa makan, lalu pada pagi harinya ia kelihatan sangat lemah. Setelah kulihat keadaan demikian, maka aku berkata, "Hai ibu, perlu engkau ketahui, demi Allah, seandainya engkau mempunyai seratus jiwa, lalu satu persatu keluar dari tubuhmu, niscaya aku tidak akan meninggalkan agamaku karena sesuatu. Dan jika engkau tidak ingin makan, silakan tidak usah makan; dan jika engkau ingin makan silakan makan saja," Akhirnya ibuku mau makan.
Allah Swt. menyitir perkataan Luqman:   {يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ} “ Hai Anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi”  (Luqman: 16)   Yakni sesungguhnya perbuatan aniaya atau dosa sekecil apa pun, misalnya sebesar biji sawi.  Menurut sebagian ulama, damir yang terdapat di dalam firman-Nya, "Innaha," adalah damir sya'n dan kisah (alkisah); berdasarkan pengertian ini diperbolehkan membaca rafa' lafaz misqal, tetapi qiraat yang pertama membacanya nasab adalah lebih utama.
            Firman Allah Swt.:   {يَأْتِ بِهَا اللَّهُ} “niscaya Allah akan mendatangkannya  membalasinya). (Luqman: 16) '   Artinya, Allah pasti menghadirkannya pada hari kiamat di saat neraca amal perbuatan telah dipasang dan pembalasan amal perbuatan ditunaikan. Jika amal perbuatan seseorang baik, maka balasannya baik; dan jika amal perbuatan seseorang buruk, maka balasannya buruk pula, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:   {وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ} “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun” (Al-Anbiya: 47), hingga akhir ayat.
            Dan firman Allah Swt.:   {فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ} “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat  balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8) Seandainya zarrah itu berada di dalam tempat yang terlindungi dan tertutup rapat—yaitu berada di dalam sebuah batu besar, atau terbang melayang di angkasa, atau terpendam di dalam bumi— sesungguhnya Allah pasti akan mendatangkannya dan membalasinya. Karena sesungguhnya bagi Allah tiada sesuatu pun yang tersembunyi barang sebesar zarrah pun, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Karena itulah disebutkan oleh firman berikutnya:   {إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ} “ Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (Luqman: 16)   Yakni Mahahalus pengetahuannya. Maka tiada segala sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya, sekalipun sangat kecil dan sangat lembut.   {خَبِيرٌ} “ lagi Maha Mengetahui.” (Luqman: 16)   Allah Maha Mengetahui langkah-langkah semut di malam yang gelap gulita.
            Sebagian ulama berpendapat bahwa makna yang dimaksud dari firman-Nya:
  {فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ} “dan berada dalam batu.” (Luqman: 16) Yakni batu yang ada di bumi lapis ke tujuh.    Pendapat ini disebutkan oleh As-Saddi berikut sanadnya yang diduga bersumber dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan sejumlah sahabat, jika memang sanadnya berpredikat sahih. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui Atiyyah Al-Aufi, Abu Malik, As-Sauri, Al-Minhal ibnu Amr, dan lain-lainnya, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Yang jelas seakan-akan riwayat ini dinukil dari kisah Israiliyat yang tidak dapat dibenarkan dan tidak pula didustakan.  Menurut makna lahiriah ayat —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— biji zarrah yang sangat kecil ini seandainya berada di dalam sebuah batu besar, maka sesungguhnya Allah akan memperlihatkan dan menampakkannya berkat pengetahuan-Nya Yang Mahahalus. Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang menyebutkan:
  حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا دَراج، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ يَعْمَلُ فِي صَخْرَةٍ صَمَّاء، لَيْسَ لَهَا بَابٌ وَلَا كوَّة، لَخَرَجَ عَمَلُهُ لِلنَّاسِ كَائِنًا مَا كَانَ"
  “Telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Daraj, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Seandainya seseorang di antara kalian melakukan amal perbuatan di dalam sebuah batu besar yang tidak ada pintu dan lubangnya, niscaya amal perbuatannya itu akan ditampakkan kepada manusia seperti apa adanya”.
  Kemudian Luqman mengatakan lagi dalam nasihat berikutnya:  {يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ}
  Hai Anakku, dirikanlah salat. (Luqman: 17)  sesuai dengan batasan-batasannya, fardu-fardunya, dan waktu-waktunya.  {وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ} dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar. (Luqman: 17)
  sesuai dengan kemampuanmu dan menurut kesanggupan kekuatanmu.  {وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ} “ dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.”(Luqman: 17)  Perlu kamu ketahui bahwa dalam mengerjakan amar ma'ruf dan nahi munkar terhadap manusia, pasti kamu akan beroleh gangguan dan perlakuan yang menyakitkan dari mereka. Karena itulah kamu harus bersabar terhadap gangguan mereka. Luqman menasihati anaknya untuk bersabar dalam menjalankan perintah amar ma'ruf dan nahi munkar itu.
            Firman Allah Swt.:   {إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ} “Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17)  Sesungguhnya bersikap sabar dalam menghadapi gangguan manusia benar-benar termasuk hal yang diwajibkan oleh Allah.  Firman Allah Swt.:   {وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ} “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia.” (Luqman: 18)   Janganlah kamu memalingkan mukamu saat berbicara dengan orang lain, atau saat mereka berbicara kepadamu, kamu lakukan itu dengan maksud menganggap mereka remeh dan bersikap sombong kepada mereka. Akan tetapi, bersikap lemah lembutlah kamu dan cerahkanlah wajahmu dalam menghadapi mereka. Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:
  "وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ وَوَجْهُكَ إِلَيْهِ مُنْبَسِط، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ المِخيلَة، وَالْمَخِيلَةُ لَا يُحِبُّهَا اللَّهَ"
  “sekalipun berupa sikap yang ramah dan wajah yang cerah saat kamu menjumpai saudaramu. Dan janganlah kamu memanjangkan kainmu, karena sesungguhnya cara berpakaian seperti itu termasuk sikap sombong yang tidak disukai oleh Allah.”
            Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia. (Luqman: 18) Yakni janganlah kamu bersikap sombong, menganggap remeh hamba-hamba Allah, dan kamu palingkan mukamu saat mereka berbicara denganmu. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Al-Aufi dan Ikrimah bersumber dari Ibnu Abbas.  Malik Ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia. (Luqman: 18) Maksudnya, janganlah kamu berbicara dengan memalingkan mukamu. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Yazid ibnul Asam, Abul Jauza, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya.
            Ibrahim An-Nakha'i mengatakan, makna yang dimaksud ialah membual. Akan tetapi, yang benar adalah pendapat yang pertama.Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal kata as-sa'r ialah suatu penyakit yang bersarang di leher dan bagian kepala unta, dan lama kelamaan dapat memisahkan leher dari kepalanya. Lalu kata ini dijadikan perumpamaan bagi orang yang bersikap takabur, sebagaimana yang disebutkan oleh seorang penyair bernama Amr ibnut Taglabi dalam salah satu bait syairnya:
  وَكُنَّا إذَا الجَبَّارُ صَعّر خَدّه ... أقَمْنَا لَه مِنْ مَيْلِه فَتَقَوّمَا "
  “Dan adalah kami bila menghadapi orang sombong yang memalingkan mukanya, maka kami luruskan dia dari kesombongannya hingga ia kembali ke jalan yang lurus.”
  Abu Talib telah mengatakan pula dalam salah satu bait syairnya:
  وَكُنَّا قَديمًا لَا نقرُّ ظُلامَة ... إِذَا مَا ثَنوا صُعْر الرُّؤُوسِ نُقِيمها
  “Dan dahulu kami tidak pernah membiarkan suatu perbuatan aniaya pun. Bila mereka mendapat pujian, lalu bersikap sombong, maka kami meluruskannya.”[8]


Beberapa poin  penting yang dijabarkan dalam surat tersebut diantaranya angkuh, bersyukur, mempersekutukan Allah, berbakti kepada orang tua, sabar, sombong
a    Angkuh
عَنْ أَبِي لَيْلَى، عَنِ ابْنِ بُرَيْدة، عَنْ أَبِيهِ مَرْفُوعًا: "مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ"
Diriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya secara marfu': Barang siapa yang menyeret kainnya dengan sikap sombong, maka Allah tidak mau melihatnya (kelak di hari kiamat).
Ibnu Abu Laila telah meriwayatkan yang semisal melalui Ishaq ibnu Ismail, dari Sufyan, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu'.
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّار، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: "لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ". وَ"بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي بُرْدَيْهِ، أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ، خَسَفَ اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
Telah menceritakan pula kepada kami Muhammad ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah secara marfu': Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya kelak di hari kiamat. Dan ketika seorang lelaki sedang melangkah dengan angkuhnya memakai baju burdah dua lapis seraya merasa besar diri, (tiba-tiba) Allah membenamkannya ke dalam tanah, dan dia terus terbenam ke dalam bumi sampai hari kiamat nanti. Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya, bahwa ketika seorang lelaki, hingga akhir hadis.
     
      Bersyukur
Firman Allah Swt.: {وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ} “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman”. (Luqman: 12)  Yakni pemahaman, ilmu, dan ungkapan. {أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ} yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah. (Luqman: 12) Kami perintahkan kepadanya untuk bersyukur kepada Allah atas apa yang telah Dia anugerahkan kepadanya berupa keutamaan yang secara khusus hanya diberikan kepadanya, bukan kepada orang lain yang sezaman dengannya. {وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ} Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri. “ (Luqman: 12) Artinya, sesungguhnya manfaat dan pahala dari bersyukur itu kembali kepada para pelakunya, karena ada firman Allah Swt. yang menyebutkan: {وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلأنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ} “dan barang siapa yang beramal saleh, maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan). (Ar-Rum: 44)
Adapun firman Allah Swt.:  {وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ} “dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Luqman: 12) Yaitu Mahakaya, tidak memerlukan hamba-hamba-Nya. Dia tidak kekurangan, walaupun mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Seandainya semua penduduk bumi ingkar kepada nikmat-Nya, maka sesungguhnya Dia Mahakaya dari selain-Nya, tidak ada Tuhan selain Dia, dan kami tidak menyembah selain hanya kepada-Nya.

      Mempersekutukan Allah dalam QS Luqman : 13-15
Allah Swt. menceritakan tentang nasihat Luqman kepada anaknya. Luqman adalah anak Anqa ibnu Sadun, dan nama anaknya ialah Saran, menurut suatu pendapat yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi. Allah Swt. menyebutkan kisah Luqman dengan sebutan yang baik, bahwa Dia telah menganugerahinya hikmah; dan Luqman menasihati anaknya yang merupakan buah hatinya, maka wajarlah bila ia memberikan kepada orang yang paling dikasihinya sesuatu yang paling utama dari pengetahuannya. Karena itulah hal pertama yang dia pesankan kepada anaknya ialah hendaknya ia menyembah Allah semata, jangan mempersekutukannya dengan sesuatu pun. Kemudian Luqman memperingatkan anaknya, bahwa: {إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ} sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman: 13) Yakni perbuatan mempersekutukan Allah adalah perbuatan aniaya yang paling besar.
قَالَ الْبُخَارِيُّ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ ،عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} [الْأَنْعَامِ: 82] ، شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم، وَقَالُوا: أَيُّنَا لَمْ يَلْبس إِيمَانَهُ بِظُلْمٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أنه لَيْسَ بِذَاكَ، أَلَا تَسْمَعَ إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ: {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik). (Al-An'am: 82) Hal itu terasa berat bagi para sahabat Nabi Saw. Karenanya mereka berkata, "Siapakah di antara kita yang tidak mencampuri imannya dengan perbuatan zalim (dosa)." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Bukan demikian yang dimaksud dengan zalim. Tidakkah kamu mendengar ucapan Luqman: 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.' (Luqman: 13) Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Kemudian sesudah menasihati anaknya agar menyembah Allah semata. Luqman menasihati pula anaknya agar berbakti kepada dua orang ibu dan bapak. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:{وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا} "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23)
     

              Berbakti Kepada orang tua
Di dalam Al-Qur'an sering sekali disebutkan secara bergandengan antara perintah menyembah Allah semata dan berbakti kepada kedua orang tua. Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ} “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. (Luqman: 14) Mujahid mengatakan, yang dimaksud dengan al-wahn ialah penderitaan mengandung anak. Menurut Qatadah, maksudnya ialah kepayahan yang berlebih-lebihan. Sedangkan menurut Ata Al-Khurrasani ialah lemah yang bertambah-tambah.
Firman Allah Swt.: {وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ} “dan menyapihnya dalam dua tahun. “ (Luqman: 14) Yakni mengasuh dan menyusuinya setelah melahirkan selama dua tahun, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} ” Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin  menyempurnakan penyusuan.” (Al-Baqarah: 233), hingga akhir ayat. Berangkat dari pengertian ayat ini Ibnu Abbas dan para imam lainnya menyimpulkan bahwa masa penyusuan yang paling minim ialah enam bulan, karena dalam ayat lain Allah Swt. berfirman: {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا} “mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaf: 15)  Dan sesungguhnya Allah Swt. menyebutkan jerih payah ibu dan penderitaannya dalam mendidik dan mengasuh anaknya, yang karenanya ia selalu berjaga sepanjang siang dan malamnya.
Hal itu tiada lain untuk mengingatkan anak akan kebaikan ibunya terhadap dia, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: {وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا} “Dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. (Al-Isra: 24)  Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ} “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14) Yakni sesungguhnya Aku akan membalasmu bila kamu bersyukur dengan pahala yang berlimpah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Syaibah dan Mahmud ibnu Gailan. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Wahb yang menceritakan bahwa Mu'az ibnu Jabal datang kepada kami sebagai utusan Nabi Saw. Lalu ia berdiri dan memuji kepada Allah, selanjutnya ia mengatakan: Sesungguhnya aku adalah utusan Rasulullah Saw. kepada kalian (untuk menyampaikan), "Hendaklah kalian menyembah Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Hendaklah kalian taat kepadaku, aku tidak akan henti-hentinya menganjurkan kalian berbuat kebaikan. Dan sesungguhnya kembali (kita) hanya kepada Allah, lalu adakalanya ke surga atau ke neraka sebagai tempat tinggal yang tidak akan beranjak lagi darinya, lagi kekal tiada kematian lagi.


       Sabar
Kemudian Luqman mengatakan lagi dalam nasihat berikutnya: {يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ} “Hai Anakku, dirikanlah salat”. (Luqman: 17) sesuai dengan batasan-batasannya, fardu-fardunya, dan waktu-waktunya. {وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ} “dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar. (Luqman: 17) sesuai dengan kemampuanmu dan menurut kesanggupan kekuatanmu. {وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ} “dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. (Luqman: 17)  Perlu kamu ketahui bahwa dalam mengerjakan amar ma'ruf dan nahi munkar terhadap manusia, pasti kamu akan beroleh gangguan dan perlakuan yang menyakitkan dari mereka. Karena itulah kamu harus bersabar terhadap gangguan mereka. Luqman menasihati anaknya untuk bersabar dalam menjalankan perintah amar ma'ruf dan nahi munkar itu.
Firman Allah Swt.:  {إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ} “Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Luqman: 17)  Sesungguhnya bersikap sabar dalam menghadapi gangguan manusia benar-benar termasuk hal yang diwajibkan oleh Allah.
f.        
      Memalingkan Muka / Sombong
Firman Allah Swt.: {وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ} “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia.” (Luqman: 18) Janganlah kamu memalingkan mukamu saat berbicara dengan orang lain, atau saat mereka berbicara kepadamu, kamu lakukan itu dengan maksud menganggap mereka remeh dan bersikap sombong kepada mereka. Akan tetapi, bersikap lemah lembutlah kamu dan cerahkanlah wajahmu dalam menghadapi mereka. Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:  "وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ وَوَجْهُكَ إِلَيْهِ مُنْبَسِط، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ المِخيلَة، وَالْمَخِيلَةُ لَا يُحِبُّهَا اللَّهَ" “sekalipun berupa sikap yang ramah dan wajah yang cerah saat kamu menjumpai saudaramu. Dan janganlah kamu memanjangkan kainmu, karena sesungguhnya cara berpakaian seperti itu termasuk sikap sombong yang tidak disukai oleh Allah.”
Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia. (Luqman: 18) Yakni janganlah kamu bersikap sombong, menganggap remeh hamba-hamba Allah, dan kamu palingkan mukamu saat mereka berbicara denganmu. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Al-Aufi dan Ikrimah bersumber dari Ibnu Abbas. Malik Ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia. (Luqman: 18) Maksudnya, janganlah kamu berbicara dengan memalingkan mukamu. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Yazid ibnul Asam, Abul Jauza, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. Ibrahim An-Nakha'i mengatakan, makna yang dimaksud ialah membual. Akan tetapi, yang benar adalah pendapat yang pertama.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal kata as-sa'r ialah suatu penyakit yang bersarang di leher dan bagian kepala unta, dan lama kelamaan dapat memisahkan leher dari kepalanya. Lalu kata ini dijadikan perumpamaan bagi orang yang bersikap takabur, sebagaimana yang disebutkan oleh seorang penyair bernama Amr ibnut Taglabi dalam salah satu bait syairnya: وَكُنَّا إذَا الجَبَّارُ صَعّر خَدّه ... أقَمْنَا لَه مِنْ مَيْلِه فَتَقَوّمَا Dan adalah kami bila menghadapi orang sombong yang memalingkan mukanya, maka kami luruskan dia dari kesombongannya hingga ia kembali ke jalan yang lurus.
Abu Talib telah mengatakan pula dalam salah satu bait syairnya: وَكُنَّا قَديمًا لَا نقرُّ ظُلامَة ... إِذَا مَا ثَنوا صُعْر الرُّؤُوسِ نُقِيمها  Dan dahulu kami tidak pernah membiarkan suatu perbuatan aniaya pun. Bila mereka mendapat pujian, lalu bersikap sombong, maka kami meluruskannya.
      
            Angkuh
Firman Allah Swt.:  {وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا} “dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” (Luqman: 18) Yaitu dengan langkah yang angkuh, sombong, serta takabur. Janganlah kamu bersikap demikian, karena Allah pasti akan membencimu. Dalam firman berikutnya disebutkan: {إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ} “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Luqman: 18) Yakni orang yang sombong dan merasa bangga dengan dirinya terhadap orang lain. Dalam ayat yang lain disebutkan oleh firman-Nya hal yang semakna, yaitu: {وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا} “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. “  (Al-Isra: 37)
Tafsir ayat ini telah dikemukakan pada pembahasannya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِمْرَانَ بْنِ أَبِي لَيْلَى، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ عِيسَى، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاس قَالَ: ذُكِرَ الْكِبْرُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَدَّدَ فِيهِ، فَقَالَ: "إِنِ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ". فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لِأَغْسِلُ ثِيَابِي فَيُعْجِبُنِي بَيَاضُهَا، وَيُعْجِبُنِي شِراك نَعْلِي، وعِلاقة سَوْطي، فَقَالَ: "لَيْسَ ذَلِكَ الْكِبْرُ، إِنَّمَا الْكِبْرُ أَنْ تَسْفه الْحَقَّ وتَغْمِط النَّاسَ"
Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Hadrami, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Imran ibnu Abu Laila, dari Isa, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Sabit ibnu Qais Syammas yang menceritakan bahwa pada suatu hari disebutkan masalah takabur di hadapan Rasulullah Saw. Maka beliau memperingatkannya dengan keras dan bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang-sombong lagi membanggakan diri.Maka seorang lelaki dari kaum yang hadir bertanya, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya saya biasa mencuci pakaian saya karena saya suka dengan warna putihnya. Saya juga suka dengan tali sandal saya serta tempat gantungan cemeti saya.Maka beliau Saw. menjawab, "Itu bukan takabur namanya, sesungguhnya yang dinamakan takabur itu ialah bila kamu meremehkan perkara yang hak dan merendahkan orang lain. Imam Tabrani telah meriwayatkan hal yang semisal melalui jalur lain, yang mengandung kisah yang cukup panjang, juga tentang gugurnya Sabit serta wasiatnya.
h

       Sederhana dalam Berjalan dan Melunakkan Suara
Firman Allah Swt.: {وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ} “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan.”(Luqman: 19) Maksudnya, berjalanlah kamu dengan langkah yang biasa dan wajar, tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat, melainkan pertengahan di antara keduanya.  Firman Allah Swt.: {وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ} “dan lunakkanlah suaramu.” (Luqman: 19) Janganlah kamu berlebihan dalam bicaramu, jangan pula kamu keraskan suaramu terhadap hal yang tidak ada faedahnya. Karena itulah disebut dalam firman berikutnya: {إِنَّ أَنْكَرَ الأصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ} “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. “(Luqman: 19)
Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan, sesungguhnya suara yang paling buruk ialah suara keledai, yakni suara yang keras berlebihan itu diserupakan dengan suara keledai dalam hal keras dan nada tingginya, selain itu suara tersebut tidak disukai oleh Allah Swt. Adanya penyerupaan dengan suara keledai ini menunjukkan bahwa hal tersebut diharamkan dan sangat dicela, karena Rasulullah Saw. pernah bersabda:         "لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ، الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ" Tiada pada kita suatu perumpamaan buruk terhadap orang yang mengambil kembali hibahnya (melainkan) seperti anjing yang muntah, lalu ia memakan lagi muntahannya.
قَالَ النَّسَائِيُّ عِنْدَ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ، عَنِ الْأَعْرَجِ، (9) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [أَنَّهُ] قَالَ: "إِذَا سمعتم صياح الديكة فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ، وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحَمِيرِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِنَّهَا رَأَتْ شَيْطَانًا"
Imam Nasai dalam tafsir ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Ja'far ibnu Rabi'ah, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila kalian mendengar suara kokokan ayam jago, maka mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Dan apabila kalian mendengar suara lengkingan keledai, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari gangguan setan, karena sesungguhnya keledai itu sedang melihat setan.
i.        
     Rendah Diri dan Tidak Ingin Terkenal
Pembahasan ini berkaitan dengan wasiat Luqmanul Hakim kepada putranya. Al-Hafiz Abu Bakar Ibnu Abud Dunia telah menghimpun sebuah kitab tersendiri yang membahas mengenainya. Berikut ini akan diketengahkan sebagian dari kandungan intinya. قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى الْمَدَنِيُّ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ حَفْصِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "رُبَّ أشعثَ ذِي طِمْرَين يُصْفَح عَنْ أَبْوَابِ النَّاسِ، إِذَا أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ"
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Musa Al-Madani, dari Usamah ibnu Zaid ibnu Hafs ibnu Abdullah ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas ibnu Malik), yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Banyak dijumpai orang yang rambutnya berdebu, berpakaian tambal sulam yang terusir dari pintu rumah orang-orang. Apabila ia memohon kepada Allah, niscaya Allah mengabulkannya.
Kemudian Ibnu Abud Dunia meriwayatkannya melalui Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit dan Ali ibnu Zaid, dari Anas, dari Nabi Saw., lalu disebutkan hadis yang semisal, dan di akhirnya ada tambahan, yaitu: مِنْهُمُ الْبَرَاءَ بْنَ مَالِكٍ  di antara mereka adalah Al-Barra ibnu Malik. Dia telah meriwayatkan pula melalui Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"طُوبَى لِلْأَتْقِيَاءِ الْأَثْرِيَاءِ الَّذِينَ إِذَا حَضَرُوا لَمْ يُعْرَفُوا، وَإِذَا غَابُوا لَمْ يُفْتَقَدُوا، أُولَئِكَ مَصَابِيحُ مُجَرَّدُونَ مَنْ كُلِّ فِتْنَةٍ غَبْرَاءَ مُشِينَةٍ"
Beruntunglah orang-orang yang bertakwa lagi kaya, yaitu mereka yang apabila hadir tidak dikenal dan bila tidak hadir tidak ada yang mencarinya. Mereka bagaikan pelita-pelita (yang bersinar cemerlang) lagi terbebas dari semua fitnah yang kotor lagi kacau.[9]

Dalam kitab Tafsir Muyassar
Disebutkan ingatlah wahai rasul, nasihat Luqman kepada putranya saat dia menasehatinya. “wahai anakku janganlah mempersekutukan sesuatu dengan Allah karena dengan itu kamu menzholimi dirimu, sesungguhnya syirik benar-benar perbuatan dosa yang paling besar dan paling buruk  Dan kami memerintahkan manusia agar berbakti dan berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dalam kedaan lemah di atas kelemahan,, mengandungnya dan menyapihnya setelah menyusuinya selama dua tahun. Kami berfirman kepadanya, “Bersyukurlah kepada Allah kemudian berterima kasihlah kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian akan kembali, lalu Aku akan membalas masing-masing sesuai haknya.
Bila bapak ibumu, wahai anak yang beriman, berusaha untukmembuatmu menyekutukan sesuatu dengan-Ku dalam ibadahmu kepada-Ku di mana kamu tidak memiliki ilmu tentangnya atau keduanya mengajakmu berbuat maksiat, maka jangan taati keduanya, karena tidak ada ketaatan bagi makhluk untuk bermaksiat kepada sang Khaliq, namun tetaplah bergaul dengan keduanya di dunia ini dengan baik dalam hal-hal yang bukan mengandung dosa. Wahai anak yang beriman, tempuhlah jalan orang-orang yang bertaubat dari dosanya yang kembali kepada-Ku, beriman kepada utusan-Ku, Muhammad kemudian hanya kepada-Ku lah tempat kembali lalu Aku mengabarkan kepada kalian apa yang dulu kalian kerjakan di dunia dan Aku membalas setiap orang yang sesuai dengan perbuatannya.
Wahai anakku ketahuilah bahwa keburukan dan kebaikan, seklaipun itu sekecil biji sawi –maksudnya sangat kecil- di perut gunung atau di manapun di langit dan dan di bumi maka akan mendatangkannya di hari kiamat dan menghisabnya. Sesungguhnya Allah Maha Lembut kepada hamba-hamba-Nya juga maha teliti terhadap perbuatan-perbuatan mereka.
Berdasarkan uraian tersebut dapat pula dikembangkan bahwa tahapan pendidikan karakter islami pada anak terdiri dari enam tahapan yaitu periode penanaman tauhid, ahad, tanggung jawab, caring /peduli, kemandirian dan bermasyarakat. Tahapan periode penanaman tauhid dilakukan pada saat anak berusia 0-2 tahun. Manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi fitrah, maknaya dianugrahi potensi tauhid, yaitu meng-Esa-kan Allah dan berusaha terus untuk mencari ketauhidan tersebut sebagaiamana yang dipaparkan Luqman kepada puteranya. Saat bayi lahir sangat penting untuk memperdengarkan kalimat-kalimat tauhid ini dalam rangka tetap menjaga ketauhidan, sampai bayi menginjak usia 2 tahun sudah diberi kemampuan untuk berbicara, maka kata-kata yang akan keluar dari mulutnya adalah kata-kata tauhid/kalimat thayyibah sebagaimana yang sering diperdengarkan kepadanya.
Pengajaran tentang adab, dilakukan saat anak menginjak usia 5-6 tahun Dalam ada fase ini anak dididik budi pekerti, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter jujur (tidak berbohong), mengenal yang baik-buruk, benar-salah, yang diperintahkan-yang dilarang. Pendidikan tanggung jawab diberikan pada anak saat berusia 7-8 tahun. Berdasarkan hadits tentang perintah shalat pada usia tujuh tahun menggambarkan bahwa pada fase ini anak dididik untuk bertanggung jawab. Jika perintah shalat itu tidak dikerjakan maka akan mendapat sanski, dipukul (pada usia sepuluh tahun).  Pada tahapan berikutnya, yaitu usia 9-10 tahun, anak diajarkan untuk peduli.
Setelah anak memiliki rasa tanggung jawab, maka akan muncul sifat kepedulian, baik kepedulian terhadap lingkungan maupun kepedulian terhadap sesama. Bila bercermin kepada tarikh Rasulullah SAW bahwa pada usia 9 tahun Rasul menggembalakan kambing. Pekerjaan menggembala kambing merupakan wujud kepedulian rasul terhadap kondisi kehidupan ekonomi pamannya, yang pada saat itu mengurusnya setelah kematian kakeknya.  Tahapan selanjutnya adalah tahapan mengajarkan kemandirian pada anak yang sudah berusia 10-12 tahun.  
Pada usia ini anak telah memiliki kemandirian. Kemandirian ini ditandai dengan siap menerima resiko jika tidak mentaati peraturan. Contoh kemandirian pada pribadi rasul adalah saat beliau mengikuti pamannya untuk berniaga ke negeri Syam. Pada saat itu Rasulullah telah memiliki kemandirian yang hebat, tidak cengeng, kokoh, sampai mau mengikuti perjalanan yang jauh dengan pamannya tersebut, hingga pada saat itu seorang pendeta Bukhaira menemukan tanda-tanda kenabian pada beliau.
Tahapan selanjutnya adalah mengajarkan bermasyarakat ketika anak menginjak usia 13 tahun. Pada fase ini anak sudah mulai memiliki kemampuan untuk bermasyarakat dengan berbekal pengalaman-pengalaman yang didapat pada fase-fase sebelumnya. Kehidupan dalam masyarakat lebih kompleks dari kehidupan keluarga, anak anak mengenal banyak karakter manusia selain karakter orang-orang yang dia temui di dalam keluarganya.[10]


 KESIMPULAN


1.      Pendidikan Karakter adalah pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti,  pendidikan yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan etis siswayang  dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, mewujudkan, dan menebar kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
2.      Pubertas pada remaja merupakan proses yang mengarah pada kematangan seksual atau kesuburan bereproduksi. Proses pubertas ini diawali dengan sekresi hormon Gonadotropin dari hipotalamus otak yang mengakibatkan munculnya hormon luteinizing (LH) dan hormon follicle stimulating (FSH) di mana pada laki-laki mengakibatkan pemisahan hormon testosteron dan androstenedion, sedangkan pada perempuan
3.      Kaidah-kaidah pubertas pada remaja dalam QS An Nuur : 31 dan QS Al Ahzab : 59 menurut beberapa tafsir Al Qur’an adalah tentang aturan menutup aurat bagi perempuan yang sudah baligh, larangan menampakkan perhiasan serta manfaat dari aturan menutup aurat tesebut.
4.      Cara pendidikan anak yang diajarkan Al Qur’an untuk membentuk generasi yang berkarakter islami dalam QS Luqman : 13-19 menurut beberapa tafsir Al Qur’an diantaranya penanaman karakter-karakter baik seperti sederhana dalam berjalan dan melunakkan suara, sabar, berbakti Kepada orang tua, larangan mempersekutukan Allah dan bersyukur. Karakter-karakter buruk yang harus dihindari diantaranya rendah diri dan tidak ingin terkenal, angkuh dan memalingkan muka / sombong
5.      Tahapan pendidikan karakter islami anak terdiri dari pengajaran tauhid, adab, tanggung jawab, peduli, kemandirian  dan bermasyarakat.

  
DAFTAR PUSTAKA


Dr Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2009. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta :  Pustaka Imam As Syafii.

Imam Jalaludin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli, Al Imam Jalaluddin Abdirahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. 2015. Tafsir Jalalain. Surabaya : PT eLBA Fitrah Mandiri Sejahtera

Syaikh Al-Allamah Dr Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh. 2016. Tafsir Muyassar 2 Memahami Al Qur’an dengan Terjemahan dan Penafsiran Paling Mudah. Jakarta : Darul Haq

Unang Wahidin. Pendidikan Karakter Bagi Remaja. Halaman 256-257

Ani Nur Aeni . 2014. Pendidikan Karakter Untuk Siswa SD Dalam Perspektif Islam. Mimbar Sekolah Dasar, Volume 1 Nomor 1 April 2014, hal. 50-51

Imaningtyas, I., Atmoko, A., & Triyono, T. (2017). Pengekspresian Jatuh Cinta Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Media Tulisan: Kreativitas atau Vandalisme?. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(4)

Sisrazeni. (2016). Emosi Cinta Siswa : Studi Di SMPN Se Tanah Datar. Proceeding International Seminar on Education Faculty of Tarbiyah and Teacher Training,

Elizabeth B. Hurlock. 2012. Psikologi Perkembangan Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga

W.S.Winkel.S,J, M.Sc.2014. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Sketsa (2014)
Dianne E.Papalia. 2014. Menyelami Perkembangan Manusia Experience Human Development Jakarta:  Penerbit Salemba Humanika (2014)

Tasman Hamami, dkk. 2019. Kurikulum Pendidikan Al Islam, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (ISMUBA) Tahun 2017 untuk SD Muhammadiyah.  Jakarta Pusat : Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Gedung Dakwah Muhammadiyah

Jalaludin. 2018. Psikologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Virgianti Nurardila, Diyah Sri Yuhandini. (2017). Keterkaitan Tentang Pengetahuan Reproduksi Remaja dengan Perilaku Seks Pra Nikah pada Siswa-Siswa kelas XI di SMA PGRI 1 Kabuparen Majalengka Tahun 2017.   Jurnal Care Vol .5, No.3,Tahun 2017

Ahmad Tri Sofyan. 2019 Pendidikan Al Islam SD Muhammadiyah Kelas 6. Jakarta Pusat:  Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Gedung Dakwah Muhammadiyah.: VIII





[1]  Ani Nur Aeni . 2014. Pendidikan Karakter Untuk Siswa SD Dalam Perspektif Islam. Mimbar Sekolah Dasar, Volume 1 Nomor 1 April 2014, hal. 50-51
[2] Dr Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2009. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta :  Pustaka Imam As Syafii.
[3] Imam Jalaludin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli, Al Imam Jalaluddin Abdirahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. 2015. Tafsir Jalalain. Surabaya : PT eLBA Fitrah Mandiri Sejahtera
[4] Syaikh Al-Allamah Dr Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh. 2016. Tafsir Muyassar 2 Memahami Al Qur’an dengan Terjemahan dan Penafsiran Paling Mudah. Jakarta : Darul Haq Hal 140-141
[5] Dr Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2009. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta :  Pustaka Imam As Syafii.
[6]  Imam Jalaludin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli, Al Imam Jalaluddin Abdirahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. 2015. z. Surabaya : PT eLBA Fitrah Mandiri Sejahtera

[7] Syaikh Al-Allamah Dr Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh. 2016. Tafsir Muyassar 2 Memahami Al Qur’an dengan Terjemahan dan Penafsiran Paling Mudah. Jakarta : Darul Haq

[8] Dr Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2009. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta :  Pustaka Imam As Syafii.

[9] Dr Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2009. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta :  Pustaka Imam As Syafii.

[10] Ani Nur Aeni. 2014. Pendidikan Karakter untuk Siswa SD Dalam Persepektif Islam. Mimbar Sekolah Dasar, Volume 1 Nomor 1 April 2014, (hal. 50-58)































[1] W.S.Winkel.S,J, M.Sc.2014. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Sketsa (2014): 25

[2] Unang Wahidin. Pendidikan Karakter Bagi Remaja. Halaman 256-257

Posting Komentar untuk "PENDIDIKAN KARAKTER ISLAMI PADA SISWA PUBERTAS DITINJAU DARI QS LUQMAN : 13-19, QS AN NUUR : 31 DAN QS AL AHZAB : 59 (Tinjauan Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Jalalain dan Muyassar)"