PENDIDIKAN KARAKTER ISLAMI PADA SISWA PUBERTAS DITINJAU DARI QS LUQMAN : 13-19, QS AN NUUR : 31 DAN QS AL AHZAB : 59 (Tinjauan Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Jalalain dan Muyassar)
ABSTRACT
High
school elementary students who have difficulty experiencing puberty experience
changes in biology and psychological outlook. This period is a very vulnerable
period where adolescent issues become very important to be discussed. Character
education in the Qur'an for puberty children including contained in QS An Nuur:
31 and QS Al Ahzab: 59 about the obligation to close genitals, hold views and
keep genitals. Character education can be seen from QS Luqman verses 13-19,
where the three kinds of verses in the letter are reviewed from three kinds of
commentary books namely Ibn Kathir, the Jalalain, and the Muyassar Book. The
good characters taught in QS Luqman 13-19 include being simple in walking and
softening the voice, being patient, filial to your parents, prohibiting
associating partners with God and giving thanks. Bad characters that must be
avoided include low self-esteem and do not want to be famous, arrogant and look
away / arrogant. Stages of children's Islamic character education consist of
teaching monotheism, etiquette, responsibility, care, independence and
community.
Keywords: puberty, Islamic character education, ibn
katir interpretation, jalalain interpretation, muyassar interpretation
ABSTRAK
Siswa SD kelas
atas yang susah mengalami masa pubertas mengalami perubahan secara biologis dan
secara pandangan psikologis. Masa ini adalah masa yang sangat rentan di mana
persoalan remaja menjadi sangat penting untuk dibahas. Pendidikan karakter
dalam Al Qur’an untuk anak pubertas diantaranya tertuang dalam QS An Nuur : 31
dan QS Al Ahzab : 59 tentang kewajiban menutup aurat, menahan pandangan dan
menjaga kemaluan. Pendidikan karakternya dapat dilihat dari QS Luqman ayat 13-19,
di mana ketiga macam ayat pada surat tersebut ditinjau dari tiga macam kitab
tafsir yaitu kitab Ibnu Katsir, Kitab Jalalain, dan Kitab Muyassar.
Karakter-karakter baik yang diajarkan dalam QS Luqman 13-19 diantaranya sederhana
dalam berjalan dan melunakkan suara, sabar, berbakti Kepada orang tua, larangan
mempersekutukan Allah dan bersyukur. Karakter-karakter buruk yang harus
dihindari diantaranya rendah diri dan tidak ingin terkenal, angkuh dan
memalingkan muka / sombong. Tahapan pendidikan karakter islami anak terdiri
dari pengajaran tauhid, adab, tanggung jawab, peduli, kemandirian dan bermasyarakat.
Kata kunci :
pubertas, pendidikan karakter islami, tafsir ibnu katsir, tafsir jalalain,
tafsir muyassar
Siswa
kelas atas sekolah dasar adalah siswa yang berusia 10-12 tahun. Pada usia
tersebut, anak mengalami perubahan tubuh secara biologis yang dikenal dengan
istilah pubertas. Pubertas atau lebih dikenal dengan masa remaja merupakan masa perkembangan ketika anak-anak
berubah dari makhluk aseksual menjadi makhluk seksual di mana pada masa ini
terjadi pematangan alat-alat seksual dan tercapai kemampuan reproduksi yang
kemudian disertai dengan perubahan dalam pertumbuhan sel tubuh atau sel somatis
dan perspektif psikologis.[1] Usia
pubertas pada anak perempuan dan laki-laki dan perempuan berbeda. Pada
perempuan usia pubertas berlangsung pada usia 11-15 tahun, sedangkan apada
laki-laki terjadi pada usia 12-16 tahun.
Perubahan
fisik atau somatis pada laki-laki dan perempuan terjadi pada anak yang
mengalami masa pubertas ini. Perubahan tersebut berupa perubahan primer dan
perubahan sekunder. Perubahan primer pada laki-laki adalah dengan diproduksinya
sel sperma oleh testis yang ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perubahan
primer pada perempuan ditandai dengan diproduksinya sel telur atau ovum oleh
ovarium. Perubahan sekunder pada laki-laki ditandai dengan mulai tampaknya
perubahan fisik yang berupa tumbuh jakun, suara menjadi berat, dada terlihat
bidang, dan tumbuhnya rambut halus di sekitar kemaluan dan atas mulut.
Perempuan juga mengalami perubahan sekunder diantaranya tumbuhnya payudara,
membesarnya pinggul, kulit menjadi halus, suara menjadi nyaring dan tumbuhnya
rambut halus di sekitar kemaluan. Perubahan fisik ini dipengaruhi oleh aktifnya
hormon gonadotropin pada remaja.
Tidak hanya perubahan fisik atau somatis
yang dialami oleh remaja yang mengalami pubertas. Perubahan perspektif
psikologis juga mulai terjadi. Misalnya mulai berkembangnya kedekatan dengan
teman sebaya dibandingkan dengan kedekatan dengan orang tua yang ini tentu saja
akan berakibat pada pola pergaulan anak. Apabila lingkungan di sekitar anak
mendukung ke arah yang positif, tentunya anak akan terbawa ke arah yang baik. Saat
ini persoalan karakter remaja di negara kita menjadi sorotan tajam masyarakat. Persoalan
karakter remaja diantaranya kekerasan, hubungan seksual secara bebas, perusakan
yang dilakukan pelajar, perkelahian antar siswa, kehidupan ekonomi yang konsumtif,
dan sebagainya. Salah satu alternatif yang banyak dikemukakan untuk mengatasi,
paling tidak mengurangi, masalah karakter remaja yang dibicarakan itu adalah
pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif dan
kuratif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik.
Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat
mengembangkan kualitas remaja dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai
masalah karakter bangsa.
Pendidikan ersifat kuratif adalah pendidikan
dianggap dapat memperbaiki masalah karakter yang telah terjadi pada para
remaja. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam
waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat pada
masyarakat di masa yang akan datang.[2]Al
Qur’an sebagai pedoman hidup bagi umat Islam mengajarkan berbagai macam hal
termasuk di dalamnya tentang pendidikan karakter dan pendidikan pada masa
pubertas. Makalah ini membahas tentang pendidikan karakter pada masa pubertas
ditinjau dari perspektif QS Luqman : 13-19, QS Al Ahzab : 59 dan QS An Nuur :
31.
Pendidikan
Karakter
Sebelum membahas pendidikan karakter, terlebih
dahulu dipaparkan tentang pengertian karakter. Istilah karakter diambil dari
bahasa Yunani “Charassian” yang berarti “to
mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur,
kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.
Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan
berkarakter mulia. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah
“bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat,
tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter, adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, dan berwatak.
Imam Al-Ghazali menganggap
karakter lebih dekat kepada akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap,
atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika
muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Sementara Ki Hajar Dewantara (dalam Wibowo,
2013, p. 34) memandang bahwa karakter itu sebagai watak atau budi pekerti.
Koesoema (2007, p. 80) menyebutkan bahwa jika karakter dipandang dari sudut
behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak
lahir, maka karakter dianggap sama dengan kepribadian.
Karakter dipengaruhi oleh
hereditas, sebagaimana dinyatakan oleh Samani & Hariyanto (2013) bahwa
karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang,
terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya
dengan orang lain, serta diwujudkan dengan sikap dan perilakunya dalam
kehidupan sehari-hari.
Sementara untuk pengertian
pendidikan karakater Lickona (1992) menyebutkan “character education
is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon
core ethical values”, hal ini berarti bahwa pendidikan
karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan
bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti. Pendidikan Karakter adalah
pendidikan yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan etis siswa.
Dirjen Dikti (dalam Barnawi & Arifin, 2013) menyebutkan bahwa pendidikan
karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik,
mewujudkan, dan menebar kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh
hati. Semantara secara sederhana pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai hal
postif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang
diajarnya (Samani & Hariyanto, 2013).
Pendidikan karakter
merupakan sebuah upaya untuk membangun karakter (character building). Elmubarok
(2008, p. 102) menyebutkan bahwa carakter building merupakan proses
mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik,
dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain, ibarat sebauh huruf dalam
alfabeta yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah
orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Pendidikan
karakter dapat disebut juga sebagai pendidikan moral, pendidikan nilai,
pendidikan dunia afektif, pendidikan akhlak, atau pendidikan budi pekerti.
Secara Eksplisit Pendidikan Karakter merupakan amanat UU No 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional[1]
Pubertas
Perubahan fisik yang penting adalah
mengarah pada kematangan seksual atau kesuburan bereproduksi. Proses pubertas
ini diawali dengan sekresi hormon Gonadotropin dari hipotalamus otak yang
mengakibatkan munculnya hormon luteinizing
(LH) dan hormon follicle stimulating (FSH)
di mana pada laki-laki mengakibatkan pemisahan hormon testosteron dan
androstenedion, sedangkan pada perempuan peningkatan FSH menyebabkan terjadinya
menstruasi.[i]
Tahapan pubertas ada tiga macam, yaitu tahap prapuber, tahap puber dan tahap
pascapuber. Tahap prapuber terjadi pada satu atau dua tahun terakhir masa
anak-anak, di mana dalam usia ini seseorang bukan lagi seorang anak tetapi juga
belum dapat dikatakan sebagai remaja. Ciri utama tahapan ini adalah ciri-ciri
seks sekunder mulai tampak tetapi organ reproduksi belum sepenuhnya berkembang.
Tahap puber terjadi di mana terjadi saat
kriteria kematangan seksual muncul yang ditandai dengan menstruasi pada
perempuan dan mimpi basah pada laki-laki. Pada tahapan ini pula, ciri seks
sekunder telah berkembang dan sel-sel (sel sperma dan sel telur) diproduksi
dalam organ-organ seks, dalam hal ini testis pada laki-laki dan ovarium pada perempuan.
Tahap pascapuber bertumpang tindih dengan tahun pertama atau kedua masa remaja
di mana tahap ini ciri-ciri seks sekunder telah berkembang baik dan organ-organ
seks mulai brfungsi secara matang.
Akibat perubahan pada masa pubertas ada
dua macam yaitu akibat terhadap keadaan fisik dan akibat pada sikap dan
perilaku. Akibat terhadap keadaan fisik diantaranya menyebabkan
perubahan-perubahan tubuh yang disertai kelelahan, kelesuan dan gejala-gejala
buruk lainnya seperti gangguan pencernaan dan nafsu makan yang kurang baik.
Anemia juga sering terjadi pada masa ini yang diakibatkan oleh kebiasaan makan
yang tidak menentu yang pada gilirannya menambah kelesuan dan kelelahan.
Selaama awal periode haid, perempuan sering mengalami sakit kepala, sakit punggung,
kejang, sakit perut, muntah-muntah, gangguan kulit dan pembengkakan tungkai
serta pergelangan kaki. Hal ini menimbulkan perasaan lelah, tertekan dan mudah
marah. Ketika haid mulai teratur, gangguan fisik dan psikologis yang ada pada
mulanya cenderung menghilang.
Akibat pada sikap dan perilaku di masa
pubertas umumnya lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Hal
ini sebagian disebabkan oleh perempuan umumnya lebih cepat matang daripada
laki-laki dan sebagian karena banyaknya hambatan-hambatan sosial mulai
ditekankan pada perempuan justru pada saat anak permpuan mencoba membebaskan
diri dari berbagai pembatasan. Karena mencapai masa pubertas lebih dulu
daripada laki-laki, perempuan lebih cepat menunjukkan tanda-tanda perilaku yang
mengganggu dibandingkan dengan anak laki-laki. Namun, perilaku anak perempuan
lebih cepat stabil dibandingkan laki-laki.
Akibat perubahan masa puber pada sikap dan
perilaku yang terjadi diantaranya ingin menyendiri, bosan, inkoordinasi,
antagonisme soosial, emosi yang meninggi, hilangnya kepercayaan diri dan
terlalu sederhana.[ii]
(1) Ingin menyendiri, saat mengalami masa puber, anak-anak cenderung menarik
diri dari teman-teman dan dari beragai kegiatan keluarga dan sering bertengkar
dengan teman-teman dan anggota keluarga, melakukan eksperimen seks seperti
masturbasi dan ketidakinginan berkomunikasi dengan orang lain. (2) Bosan,
anak-anak yang memasuki masa pubertas mengalami kebosanan dengan permainan yang
sebelumnya mereka sukai, tugas-tugas sekolah, kegiatan-kegiatan sosial dan
kehidupan pada umumnya. Jika kodisi ini dibiarkan, anak akan mengalami
penurunan prestasi karena mengalami kemalasan. (3) Inkoordinasi, pertumbuhan
pesat yang tidak seimbang memepengaruhi pola koordinasi gerakan di mana anak
akan merasa kikuk dan janggal selama beberapa waktu. Namun setelah pertumbuhan
melambat, koordinasi akan membaik secara bertahap.
Akibat
selajutnya adalah (4) antagonisme sosial. Anak yang memasuki masa puber
seringkali tidak mau bekerja sama, sering membantah, dan menentang. Permusuhan
dungkapkan dalam kritik dan komentar-komentar yang merendahkan. Namun seiring
dengan perkembangan usianya, anak akan menjadi lebih ramah, sabar dan dapat
bekerja sama dengan orang lain. (5) Emosi yang meninggi ditandai kemurungan,
merajuk dan ledakan amarah serta kecenderungan untuk menangis merupakan ciri
bagian awal masa puber. Perasaan kawatir, gelisah, sedih, cepat marah serta
suasana hati yang negatif sering terjadi pada masa prahaid dan awal haid.
Seiring dengan matangnya fisik anak, ketegangan emosi akan berkurang dan anak
dapat mengendalikan emosinya dengan baik. (6) Hilangnya kepercayaan diri dan
takut akan kegagalan juga terjadi pada masa puber. Hal ini disebabkan adanya
penurunan daya tahan fisik dan berbagai kritik yang ditemui dalam kehidupan.
Apabila hal ini tidak ditangani dengan baik, maka remaja akan menjadi rendah
diri. (7) Terlalu sederhana, umumnya dilakukan dalam hal berpenampilan.
Kesederhanaan ini mereka tampilkan untuk menghindari perhatian orang lain yang
berlebihan yamg dapat menimbulkan komentar buruk
C.
Kaidah-kaidah
Pubertas pada Remaja dalam QS An Nuur : 31 dan QS Al Ahzab : 59 menurut Beberapa
tafsir Al Qur’an
Remaja
adalah masa di mana seorang anak telah manjadi baligh sehingga pada dirinya
dikenakan aturan-aturan tertentu terutama dalam hal menutup aurat. Pedoman
mengenai hal ini terdapat pada QS An Nuur : 31 dan QS Al Ahzab : 59. Berikut
adalah penafsiran ayat tersebut ditinjau dari 3 macam kitab tafsir yaitu Tafsir
Ibnu Katsir, Tafsir Jalallain dan Tafsir Muyassar
1. QS
An Nuur : 31
{وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31) }
Katakanlah kepada wanita
yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara
lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.
Dalam kitab tafsir Ibnu
Katsir dinyatakan sebagai berikut
Ini
adalah perintah dari Allah Swt., ditujukan kepada kaum wanita mukmin, sebagai
pembelaan Allah buat suami-suami mereka yang terdiri dari hamba-hamba-Nya yang
beriman, serta untuk membedakan wanita-wanita yang beriman dari ciri khas
wanita Jahiliah dan perbuatan wanita-wanita musyrik. Disebutkan bahwa latar
belakang turunnya ayat ini seperti yang disebutkan oleh Muqatil ibnu Hayyan,
telah sampai kepada kami bahwa Jabir ibnu Abdullah Al-Ansari pernah
menceritakan bahwa Asma binti Marsad mempunyai warung di perkampungan Bani
Harisah, maka kaum wanita mondar-mandir memasuki warungnya tanpa memakai kain
sarung sehingga perhiasan gelang kaki mereka kelihatan dan dada mereka serta
rambut depan mereka kelihatan. Maka berkatalah Asma, "Alangkah buruknya
pakaian ini." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Katakanlah kepada wanita
yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya." (An-Nur: 31), hingga akhir ayat.
Adapun
firman Allah Swt.: {وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ} “Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka
menahan pandangannya." (An-Nur: 31) Yakni dari apa yang diharamkan oleh Allah
bagi mereka, yaitu memandang kepada selain suami mereka. Karena itulah
kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh memandang lelaki lain
yang bukan mahramnya, baik dengan pandangan berahi ataupun tidak, secara
prinsip. Sebagian besar dari mereka
berdalilkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam
Turmuzi melalui hadis Az-Zuhri dari Nabhan maula Ummu Salamah yang menceritakan
kepadanya bahwa Ummu Salamah pernah bercerita kepadanya bahwa pada suatu hari
dia dan Maimunah berada di hadapan Rasulullah Saw. Ummu Salamah melanjutkan
kisahnya, "Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah Ibnu
Ummi Maktum. Ibnu Ummi Maktum masuk menemui Rasulullah. Kejadian ini sesudah
Rasulullah Saw. memerintahkan kepada kami agar berhijab. Maka Rasulullah Saw.
bersabda: "احْتَجِبَا مِنْهُ" 'Berhijablah kamu berdua darinya!'
Maka saya (Ummu Salamah) bertanya, 'Wahai Rasulullah, bukankah dia buta tidak
dapat melihat kami dan tidak pula mengetahui kami?' maka Rasulullah Saw.
bersabda: "أَوَ
عَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا؟ أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ"
'Apakah kamu berdua juga buta? Bukankah
kamu berdua dapat melihatnya?'." Kemudian Imam Turmuzi mengatakan
bahwa hadis ini hasan sahih.
Ulama
lainnya berpendapat bahwa kaum wanita diperbolehkan memandang lelaki lain tanpa
berahi. Seperti yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa Rasulullah Saw.
menyaksikan orang-orang Habsyah sedang memainkan atraksi dengan tombak mereka
di hari raya di dalam masjid, sedangkan Aisyah Ummul Mu'minin menyaksikan
pertunjukan mereka dari balik tubuh Nabi Saw., dan Nabi Saw. menutupinya dari
pandangan mereka hingga Aisyah bosan, lalu pulang. Firman Allah Swt.: {وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ} “dan
memelihara kemaluannya.” (An-Nur: 31) Sa'id ibnu Jubair mengatakan, maksudnya yaitu memelihara
kemaluannya dari perbuatan keji. Menurut Qatadah dan Sufyan, dari perbuatan
yang tidak dihalalkan baginya. Sedangkan menurut Muqatil, dari perbuatan zina.
Abul
Aliyah mengatakan bahwa semua ayat Al-Qur'an yang menyebutkan perintah
memelihara kemaluan maksudnya adalah memeliharanya dari perbuatan zina, kecuali
ayat ini yang mengatakan: dan memelihara kemaluannya. (An-Nur: 31) Yang dimaksud ialah agar jangan sampai
kelihatan oleh seorang pun. Firman Allah
Swt.: {وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا
ظَهَرَ مِنْهَا} “dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak
darinya.” (An-Nur: 31) Yaitu
janganlah mereka menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki lain,
kecuali apa yang tidak bisa disembunyikan.
Menurut Ibnu Mas'ud, hal yang dimaksud adalah seperti kain selendang dan
pakaiannya; yakni sesuai dengan pakaian tradisi kaum wanita Arab yang menutupi
seluruh tubuhnya, sedangkan bagian bawah pakaian yang kelihatan tidaklah
berdosa baginya bila menampakkannya, sebab bagian ini tidak dapat
disembunyikan. Hal yang sama berlaku pula pada pakaian wanita lainnya yang
bagian bawah kainnya kelihatan karena tidak dapat ditutupi. Pendapat yang sama
dikatakan oleh Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abul Jauza, Ibrahim An-Nakha'i dan
lain-lainnya.
Al-A'masy
telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) tampak darinya, (An-Nur: 31) Yakni wajahnya, kedua telapak tangannya,
dan cincinnya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ata,
Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Ad-Dahhak, dan Ibrahim An-Nakha'i
serta lain-lainnya. Pendapat ini dapat dijadikan tafsir terhadap pengertian
perhiasan yang dilarang bagi kaum wanita menampakkannya, seperti apa yang
dikatakan oleh Abu Ishaq As-Subai'i, dari Abul Ahwas, dari Abdullah sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya.
(An-Nur: 31) Yaitu anting-anting, kalung, gelang tangan, dan gelang kaki.
Menurut
riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Mas'ud dalam sanad yang sama, perhiasan
itu ada dua macam, yaitu perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kecuali hanya
kepada suami, seperti cincin dan gelang. Dan perhiasan yang boleh terlihat oleh
lelaki lain, yaitu bagian luar dari pakaiannya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa tidak boleh ditampakkan kepada mereka yang
disebutkan nama-namanya oleh Allah Swt. selain gelang, kerudung dan
anting-anting tanpa membukanya. Adapun bagi orang lain secara umum, maka tidak
boleh ada yang tampak dari perhiasannya kecuali hanya cincin. Malik telah meriwayatkan dari Az-Zuhri
sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali yang (biasa) tampak darinya.
(An-Nur: 31) Yakni cincin dan gelang kaki. Dapat pula dikatakan bahwa Ibnu
Abbas dan para pengikutnya bermaksud dengan tafsir firman-Nya yang mengatakan,
"Kecuali apa yang biasa tampak darinya," adalah wajah dan kedua
telapak tangan.
Pendapat
inilah yang terkenal di kalangan jumhur ulama. Hal ini diperkuat oleh sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya, bahwa telah
menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ka'b Al-Intaki dan Muammal ibnul Fadl
Al-Harrani; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Walid,
dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Khalid ibnu Duraik, dari Aisyah
r.a., bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke dalam rumah Nabi Saw. dengan memakai
pakaian yang tipis (cekak) Maka Nabi Saw. memalingkan muka darinya seraya
bersabda: "يَا أَسْمَاءُ، إن المرأة إذا
بلغت المحيض لم يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا" وَأَشَارَ إِلَى
وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ "Hai
Asma, sesungguhnya wanita itu apabila telah berusia balig, tidak boleh ada yang
terlihat dari tubuhnya kecuali hanya ini. Nabi Saw. bersabda demikian seraya
mengisyaratkan ke arah wajah dan kedua telapak tangannya. Akan tetapi, Abu Daud
dan Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa hadis ini mursal karena Khalid ibnu
Duraik belum pernah mendengar dari Siti Aisyah r.a.
Firman
Allah Swt.: {وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ} “Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”An-Nur: 31) Yakni kain kerudung yang panjang agar
dapat menutupi dada dan bagian sekitarnya, agar berbeda dengan pakaian wanita
Jahiliah. Karena sesungguhnya wanita Jahiliah tidak berpakaian seperti ini,
bahkan seseorang dari mereka lewat di hadapan laki-laki dengan membusungkan
dadanya tanpa ditutupi oleh sehelai kain pun. Adakalanya pula menampakkan
lehernya dan rambut yang ada di dekat telinganya serta anting-antingnya. Maka
Allah memerintahkan kepada wanita yang beriman agar menutupi seluruh tubuhnya,
seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain melalui
firman-Nya: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ} “Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu.” (Al-Ahzab: 59)
Dan
dalam ayat berikut ini Allah Swt. berfirman: {وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ} “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya
ke dadanya.” (An-Nur: 31) Al-khumur
adalah bentuk jamak dari khimar, artinya kain kerudung yang dipakai untuk
menutupi kepala; dikenal pula dengan sebutan muqani'. Sa'id ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna
firmannya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya.
(An-Nur: 31)
Maksudnya, menutupi bagian leher dan dadanya; maka tidak boleh ada sesuatu pun
dari bagian tersebut yang tampak. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari
Yunus, dari ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisysah r.a. yang mengatakan,
"Semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirin pertama. Ketika Allah
menurunkan firman-Nya: 'Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya.' (An-Nur: 31) maka mereka membelah kain sarinya, lalu
mereka jadikan sebagai kerudung."
Imam
Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Nafi', dari Al-Hasan ibnu Muslim, dari
Safiyyah binti Syaibah, bahwa Aisyah r.a. pernah mengatakan bahwa ketika ayat
ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudungnya ke dadanya. (Ah-Nur: 31)
Maka mereka melepaskan kain sarungnya, lalu mereka robek dari pinggirnya,
kemudian robekan itu mereka jadikan kain kerudung (pada saat itu juga). Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah ibnu
Yunus, telah menceritakan kepadaku Az-Zunji ibnu Khalid, telah menceritakan
kepada kami Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Safiyyah binti Syaibah yang
menceritakan, "Ketika kami sedang berada di rumah Aisyah, dan kami
memperbincangkan tentang wanita Quraisy serta keutamaan mereka; maka Siti
Aisyah berkata, "Sesungguhnya kaum
wanita Quraisy memang mempunyai suatu keutamaan, dan sesungguhnya demi Allah,
aku belum pernah melihat wanita yang lebih utama daripada wanita Ansar dalam
hal keimanan dan kepercayaannya kepada kitabullah dan wahyu yang diturunkan.” Sesungguhnya
ketika diturunkan firman-Nya: “Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maka kaum lelaki mereka berbalik kepada
kaum wanitanya seraya membacakan kepada mereka apa yang baru diturunkan oleh
Allah Swt. Seorang lelaki dari mereka membacakannya kepada istrinya, anak
perempuannya, saudara perempuannya, dan kaum kerabatnya yang wanita. Sehingga
tiada seorang wanita pun melainkan bangkit melepaskan kain sarinya, lalu
dipakainya sebagai kerudung karena membenarkan dan iman kepada wahyu dari Allah
Swt. yang baru diturunkan. Sehingga mereka di belakang Rasulullah memakai
kerudung semua, seakan-akan pada kepala mereka terdapat burung gagak'."
Imam
Abu Daud meriwayatkan hadis ini melalui jalur lain dari Safiyyah binti Syaibah dengan
sanad yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa Qurrah ibnu Abdur Rahman pernah
menceritakan kepadanya dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisyah yang
mengatakan bahwa semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirin pertama, ketika
Allah menurunkan firman-Nya: Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Maka mereka membelah kain sari mereka,
lalu mereka jadikan sebagi kerudungnya. Abu Daud telah meriwayatkannya melalui
hadis Ibnu Wahb dengan sanad yang sama.
Firman
Allah Swt.: وَلا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ}
“dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali kepada suami mereka.” (An-Nur: 31) Ba'lun yang bentuk jamaknya adalah bu'ul artinya suami. {أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ} “atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka. “ (An-Nur: 31) Mereka
yang disebutkan di atas adalah mahram wanita, mereka diperbolehkan
memperlihatkan perhiasannya kepada orang-orang tersebut, tetapi bukan dengan
cara tabarrujj.
Ibnul
Munzir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada
kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah
menceritakan kepada kami Daud, dari Asy-Sya'bu, dari Ikrimah sehubungan dengan
makna ayat ini, yaitu firman-Nya: “dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau
ayah mereka atau ayah suami mereka. “ (An-Nur: 31), hingga akhir ayat. Lalu ia berkata bahwa Allah Swt. tidak
menyebutkan paman dari pihak ayah, tidak pula paman dari pihak ibu; karena
keduanya dinisbatkan kepada anak keduanya. Untuk itu seorang wanita tidak boleh
meletakkan kain kerudungnya di hadapan pamannya, baik dari pihak ayah maupun
dari pihak ibu. Demikian itu karena dikhawatirkan keduanya akan menggambarkan
keadaannya kepada anak-anak keduanya. Adapun terhadap suami, sesungguhnya hal
tersebut hanyalah untuk suaminya. Karena itu, seorang wanita dianjurkan merias
dan mempercantik dirinya di hadapan suaminya, yang hal seperti itu tidak boleh
dilakukannya di hadapan lelaki lain.
Firman
Allah Swt.: {أَوْ نِسَائِهِنَّ} “atau wanita-wanita
Islam.” (An-Nur: 31)
Yakni seorang wanita diperbolehkan menampakkan perhiasannya kepada wanita
muslimat, bukan wanita kafir Ummi agar mereka tidak menceritakan keadaan kaum
wanita muslimat kepada kaum laki-laki mereka. Perbuatan ini sekalipun dilarang
terhadap semua wanita, hanya terhadap wanita kafir zimmi lebih berat
larangannya, mengingat tiada suatu norma pun yang melarang mereka untuk
menceritakan hal tersebut. Adapun wanita muslimah, sesungguhnya ia mengetahui
bahwa perbuatan menceritakan perihal wanita lain (kepada lelaki) adalah haram
sehingga ia menahan dirinya dari melakukan hal tersebut. Rasulullah Saw. telah
bersabda: "لَا تُبَاشِرُ المرأةَ
المرأةَ، تَنْعَتُهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا" “Janganlah seorang
wanita menceritakan (menggambarkan) keadaan wanita lain kepada suaminya,
(hingga) seakan-akan suaminya memandang ke arahnya.” Hadis diketengahkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui
Ibnu Mas'ud.
Sa'id
ibnu Mansur telah meriwayatkan di dalam kitab sunannya, telah menceritakan
kepada kami Isma'il ibnu Ayyasy, dari Hisyam ibnul Gazi, dari Ubadah ibnu
Nissi, dari ayahnya, dari Al-Haris ibnu Qais, bahwa Khalifah Umar menulis surat
kepada Abu Ubaidah yang isinya sebagai berikut: Amma Ba'du, “Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku
yang mengatakan bahwa sebagian dari kaum wanita muslimat sering memasuki tempat
mandi sauna bersama wanita-wanita musyrik, dan hal itu terjadi di daerah
wewenangmu. Maka tidak dihalalkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian memperlihatkan auratnya kepada wanita lain kecuali wanita yang
seagama dengannya.”
Mujahid
telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: atau wanita-wanita Islam.
(An-Nur: 31) Yakni kaum wanita muslimat, bukan kaum wanita musyrik. Wanita
muslimat tidak diperbolehkan memperlihatkan auratnya di hadapan wanita musyrik.
Abdullah telah meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari Al-Kalbi, dari Abu
Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “atau wanita-wanita Islam.“ (An-Nur: 31)
Yaitu kaum wanita muslimat; wanita muslimat tidak boleh menampakkan
perhiasannya kepada wanita Yahudi, juga kepada wanita Nasrani. Perhiasan yang
dimaksud ialah bagian leher, anting-anting, bagian yang ditutupi oleh kain
kerudung, dan anggota lainnya yang tidak halal dilihat kecuali hanya oleh
mahramnya. Sa'id telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari
Lais, dari Mujahid yang mengatakan bahwa wanita muslimat tidak boleh
menanggalkan kain kerudungnya di hadapan wanita musyrik, karena Allah Swt.
telah berfirman: “atau wanita-wanita
Islam.” (An-N ur:31) Sedangkan wanita musyrik bukan termasuk mereka.
Telah
diriwayatkan dari Makhul dan Ubadah ibnu Nissi, bahwa keduanya telah menghukumi
makruh bila ada wanita Nasrani, wanita Yahudi, dan wanita Majusi menyambut
wanita muslimat. Adapun mengenai apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan
kepada kami Abu Umair, telah menceritakan kepada kami Damrah, bahwa Ata telah
meriwayatkan dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. tiba di
Baitul Maqdis, maka yang menyambut kedatangan istri-istri Rasulullah Saw.
adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Riwayat ini jika sahih, maka
ditakwilkan karena keadaan darurat, atau dianggap sebagai suatu pekerjaan,
kemudian dalam peristiwa tersebut tidak ada aurat yang terbuka, dan hal itu
merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dielakkan. Hanya Allah Yang Maha
Mengetahui.
Firman
Allah Swt.: {أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ} “atau budak-budak yang
mereka miliki.” (An-Nur: 31)
Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud adalah budak perempuan yang musyrik. Dalam
kasus ini wanita muslimat diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada
budak-budak perempuannya, sekalipun mereka musyrik, karena mereka adalah
budaknya. Demikianlah menurut pendapat yang dianut oleh Sa'id ibnul Musayyab. Tetapi
menurut kebanyakan ulama, bahkan wanita muslimat diperbolehkan memperlihatkan
perhiasannya kepada budak-budaknya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.
Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Abu Daud yang mengatakan: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو جُمَيْعٍ سَالِمُ بْنُ دِينَارٍ، عَنْ
ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى
فَاطِمَةَ بِعَبْدٍ قَدْ وَهَبَهُ لَهَا. قَالَ: وَعَلَى فَاطِمَةَ ثَوْبٌ إِذَا
قَنَّعت بِهِ رَأْسَهَا لَمْ يَبْلُغْ رِجْلَيْهَا، وَإِذَا غَطَّتْ بِهِ
رِجْلَيْهَا لَمْ يَبْلُغْ رَأْسَهَا، فَلَمَّا رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَلْقَى قَالَ: "إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكِ بَأْسٌ،
إِنَّمَا هُوَ أَبُوكِ وَغُلَامُكِ"
“Telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Abu Jami' Salim ibnu Dinar,
dari Sabit, dari Anas, bahwa Nabi Saw. datang kepada Fatimah dengan membawa
seorang budak laki-laki yang telah diberikan kepadanya. Sedangkan saat itu
Fatimah memakai pakaian yang apabila digunakan untuk menutupi kepalanya, maka
bagian kedua kakinya tidak tertutupi semua; dan apabila digunakan untuk
menutupi kedua kakinya, maka bagian kepalanya tidak tertutupi. Ketika Nabi Saw.
melihat keadaan Fatimah kebingungan, maka beliau bersabda: Sesungguhnya tidak
mengapa bagimu (berpakaian seperti itu) karena yang datang hanyalah ayahmu dan
budakmu.”
Al-Hafiz
ibnu Asakir menyebutkan di dalam kitab tarikhnya mengenai biografi Khudaij
Al-Himsi maula Mu'awiyah, bahwa Abdullah ibnu Mas'adah Al-Fazzari adalah
seorang budak yang berkulit sangat hitam; dia adalah seorang budak yang
dihadiahkan oleh Nabi Saw. kepada putrinya Siti Fatimah, lalu Siti Fatimah
memeliharanya dan memerdekakannya. Kemudian sesudah itu ia melakukan perang
tanding dengan Mu'awiyah dalam Perang Siffin; dia adalah orang yang paling
keras dalam membela Ali ibnu Abu Talib r.a. وَقَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَة، عَنِ الزُّهْرِيِّ،
عَنْ نَبْهَان، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، ذَكَرَتْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا كَانَ لِإِحْدَاكُنَّ مُكَاتَب،
وَكَانَ لَهُ مَا يُؤَدِّي، فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ".
“Imam Ahmad meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri, dari Nabhan, dari
Ummu Salamah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila
salah seorang di antara kamu (hai kaum wanita) mempunyai budak yang mukatab,
dan dia mempunyai kemampuan untuk melunasi transaksi kitabahnya, maka hendaklah
kamu berhijab darinya.” Imam Abu
Daud meriwayatkannya melalui Musaddad, dari Sufyan As-Sauri dengan sanad yang
sama.
Firman
Allah Swt.: {أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ
أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ} “atau
pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita).” (An-Nur:
31)
Yakni seperti orang-orang sewaan dan para pelayan yang tidak sepadan. Selain
dari itu akal mereka kurang dan lemah, tiada keinginan terhadap wanita pada
diri mereka dan tidak pula berselera terhadap wanita. Ibnu Abbas mengatakan,
yang dimaksud adalah lelaki dungu yang tidak mempunyai nafsu syahwat. Mujahid
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lelaki yang tolol. Sedangkan menurut
Ikrimah, yang dimaksud adalah laki-laki banci yang kemaluannya tidak dapat
berereksi. Hal yang sama dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama
Salaf.
Di
dalam kitab sahih disebutkan melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah,
bahwa dahulu ada seorang lelaki banci yang biasa masuk menemui istri Rasulullah
Saw. dan mereka menganggapnya termasuk orang lelaki yang tidak mempunyai
keinginan terhadap wanita. Pada suatu hari Nabi Saw. masuk ke dalam rumahnya,
sedangkan lelaki tersebut sedang menggambarkan perihal seorang wanita. Lelaki
itu mengatakan bahwa wanita tersebut apabila datang, maka melangkah dengan
langkah yang lemah gemulai; dan apabila pergi, ia melangkah dengan lemah
gemulai disertai dengan goyangan pantatnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda: "أَلَا
أَرَى هَذَا يَعْلَمُ مَا هَاهُنَا، لَا يدخلَنّ عليكُنَ"
“Bukankah kulihat orang ini mengetahui
apa yang ada di sini? Jangan biarkan orang ini masuk menemui kalian!” Maka
Rasulullah Saw. mengusir lelaki itu, kemudian lelaki itu tinggal di padang
sahara, ia masuk (ke dalam kota) setiap hari Jumat untuk mengemis meminta
makanan.
Imam
Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah
menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Abu
Salamah, dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. masuk ke dalam
rumahnya, sedangkan saat itu di hadapan Ummu Salamah terdapat seorang lelaki
banci, juga Abdullah ibnu Abu Umayyah (saudara laki-laki Ummu Salamah). Lelaki
banci itu berkata, "Hai Abdullah,
jika Allah memberikan kemenangan kepadamu atas negeri (kota) Taif besok, maka
boyonglah anak perempuan Gailan. Karena sesungguhnya dia bila datang menghadap
melangkah dengan langkah yang lemah gemulai, dan bila pergi, ia melangkah
dengan lemah gemulai disertai dengan goyangan pantatnya." Perkataannya
itu terdengar oleh Rasulullah Saw. maka beliau bersabda kepada Ummu Salamah: "لَا
يَدْخُلَنَّ هَذَا عَلَيْكِ". “Jangan
biarkan orang ini masuk menemuimu!”
Hadis
ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain,
melalui hadis Hisyam ibnu 'Urwah Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan
kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Az-Zuhri,
dari Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah r.a. yang telah menceritakan: Dahulu ada
seorang waria biasa menemui istri-istri Nabi Saw. dan mereka menganggapnya
termasuk orang-orang yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita. Kemudian
Nabi Saw. masuk sedang waria itu berada pada salah seorang dari istri-istrinya
sedang menceritakan perihal seorang wanita seraya mengatakan, "Bahwa
sesungguhnya dia kalau datang seakan-akan datang dengan memperlihatkan empat
anggota tubuhnya dan bila pergi seakan-akan pergi dengan memperlihatkan
kedelapan anggota tubuhnya." Maka Nabi Saw. bersabda: "أَلَا
أَرَى هَذَا يَعْلَمُ مَا هَاهُنَا؟ لَا يدخلَنَّ عَلَيْكُمْ هَذَا" “ Ingatlah,
menurutku orang ini mengetahui apa yang ada di sana, jangan biarkan orang ini
masuk menemuimu lagi!” Maka mereka menghalanginya (untuk masuk).
Imam
Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui Abdur Razzaq
dengan sanad yang sama dari Ummu Salamah. Firman Allah Swt.: {أَوِ
الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ} “ atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita.” (An-Nur: 31) Yakni anak-anak kecil
mereka yang masih belum mengerti keadaan wanita dan aurat mereka seperti
perkataannya yang lemah lembut lagi merdu, lenggak-lenggoknya dalam berjalan,
gerak-gerik, dan sikapnya. Apabila anak lelaki kecil masih belum memahami hal
tersebut, maka ia boleh masuk menemui wanita.
Adapun jika seorang anak lelaki menginjak masa pubernya atau dekat usia
pubernya yang telah mengenal hal tersebut dan ia dapat membedakan wanita yang
jelek dan wanita yang cantik, maka tidak diperkenankan lagi baginya masuk
menemui wanita (lain).
Di
dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang
telah bersabda: "إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ
عَلَى النِّسَاءِ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الحَمْو؟
قَالَ: "الحَمْو الْمَوْتُ" "Janganlah
kalian masuk menemui wanita." Dikatakan, "Wahai Rasulullah,
bagaimanakah pendapatmu tentang (masuk menemui) saudara ipar?" Rasulullah
Saw. menjawab, "(Masuk menemui) saudara ipar artinya maut." Firman Allah Swt.: {وَلا
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ} “Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya.” (An-Nur: 31), hingga akhir ayat.
Di
masa Jahiliah bila seorang wanita berjalan di jalan, sedangkan ia memakai
gelang kaki; jika tidak ada laki-laki yang melihat dirinya, ia memukul-mukulkan
kakinya ke tanah sehingga kaum lelaki mendengar suara keroncongan gelangnya
(dengan maksud menarik perhatian mereka). Maka Allah melarang kaum wanita
mukmin melakukan hal semacam itu. Demikian pula halnya bila seseorang wanita
memakai perhiasan lainnya yang tidak kelihatan, bila digerakkan akan
menimbulkan suara dan dapat menarik perhatian lawan jenisnya; hal ini pun
termasuk ke dalam apa yang dilarang oleh Allah Swt. dalam firman-Nya: “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya.”
(An-Nur: 31),
hingga akhir ayat. Termasuk ke dalam apa yang dilarang ialah memakai parfum
bila keluar rumah, sebab kaum laki-laki akan mencium baunya.
Abu Isa At-Tirmizi mengatakan: حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ القَّطَّان، عَنْ
ثَابِتِ بْنِ عُمَارة الْحَنَفِيِّ، عَنْ غُنَيْم بْنِ قَيْسٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ، وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فمرَّت بِالْمَجْلِسِ
فَهِيَ كَذَا وَكَذَا" يَعْنِي زَانِيَةً
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, dari Sabit
ibnu Imarah Al-Hanafi, dari Ganim ibnu Qais, dari Abu Musa r.a., dari Nabi Saw.
yang telah bersabda: Setiap mata ada zinanya. Seorang wanita bila memakai
wewangian, lalu melewati suatu majelis, maka dia (akan memperoleh dosa) anu dan
anu. Yakni dosa zina mata.” Dalam
bab yang sama telah diriwayatkan hadis yang sama melalui Abu Hurairah. Hadis ini
hasan sahih. Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sabit
ibnu Imarah dengan sanad yang sama.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنِ
عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ عُبَيْدٍ مَوْلَى أَبِي رُهْم، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لقيتْه امْرَأَةٌ وَجَدَ مِنْهَا رِيحَ
الطِيبِ، وَلِذَيْلِهَا إِعْصَارٌ فَقَالَ: يَا أَمَةَ الْجَبَّارِ، جِئْتِ مِنَ
الْمَسْجِدِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ لَهَا: [وَلَهُ] تَطَيَّبتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ.
قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ حِبِّي أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ امْرَأَةٍ تَطَيبت لِهَذَا
الْمَسْجِدِ، حَتَّى تَرْجِعَ فَتَغْتَسِلَ غُسلها مِنَ الْجَنَابَةِ"
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Kasir, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Asim ibnu
Ubaidillah, dari Ubaid maula Abu Rahm, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan
bahwa ia bersua dengan seorang wanita yang terendus darinya bau parfum yang
wangi, sedangkan kepangan rambutnya menjulur kelihatan. Maka Abu Hurairah
berkata kepadanya, "Hai Umayyah, tersia-sialah amalmu, bukankah kamu baru
datang dari masjid?" Umayyah menjawab, "Ya." Abu Hurairah
bertanya, "Apakah engkau memakai wewangian?" Umayyah menjawab,
"Ya." Abu Hurairah berkata bahwa ia pernah mendengar kekasihnya,
yaitu Abul Qasim Saw. (nama julukan Nabi Saw.) telah bersabda: Allah tidak akan
menerima salah seorang wanita yang memakai wewangian dalam masjid ini sebelum
ia kembali, lalu mandi seperti mandi jinabahnya (untuk membersihkan wewangian
yang menempel di tubuhnya). Ibnu Majah
meriwayatkannya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah
dengan sanad yang sama. وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ
أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ مُوسَى بْنِ عُبَيدة، عَنْ أَيُّوبَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ
مَيْمُونَةَ بِنْتِ سَعْدٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم
قَالَ: "الرَّافِلَةُ فِي الزِّينَةِ فِي غَيْرِ أَهْلِهَا، كَمَثَلِ
ظُلْمَةِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا نُورَ لَهَا"
Imam
Turmuzi meriwayatkannya pula melalui hadis Musa ibnu Ubaidah, dari Ayyub ibnu
Khalid, dari Maimunah binti Sa'd, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Wanita
yang berdandan secara mencolok bukan untuk suaminya, perihalnya sama dengan
kegelapan di hari kiamat, tiada nur (cahaya) baginya. Termasuk ke dalam bab ini
disebutkan bahwa mereka (kaum wanita) dilarang berjalan di tengah jalan, karena
hal seperti ini mengandung pengertian tabarruj (memamerkan diri atau mengundang
perhatian lawan jenis).
.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا القَعْنَبِيّ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ -يَعْنِي: ابْنَ مُحَمَّدٍ -عَنْ أَبِي الْيَمَانِ،
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ
أَبِي أُسَيْدٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ
-وَقَدِ اخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِي الطَّرِيقِ -فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ: "اسْتَأْخِرْنَ،
فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْققْن الطَّرِيقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ
الطَّرِيقِ"، فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تُلْصَقُ بِالْجِدَارِ، حَتَّى إِنَّ
ثَوْبَهَا لِيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ، مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ
Abu
Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami At-Taglabi. telah menceritakan
kepada kami Abdul Aziz (yakni Ibnu Muhammad), dari Ibnu Abul Yaman,dari Syaddad
ibnu Abu Amr ibnu Hammas, dari ayahnya, dari Hamzah ibnu Abu Usaid Al-Ansari,
dari ayahnya, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. saat beliau berada di luar
masjid, sedangkan kaum lelaki dan kaum wanita bercampur di jalanan. Maka
Rasulullah Saw. bersabda kepada kaum wanita: Minggirlah kalian (hai kaum
wanita), karena sesungguhnya tidak diperkenankan bagi kalian menutupi tengah
jalan; kalian harus mengambil sisi jalan (trotoar). Setelah itu pinggiran jalan
dipakai untuk jalan wanita, sehingga kain mereka menyentuh tembok karena
dekatnya mereka dengan tembok yang ada di sisi jalan.
Firman
Allah Swt.: {وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ
جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} “Dan bertobatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian
beruntung.” (An-Nur: 31) Artinya, kerjakanlah
segala sesuatu yang telah Aku perintahkan kepada kalian, yaitu dengan menghiasi
diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan akhlak-akhlak yang mulia ini.
Tinggalkanlah tradisi masa lalu di zaman Jahiliyah, yaitu dengan meninggalkan
sifat dan akhlaknya yang rendah, karena sesungguhnya keberuntungan yang paling
prima berada dalam jalan mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah dan Rasul-Nya,dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh
keduanya. Hanya kepada Allah sajalah kita memohon pertolongan.[2]
Dalam
tafsir Jalalain dikemukakan bahwa
َوَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ
مِنْ أَبْصَارِهِنَّ” dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang
beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka” dari hal-hal yang tidak
halal dipandang oleh mereka, وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ “dan memelihara kemaluan mereka” dari
hal-hal yang tidak halal mereka lakukan dengan kemaluan itu. وَلا
يُبْدِينَ “ dan
janganlah mereka menampakkan” yakni memperlihatkan زِينَتَهُنَّ
إِلا مَا
ظَهَرَ مِنْهَا “ perhiasan mereka, kecuali
yang (biasa) nampak darinya” yaitu
wajah dan telapak tangan. Bagian itu boleh dilihat oleh laki-laki lain dan jika
tidak ada kekhawatiran akan timbulnya fitnah menurut salah satu pendapat.
Namun, pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu hukumnya haram karena wajah
adalah objek yang rawan terhadap fitnah. Dan pendapat (yang kedua) ini dinilai
unggul dalam rangka menutup pintu fitnah.
وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ “ dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka”, maksudnya mereka harus
menutup kepala, leher, dan dada dengan
cadar. وَلا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ” dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka” yang tersembunyi yaitu wajah dan telapak tangan, إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ”kecuali
kepada suami mereka” أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ ِ ”atau
ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, putera-putera saudara
laki-laki mereka, atau putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita (yang
seiman) dengan mereka atau budak-budak yang mererka miliki” maka mereka
boleh melihatnya kecuali bagian yang ada di antara pusar dan lutut, maka haram
dilihat oleh selain suami dan kata-kata “wanita-wanita (yang seiman) dengan
mereka “ mengecualikan wanita-wanita yang kafir, sehingga wanita-wanita mulimah
tidak boleh membuka bagian tersebut untuk dilihat oleh wanita-wanita yang
kafir, dan kata-kata “budak-budak yang mereka miliki meliputi budak laki-laki, و التَّابِعِينَ ِ
“atau pelayan
pelayan” yang mengambil sisa-sisa makanan غَيْرِ
dalam kedudukan sebagai istitsna
(pengecualian) أُولِي الإرْبَةِ “mempunyai hasrat” yakni memiliki kebutuhan kepada wanita مِنَ الرِّجَالِ”dari kalangan laki-laki” yang mana kemaluan mereka tidak
normal (mengalami disfungsi ereksi), الطِّفْلِ “atau anak-anak” yakni bocah-bocah يَظْهَرُوا الَّذِينَ لَمْ”yang
(belum berhasrat untuk) melihat” mengintip عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ” aurat wanita” untuk berhubungan badan,
maka wanita-wanita itu boleh memperlihatkan auratnya kepada mereka, kecuali
bagian yang diantara pusar dan lutut. وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا”dan
janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan”, yakni gelang kaki yang mengelurkan suara gemerincing. وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ “dan bertaubatlah kamu
kepada Allah wahai orang-orang yang beriman” dari dosa yang kamu lakukan ,
seperti melihat hal-hal yang tidak boleh dilihat dan lain-lain. لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)”agar kamu
beruntung” yakni selamat dari dosa
itu karena diterimanya taubat darinya.[3]
Dalam tafsir Muyassar dijelaskan
Dan katakanlah kepada wanita-wanita
mukminah, agar mereka menundukkan pandangan mereka terhadap aurat-aurat yang
tidak boleh mereka lihat, dan agar memelihara kemaluan mereka dari perkara yang
Allah haramkan. Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan mereka di hadapan
kaum lelaki. Akan tetapi, sebaiknya hendaknya mereka berusaha keras untuk
menyembunyikannya kecuali pakaian luar yang biasa mereka kenakan, bila dalam
pakaian itu tidak ada unsur yang membangkitkan fitnah, dan hendaknya mereka
menurunkan tutup-tutup kepala mereka pada celah-celah terbuka di bagian atas
baju mereka yang ada di bagian dada dan menutup wajah-wajah mereka, sehingga
akan tertutup lebih sempurna.
Dan janganlah mereka mempertontonkan
perhiasan mereka yang tersembunyi, kecuali pada suami-suami mereka, sebab
suami-suami boleh melihat dari tubuh mereka hal-hal yang tidak boleh dilihat
orang lain. Sementara sebagian bagian tubuh, seperti wajah,leher, dua tangan
dan lengan, noleh dilihat oleh ayah-ayah mereka, ayah-ayah suami suami mereka,
saudara-saudara lelaki mereka, anak-anak saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan
yang beragam Islam, bukan yang kafir, atau hamba-hamba sahaya yang mereka
miliki, atau para pelayan laki-laki yang sudah tidak memiliki hasrat dan
kebutuhan terhadap wanita, seperti orang-orang dungu yang sekedar mengikuti
orang lain untuk makan dan minum semata atau anak laki-laki yang masih kecil
yang belum mengerti tentang aurat-aurat wanita dan belum ada pada mereka nafsu
syahwat
Dan janganlah mereka menghentak-hentakkan
kaki mereka saat berjalan, supaya memperdengarkan suara perhiasan yang
tersembunyi seperti gelang kaki dan yang lainnya. Dan kembalilah kalian wahai
kaum mukminin, kepada ketaatan kepada Allah dalam perkara yang Dia
memerintahkan kepada kalian untuk itu, berupa sifat-sifat indah dan
akhlak-akhlak terpuji ini, dan tinggalkan segala yang menjadi kebiasaan kaum
jahiliyah, berupa perilaku-perilaku dan sifat-sifat rendah, dengan harapan
kalian dapat beruntung memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. [4]
2.
QS
Al Ahzab : 59
{يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا
يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu,
dan istri-istri orang-orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. “
Allah
Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memerintahkan kepada kaum wanita yang
beriman, khususnya istri-istri beliau dan anak-anak perempuannya -mengingat
kemuliaan yang mereka miliki sebagai ahli bait Rasulullah Saw.- hendaknyalah
mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka agar mereka berbeda dengan
kaum wanita Jahiliah dan budak-budak wanita. Jilbab artinya kain yang dipakai
di atas kerudung, menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud, Ubaidah,
Qatadah, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ata Al-Khurrasani serta
lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Dan kalau sekarang sama kedudukannya
dengan kain sarung. Al-Jauhari mengatakan bahwa jilbab adalah kain penutup.
Seorang wanita Huzail mengatakan dalam bait syairnya ketika menangisi seseorang
yang terbunuh:
تَمْشي النُّسور إِلَيْهِ
وَهْيَ لاهيةٌ ... مَشْيَ العَذَارى عَلَيْهِنَّ الجَلابيبُ “Burung-burung
elang berjalan menuju ke arahnya dengan langkah-langkah yang acuh, sebagaimana
jalannya para perawan yang memakai kain jilbab.”
Ali
ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan
kepada kaum wanita yang beriman apabila mereka keluar rumah untuk suatu
keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dimulai dari kepala mereka
dengan kain jilbab dan hanya diperbolehkan menampakkan sebelah matanya saja. Muhammad
ibnu Sirin mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubaidah As-Salmani
tentang makna firman Allah Swt.: Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (Al-Ahzab: 59) Maka Ubaidah As-Salmani menutupi wajah
dan mukanya, serta menampakkan mata kirinya (yakni memperagakannya). Ikrimah
mengatakan, hendaknya seorang wanita menutupi bagian lehernya yang kelihatan
dengan menurunkan jilbabnya untuk menutupinya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Abdullah Az-Zahrani tentang catatan yang dikirim
oleh Abdur Razzaq kepadanya, bahwa telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari
Ibnu Khaisam, dari Safiyyah binti Syaibah, dari Ummu Salamah yang menceritakan
bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
(Al-Ahzab: 59)
Maka kaum wanita Ansar keluar seakan-akan di atas kepala masing-masing dari
mereka ada burung gagaknya karena sikap mereka yang tenang, sedangkan mereka
memakai pakaian yang berwarna hitam.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Yazid yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada
Az-Zuhri, "Apakah budak perempuan diharuskan memakai kerudung, baik dia
telah bersuami atau pun belum?" Az-Zuhri menjawab, "Jika ia telah
kawin diharuskan memakai kerudung, dan dilarang baginya memakai jilbab, karena
makruh baginya menyerupakan diri dengan wanita-wanita merdeka yang memelihara
kehormatannya."
Allah
Swt. telah berfirman {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلابِيبِهِنَّ} “ Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.”
(Al-Ahzab: 59) Telah diriwayatkan dari Sufyan As-Sauri. Ia pernah mengatakan
bahwa tidak mengapa melihat perhiasan kaum wanita kafir zimmi. Dan sesungguhnya
hal tersebut dilarang hanyalah karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah, bukan
karena mereka wanita yang terhormat. Sufyan mengatakan demikian dengan
berdalilkan firman Allah Swt.: {وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ} “dan
istri-istri orang mukmin. (Al-Ahzab: 59)
Firman
Allah Swt.: {ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ} “Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu.” (Al-Ahzab: 59) Yakni apabila mereka melakukan hal tersebut,
maka mereka dapat dikenal sebagai wanita-wanita yang merdeka, bukan budak,
bukan pula wanita tuna susila. As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: “Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”
(Al-Ahzab: 59)
Bahwa dahulu kaum lelaki yang fasik dari kalangan penduduk Madinah gemar keluar
di malam hari bilamana hari telah gelap. Mereka gentayangan di jalan-jalan
Madinah dan suka mengganggu wanita yang keluar malam. Saat itu rumah penduduk
Madinah kecil-kecil. Bila hari telah malam, kaum wanita yang hendak menunaikan
hajatnya keluar, dan hal ini dijadikan kesempatan oleh orang-orang fasik untuk
mengganggunya. Tetapi apabila mereka melihat wanita yang keluar itu memakai
jilbab, maka mereka berkata kepada teman-temannya, "Ini adalah wanita
merdeka, jangan kalian ganggu." Dan apabila mereka melihat wanita yang
tidak memakai jilbab, maka mereka berkata, "Ini adalah budak," lalu
mereka mengganggunya. Mujahid mengatakan bahwa makna ayat ialah hendaklah
mereka memakai jilbab agar dikenal bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka,
sehingga tidak ada seorang fasik pun yang mengganggunya atau melakukan
perbuatan yang tidak senonoh terhadapnya.
Firman
Allah Swt.: {وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا} “Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ (Al-Ahzab: 59) Yakni terhadap dosa-dosa yang telah lalu
di masa Jahiliah, mengingat mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang etika
ini. Kemudian Allah Swt. berfirman, mengancam orang-orang munafik, yaitu mereka
yang menampakkan keimanannya, sedangkan di dalam batin mereka menyimpan
kekufuran:[5]
Kitab tafsir Jalalain
menyebutkan bahwa
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلابِيبِهِنَّ ْ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka” maksudnya berarti pakaian yang menutupi seluruh
bagian tubuh wanita, maksudnya hendaklah mereka menjulurkan sebagian darinya ke
wajah – apabila ke luar rumah untuk keperluan mereka-kecuali satu mata
ذَلِكَ أَدْنَى “hal itu lebih rendah”
maksudnya lebih dekat (bagi mereka) أَنْ
يُعْرَفْنَ “untuk dikenali” bahwa mereka adalah
wanita-wanita yang merdeka (bukan budak),
فَلا يُؤْذَيْنَ”sehingga mereka tidak diganggu” dengan
godaan yang ditujukan kepada mereka. Berbeda dengan wanita-wanita budak yang
tidak menutupi wajah mereka, lalu digoda oleh orang-orang munafik. وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا”
Dia adalah Allah Maha Pengampun” atas kesalahan mereka yang telah lalu yaitu
tidak menutup wajah mereka, رَحِيمًا”lagi
Maha Penyayang” kepada mereka tatkala Dia menutupi mereka.[6]
Dalam kitab tafsir Muyassar
disebutkan
Wahai nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita kaum mukminin agar
mereka menjulurkan kain-kain mereka dari kepala ke wajah mereka untuk menutupi
wajah mereka, kepala dan dada mereka. Hal itu lebih dekat kepada keterjagaan
dan perlindungan sehingga mereka tidak beresiko diganggu atau dijahili. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, di mana dia mengampuni apa saja yang telah
berlalu dari kalian, Dia menyayangi kalian dengan apa yang Dia jelaskan, mana
yang halal dan mana yag haram[7]
Berdasarkan kedua ayat Al Qur’an tersebut tampak
sekali bahwa Allah mengajarkan kepada manusia dalam hal ini wanita yang sudah
baligh untuk menjaga dirinya dengan hijab. Kewajiban berhijab ini berlaku bagi
anak yang sudah baligh (pubertas). Pada kedua ayat tersebut tampak jelas bahwa
Allah menjaga perempuan dimulai dari cara berpakaiannya yang harus menutup
auratnya, tidak menampakkan perhiasannya hingga diajarkan pula kepada siapa
saja aurat boleh ditampakkan dan manfaat menutup aurat bagi anak perempuan itu
sendiri. Dari sini dapat diambil pengajaran bahwa terdapat aturan yang ketat
dalam berpakaian dan bergaul. Namun ketatnya aturan tersebut semata-mata untuk
melindungi perempuan dari segala jenis kemaksiatan.
Cara
Pendidikan Anak yang Diajarkan Al Qur’an Untuk Membentuk Generasi yang Berkarakter
Islami dalam QS Luqman : 13-19 menurut Beberapa Tafsir Al Qur’an
{وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13) وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ
لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ
تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي
الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ
مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
(15) } {يَا
بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي
صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ أَوْ فِي الأرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ
اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16) يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ
بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ
ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ (17) وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ
فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18)
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الأصْوَاتِ
لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19) }
“ Dan (ingatlah) ketika
Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya,
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(Luqman berkata), "Hai Anakku,
sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam
batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui. Hai Anakku,
dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah). Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu
dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
suara keledai.”
Dalam kitab Ibnu Katsir
dijelaskan bahwa
Allah
Swt. menceritakan tentang nasihat Luqman kepada anaknya. Luqman adalah anak
Anqa ibnu Sadun, dan nama anaknya ialah Saran, menurut suatu pendapat yang diriwayatkan
oleh Imam Baihaqi. Allah Swt. menyebutkan kisah Luqman dengan sebutan yang
baik, bahwa Dia telah menganugerahinya hikmah; dan Luqman menasihati anaknya
yang merupakan buah hatinya, maka wajarlah bila ia memberikan kepada orang yang
paling dikasihinya sesuatu yang paling utama dari pengetahuannya. Karena itulah
hal pertama yang dia pesankan kepada anaknya ialah hendaknya ia menyembah Allah
semata, jangan mempersekutukannya dengan sesuatu pun. Kemudian Luqman
memperingatkan anaknya, bahwa: {إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ} “sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar. (Luqman: 13) Yakni perbuatan
mempersekutukan Allah adalah perbuatan aniaya yang paling besar.
قَالَ
الْبُخَارِيُّ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ
إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ ،عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ
بِظُلْمٍ} [الْأَنْعَامِ: 82] ، شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم، وَقَالُوا: أَيُّنَا لَمْ يَلْبس إِيمَانَهُ بِظُلْمٍ؟
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أنه لَيْسَ
بِذَاكَ، أَلَا تَسْمَعَ إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ: {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ
بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
Imam
Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan
kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah
yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik). (Al-An'am: 82) Hal itu terasa berat bagi para sahabat
Nabi Saw. Karenanya mereka berkata, "Siapakah di antara kita yang tidak
mencampuri imannya dengan perbuatan zalim (dosa)." Maka Rasulullah Saw.
bersabda, "Bukan demikian yang dimaksud dengan zalim. Tidakkah kamu mendengar ucapan Luqman: 'Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.' (Luqman: 13)
Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis
Al-A'masy dengan sanad yang sama. Kemudian sesudah menasihati anaknya agar
menyembah Allah semata. Luqman enasihati
pula anaknya agar berbakti kepada dua orang ibu dan bapak. Perihalnya sama
dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: {وَقَضَى
رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا} “Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23) Di dalam
Al-Qur'an sering sekali disebutkan secara bergandengan antara perintah
menyembah Allah semata dan berbakti kepada kedua orang tua. Dan dalam surat ini
disebutkan oleh firman-Nya: {وَوَصَّيْنَا
الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ}
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah. (Luqman: 14)
Mujahid
mengatakan, yang dimaksud dengan al-wahn
ialah penderitaan mengandung anak. Menurut Qatadah, maksudnya ialah kepayahan
yang berlebih-lebihan. Sedangkan menurut Ata Al-Khurrasani ialah lemah yang
bertambah-tambah. Firman Allah Swt.:
{وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ} “dan menyapihnya
dalam dua tahun.” (Luqman: 14) Yakni mengasuh dan menyusuinya setelah
melahirkan selama dua tahun, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui
firman-Nya: {وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ} “Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan.” (Al-Baqarah: 233), hingga akhir ayat.
Berangkat
dari pengertian ayat ini Ibnu Abbas dan para imam lainnya menyimpulkan bahwa
masa penyusuan yang paling minim ialah enam bulan, karena dalam ayat lain Allah
Swt. berfirman: {وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا} “
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (Al-Ahqaf: 15) Dan sesungguhnya Allah Swt. menyebutkan jerih
payah ibu dan penderitaannya dalam mendidik dan mengasuh anaknya, yang
karenanya ia selalu berjaga sepanjang siang dan malamnya. Hal itu tiada lain
untuk mengingatkan anak akan kebaikan ibunya terhadap dia, sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: {وَقُلْ
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا}
“ Dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil.” (Al-Isra: 24) Karena itulah
dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: {أَنِ
اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ}
“Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.
(Luqman: 14) Yakni sesungguhnya Aku
akan membalasmu bila kamu bersyukur dengan pahala yang berlimpah.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Syaibah dan Mahmud ibnu Gailan.
Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah
menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Wahb yang
menceritakan bahwa Mu'az ibnu Jabal datang kepada kami sebagai utusan Nabi Saw.
Lalu ia berdiri dan memuji kepada Allah, selanjutnya ia mengatakan:
Sesungguhnya aku adalah utusan Rasulullah Saw. kepada kalian (untuk
menyampaikan), "Hendaklah kalian menyembah Allah dan janganlah
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Hendaklah kalian taat kepadaku, aku
tidak akan henti-hentinya menganjurkan kalian berbuat kebaikan. Dan
sesungguhnya kembali (kita) hanya kepada Allah, lalu adakalanya ke surga atau
ke neraka sebagai tempat tinggal yang tidak akan beranjak lagi darinya, lagi
kekal tiada kematian lagi.
Firman Allah Swt.: {وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا} “ Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. (Luqman: 15) Jika keduanya menginginkan dirimu dengan
sangat agar kamu mengikuti agama keduanya (selain Islam), janganlah kamu mau
menerima ajakannya, tetapi janganlah sikapmu yang menentang dalam hal tersebut
menghambatmu untuk berbuat baik kepada kedua orang tuamu selama di dunia. {وَاتَّبِعْ
سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ} “dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15) Yaitu jalannya orang-orang yang beriman. {ثُمَّ
إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}
“ kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu,
maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)
Imam
Tabrani mengatakan di dalam Kitabul 'Isyarh-nya, telah menceritakan kepada kami
Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepada
kami Ahmad ibnu Ayyub ibnu Rasyid, telah menceritakan kepada kami Maslamah ibnu
Alqamah, dari Daud ibnu Abu Hindun, bahwa Sa'd ibnu Malik pernah mengatakan
bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengannya, yaitu firman-Nya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya” (Luqman: 15), hingga akhir ayat.
Bahwa ia adalah seorang yang berbakti kepada ibunya. Ketika ia masuk Islam,
ibunya berkata kepadanya, "Hai Sa'd, mengapa engkau berubah pendirian?
Kamu harus tinggalkan agama barumu itu (Islam) atau aku tidak akan makan dan
minum hingga mati, maka kamu akan dicela karena apa yang telah kulakukan itu,
dan orang-orang akan menyerumu dengan panggilan, 'Hai pembunuh ibunya!'."
Maka aku menjawab, "Jangan engkau lakukan itu, Ibu, karena sesungguhnya
aku tidak bakal meninggalkan agamaku karena sesuatu." Maka ibuku tinggal
selama sehari semalam tanpa mau makan, dan pada pagi harinya ia kelihatan
lemas. Lalu ibuku tinggal sehari semalam lagi tanpa makan, kemudian pada pagi
harinya kelihatan bertambah lemas lagi. Dan ibuku tinggal sehari semalam lagi
tanpa makan, lalu pada pagi harinya ia kelihatan sangat lemah. Setelah kulihat
keadaan demikian, maka aku berkata, "Hai ibu, perlu engkau ketahui, demi
Allah, seandainya engkau mempunyai seratus jiwa, lalu satu persatu keluar dari
tubuhmu, niscaya aku tidak akan meninggalkan agamaku karena sesuatu. Dan jika
engkau tidak ingin makan, silakan tidak usah makan; dan jika engkau ingin makan
silakan makan saja," Akhirnya ibuku mau makan.
Allah
Swt. menyitir perkataan Luqman: {يَا
بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ}
“ Hai Anakku, sesungguhnya jika ada
(sesuatu perbuatan) seberat biji sawi” (Luqman: 16) Yakni sesungguhnya perbuatan aniaya atau dosa
sekecil apa pun, misalnya sebesar biji sawi. Menurut sebagian ulama, damir yang terdapat di
dalam firman-Nya, "Innaha," adalah damir sya'n dan kisah (alkisah);
berdasarkan pengertian ini diperbolehkan membaca rafa' lafaz misqal, tetapi
qiraat yang pertama membacanya nasab adalah lebih utama.
Firman
Allah Swt.: {يَأْتِ
بِهَا اللَّهُ} “niscaya
Allah akan mendatangkannya membalasinya).
(Luqman: 16) ' Artinya, Allah pasti
menghadirkannya pada hari kiamat di saat neraca amal perbuatan telah dipasang
dan pembalasan amal perbuatan ditunaikan. Jika amal perbuatan seseorang baik,
maka balasannya baik; dan jika amal perbuatan seseorang buruk, maka balasannya
buruk pula, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya: {وَنَضَعُ
الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا
وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا
حَاسِبِينَ} “Kami
akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikit pun” (Al-Anbiya: 47), hingga akhir ayat.
Dan
firman Allah Swt.: {فَمَنْ
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
شَرًّا يَرَهُ} “Barang
siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan
kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
(Az-Zalzalah: 7-8) Seandainya zarrah itu berada di dalam tempat yang
terlindungi dan tertutup rapat—yaitu berada di dalam sebuah batu besar, atau
terbang melayang di angkasa, atau terpendam di dalam bumi— sesungguhnya Allah
pasti akan mendatangkannya dan membalasinya. Karena sesungguhnya bagi Allah
tiada sesuatu pun yang tersembunyi barang sebesar zarrah pun, baik yang ada di
langit maupun yang ada di bumi. Karena itulah disebutkan oleh firman berikutnya:
{إِنَّ
اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ} “ Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (Luqman: 16) Yakni Mahahalus pengetahuannya. Maka tiada
segala sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya, sekalipun sangat kecil dan sangat
lembut. {خَبِيرٌ}
“ lagi Maha Mengetahui.” (Luqman: 16)
Allah Maha Mengetahui langkah-langkah
semut di malam yang gelap gulita.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa makna yang dimaksud dari firman-Nya:
{فَتَكُنْ
فِي صَخْرَةٍ} “dan
berada dalam batu.” (Luqman: 16) Yakni batu yang ada di bumi lapis ke
tujuh. Pendapat ini disebutkan oleh As-Saddi berikut
sanadnya yang diduga bersumber dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan sejumlah
sahabat, jika memang sanadnya berpredikat sahih. Hal yang sama telah
diriwayatkan melalui Atiyyah Al-Aufi, Abu Malik, As-Sauri, Al-Minhal ibnu Amr,
dan lain-lainnya, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Yang jelas seakan-akan
riwayat ini dinukil dari kisah Israiliyat yang tidak dapat dibenarkan dan tidak
pula didustakan. Menurut makna lahiriah
ayat —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— biji zarrah yang sangat kecil ini
seandainya berada di dalam sebuah batu besar, maka sesungguhnya Allah akan
memperlihatkan dan menampakkannya berkat pengetahuan-Nya Yang Mahahalus.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang
menyebutkan:
حَدَّثَنَا
حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا دَراج، عَنْ أَبِي
الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ يَعْمَلُ فِي صَخْرَةٍ صَمَّاء، لَيْسَ لَهَا بَابٌ وَلَا كوَّة،
لَخَرَجَ عَمَلُهُ لِلنَّاسِ كَائِنًا مَا كَانَ"
“Telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu
Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada
kami Daraj, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw.
yang telah bersabda: Seandainya seseorang di antara kalian melakukan amal
perbuatan di dalam sebuah batu besar yang tidak ada pintu dan lubangnya,
niscaya amal perbuatannya itu akan ditampakkan kepada manusia seperti apa
adanya”.
Kemudian Luqman mengatakan lagi dalam nasihat
berikutnya: {يَا
بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ}
Hai
Anakku, dirikanlah salat. (Luqman: 17)
sesuai dengan batasan-batasannya, fardu-fardunya, dan waktu-waktunya. {وَأْمُرْ
بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ} dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik
dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar. (Luqman: 17)
sesuai dengan kemampuanmu dan menurut
kesanggupan kekuatanmu. {وَاصْبِرْ
عَلَى مَا أَصَابَكَ} “ dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.”(Luqman: 17) Perlu kamu ketahui bahwa dalam mengerjakan
amar ma'ruf dan nahi munkar terhadap manusia, pasti kamu akan beroleh gangguan
dan perlakuan yang menyakitkan dari mereka. Karena itulah kamu harus bersabar
terhadap gangguan mereka. Luqman menasihati anaknya untuk bersabar dalam
menjalankan perintah amar ma'ruf dan nahi munkar itu.
Firman
Allah Swt.: {إِنَّ
ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ} “Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).” (Luqman: 17) Sesungguhnya
bersikap sabar dalam menghadapi gangguan manusia benar-benar termasuk hal yang
diwajibkan oleh Allah. Firman Allah
Swt.: {وَلا
تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ} “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia.” (Luqman: 18) Janganlah kamu memalingkan mukamu saat berbicara
dengan orang lain, atau saat mereka berbicara kepadamu, kamu lakukan itu dengan
maksud menganggap mereka remeh dan bersikap sombong kepada mereka. Akan tetapi,
bersikap lemah lembutlah kamu dan cerahkanlah wajahmu dalam menghadapi mereka.
Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:
"وَلَوْ
أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ وَوَجْهُكَ إِلَيْهِ مُنْبَسِط، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ
الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ المِخيلَة، وَالْمَخِيلَةُ لَا يُحِبُّهَا اللَّهَ"
“sekalipun berupa sikap yang ramah dan wajah
yang cerah saat kamu menjumpai saudaramu. Dan janganlah kamu memanjangkan
kainmu, karena sesungguhnya cara berpakaian seperti itu termasuk sikap sombong
yang tidak disukai oleh Allah.”
Ali
ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia. (Luqman: 18)
Yakni janganlah kamu bersikap sombong, menganggap remeh hamba-hamba Allah, dan
kamu palingkan mukamu saat mereka berbicara denganmu. Hal yang sama telah
diriwayatkan dari Al-Aufi dan Ikrimah bersumber dari Ibnu Abbas. Malik Ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia. (Luqman: 18) Maksudnya, janganlah kamu berbicara dengan memalingkan
mukamu. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Yazid ibnul
Asam, Abul Jauza, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya.
Ibrahim
An-Nakha'i mengatakan, makna yang dimaksud ialah membual. Akan tetapi, yang
benar adalah pendapat yang pertama.Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal kata as-sa'r ialah suatu penyakit yang
bersarang di leher dan bagian kepala unta, dan lama kelamaan dapat memisahkan
leher dari kepalanya. Lalu kata ini dijadikan perumpamaan bagi orang yang
bersikap takabur, sebagaimana yang disebutkan oleh seorang penyair bernama Amr
ibnut Taglabi dalam salah satu bait syairnya:
وَكُنَّا
إذَا الجَبَّارُ صَعّر خَدّه ... أقَمْنَا لَه مِنْ مَيْلِه فَتَقَوّمَا "
“Dan adalah kami bila menghadapi orang
sombong yang memalingkan mukanya, maka kami luruskan dia dari kesombongannya
hingga ia kembali ke jalan yang lurus.”
Abu Talib telah mengatakan pula dalam salah
satu bait syairnya:
وَكُنَّا
قَديمًا لَا نقرُّ ظُلامَة ... إِذَا مَا ثَنوا صُعْر الرُّؤُوسِ نُقِيمها
“Dan dahulu kami tidak pernah membiarkan
suatu perbuatan aniaya pun. Bila mereka mendapat pujian, lalu bersikap sombong,
maka kami meluruskannya.”[8]
Beberapa poin penting yang dijabarkan dalam surat tersebut
diantaranya angkuh, bersyukur, mempersekutukan Allah, berbakti kepada orang
tua, sabar, sombong
a Angkuh
عَنْ أَبِي لَيْلَى، عَنِ
ابْنِ بُرَيْدة، عَنْ أَبِيهِ مَرْفُوعًا: "مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ"
Diriwayatkan dari Ibnu Abu Laila,
dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya secara marfu': Barang siapa yang menyeret
kainnya dengan sikap sombong, maka Allah tidak mau melihatnya (kelak di hari
kiamat).
Ibnu Abu Laila telah meriwayatkan yang
semisal melalui Ishaq ibnu Ismail, dari Sufyan, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu
Umar secara marfu'.
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ بَكَّار، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: "لَا يَنْظُرُ
اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ". وَ"بَيْنَمَا
رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي بُرْدَيْهِ، أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ، خَسَفَ اللَّهُ بِهِ
الْأَرْضَ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
Telah
menceritakan pula kepada kami Muhammad ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya, dari Al-A'raj, dari Abu
Hurairah secara marfu': Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya
kelak di hari kiamat. Dan ketika seorang lelaki sedang melangkah dengan
angkuhnya memakai baju burdah dua lapis seraya merasa besar diri, (tiba-tiba)
Allah membenamkannya ke dalam tanah, dan dia terus terbenam ke dalam bumi
sampai hari kiamat nanti. Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya,
bahwa ketika seorang lelaki, hingga akhir hadis.
Bersyukur
Firman
Allah Swt.: {وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ
الْحِكْمَةَ} “Dan
sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman”. (Luqman: 12) Yakni pemahaman, ilmu, dan ungkapan. {أَنِ
اشْكُرْ لِلَّهِ} yaitu,
"Bersyukurlah kepada Allah.”
(Luqman: 12) Kami perintahkan kepadanya untuk bersyukur kepada Allah atas
apa yang telah Dia anugerahkan kepadanya berupa keutamaan yang secara khusus
hanya diberikan kepadanya, bukan kepada orang lain yang sezaman dengannya. {وَمَنْ
يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ}
Dan barang siapa yang bersyukur (kepada
Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri. “ (Luqman: 12) Artinya, sesungguhnya manfaat dan pahala
dari bersyukur itu kembali kepada para pelakunya, karena ada firman Allah Swt.
yang menyebutkan: {وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا
فَلأنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ} “dan
barang siapa yang beramal saleh, maka untuk diri mereka sendirilah mereka
menyiapkan (tempat yang menyenangkan). (Ar-Rum: 44)
Adapun
firman Allah Swt.: {وَمَنْ
كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ}
“dan barang siapa yang tidak bersyukur,
maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Luqman: 12) Yaitu Mahakaya, tidak memerlukan
hamba-hamba-Nya. Dia tidak kekurangan, walaupun mereka tidak mensyukuri
nikmat-nikmat-Nya. Seandainya semua penduduk bumi ingkar kepada nikmat-Nya,
maka sesungguhnya Dia Mahakaya dari selain-Nya, tidak ada Tuhan selain Dia, dan
kami tidak menyembah selain hanya kepada-Nya.
Mempersekutukan
Allah dalam QS Luqman : 13-15
Allah
Swt. menceritakan tentang nasihat Luqman kepada anaknya. Luqman adalah anak Anqa
ibnu Sadun, dan nama anaknya ialah Saran, menurut suatu pendapat yang
diriwayatkan oleh Imam Baihaqi. Allah Swt. menyebutkan kisah Luqman dengan
sebutan yang baik, bahwa Dia telah menganugerahinya hikmah; dan Luqman
menasihati anaknya yang merupakan buah hatinya, maka wajarlah bila ia
memberikan kepada orang yang paling dikasihinya sesuatu yang paling utama dari
pengetahuannya. Karena itulah hal pertama yang dia pesankan kepada anaknya
ialah hendaknya ia menyembah Allah semata, jangan mempersekutukannya dengan
sesuatu pun. Kemudian Luqman memperingatkan anaknya, bahwa: {إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ} sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman: 13) Yakni perbuatan mempersekutukan Allah
adalah perbuatan aniaya yang paling besar.
قَالَ الْبُخَارِيُّ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ،
عَنْ عَلْقَمَةَ ،عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا
نَزَلَتْ: {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ}
[الْأَنْعَامِ: 82] ، شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عليه وسلم، وَقَالُوا: أَيُّنَا لَمْ يَلْبس إِيمَانَهُ بِظُلْمٍ؟ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أنه لَيْسَ بِذَاكَ،
أَلَا تَسْمَعَ إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ: {يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
Imam
Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan
kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah
yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Orang-orang yang beriman
dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik). (Al-An'am: 82) Hal itu terasa berat bagi para sahabat
Nabi Saw. Karenanya mereka berkata, "Siapakah di antara kita yang tidak
mencampuri imannya dengan perbuatan zalim (dosa)." Maka Rasulullah Saw.
bersabda, "Bukan demikian yang dimaksud dengan zalim. Tidakkah kamu
mendengar ucapan Luqman: 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.'
(Luqman: 13)
Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Kemudian
sesudah menasihati anaknya agar menyembah Allah semata. Luqman menasihati pula
anaknya agar berbakti kepada dua orang ibu dan bapak. Perihalnya sama dengan
apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:{وَقَضَى
رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا} "Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
(Al-Isra: 23)
Berbakti
Kepada orang tua
Di
dalam Al-Qur'an sering sekali disebutkan secara bergandengan antara perintah
menyembah Allah semata dan berbakti kepada kedua orang tua. Dan dalam surat ini
disebutkan oleh firman-Nya:
{وَوَصَّيْنَا
الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ} “Dan Kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. (Luqman: 14) Mujahid mengatakan, yang dimaksud dengan
al-wahn ialah penderitaan mengandung anak. Menurut Qatadah, maksudnya ialah
kepayahan yang berlebih-lebihan. Sedangkan menurut Ata Al-Khurrasani ialah lemah
yang bertambah-tambah.
Firman
Allah Swt.: {وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ} “dan menyapihnya dalam
dua tahun. “ (Luqman: 14)
Yakni mengasuh dan menyusuinya setelah melahirkan selama dua tahun, seperti
yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: {وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ} ” Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan.” (Al-Baqarah:
233),
hingga akhir ayat. Berangkat dari pengertian ayat ini Ibnu Abbas dan para imam
lainnya menyimpulkan bahwa masa penyusuan yang paling minim ialah enam bulan,
karena dalam ayat lain Allah Swt. berfirman: {وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا} “mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaf: 15) Dan
sesungguhnya Allah Swt. menyebutkan jerih payah ibu dan penderitaannya dalam
mendidik dan mengasuh anaknya, yang karenanya ia selalu berjaga sepanjang siang
dan malamnya.
Hal
itu tiada lain untuk mengingatkan anak akan kebaikan ibunya terhadap dia,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: {وَقُلْ
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا} “Dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil.”
(Al-Isra: 24) Karena itulah dalam
surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{أَنِ
اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ}
“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14) Yakni sesungguhnya Aku akan membalasmu
bila kamu bersyukur dengan pahala yang berlimpah.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Syaibah dan Mahmud ibnu Gailan.
Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah
menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Wahb yang
menceritakan bahwa Mu'az ibnu Jabal datang kepada kami sebagai utusan Nabi Saw.
Lalu ia berdiri dan memuji kepada Allah, selanjutnya ia mengatakan:
Sesungguhnya aku adalah utusan Rasulullah Saw. kepada kalian (untuk
menyampaikan), "Hendaklah kalian menyembah Allah dan janganlah
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Hendaklah kalian taat kepadaku, aku
tidak akan henti-hentinya menganjurkan kalian berbuat kebaikan. Dan
sesungguhnya kembali (kita) hanya kepada Allah, lalu adakalanya ke surga atau
ke neraka sebagai tempat tinggal yang tidak akan beranjak lagi darinya, lagi
kekal tiada kematian lagi.
Sabar
Kemudian
Luqman mengatakan lagi dalam nasihat berikutnya: {يَا
بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ} “Hai
Anakku, dirikanlah salat”. (Luqman: 17) sesuai dengan batasan-batasannya, fardu-fardunya, dan
waktu-waktunya. {وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ
وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ} “dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar. (Luqman: 17)
sesuai dengan kemampuanmu dan menurut kesanggupan kekuatanmu. {وَاصْبِرْ
عَلَى مَا أَصَابَكَ} “dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. (Luqman: 17) Perlu kamu ketahui
bahwa dalam mengerjakan amar ma'ruf dan nahi munkar terhadap manusia, pasti
kamu akan beroleh gangguan dan perlakuan yang menyakitkan dari mereka. Karena
itulah kamu harus bersabar terhadap gangguan mereka. Luqman menasihati anaknya
untuk bersabar dalam menjalankan perintah amar ma'ruf dan nahi munkar itu.
Firman
Allah Swt.: {إِنَّ
ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ} “Sesungguhnya
yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Luqman: 17) Sesungguhnya
bersikap sabar dalam menghadapi gangguan manusia benar-benar termasuk hal yang
diwajibkan oleh Allah.
f.
Memalingkan
Muka / Sombong
Firman
Allah Swt.: {وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ
لِلنَّاسِ} “Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia.” (Luqman: 18) Janganlah kamu memalingkan mukamu saat
berbicara dengan orang lain, atau saat mereka berbicara kepadamu, kamu lakukan
itu dengan maksud menganggap mereka remeh dan bersikap sombong kepada mereka.
Akan tetapi, bersikap lemah lembutlah kamu dan cerahkanlah wajahmu dalam
menghadapi mereka. Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut: "وَلَوْ
أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ وَوَجْهُكَ إِلَيْهِ مُنْبَسِط، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ
الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ المِخيلَة، وَالْمَخِيلَةُ لَا يُحِبُّهَا اللَّهَ" “sekalipun berupa
sikap yang ramah dan wajah yang cerah saat kamu menjumpai saudaramu. Dan
janganlah kamu memanjangkan kainmu, karena sesungguhnya cara berpakaian seperti
itu termasuk sikap sombong yang tidak disukai oleh Allah.”
Ali
ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia. (Luqman: 18) Yakni janganlah kamu bersikap sombong, menganggap remeh
hamba-hamba Allah, dan kamu palingkan mukamu saat mereka berbicara denganmu.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Al-Aufi dan Ikrimah bersumber dari Ibnu
Abbas. Malik Ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia. (Luqman: 18) Maksudnya, janganlah kamu berbicara dengan memalingkan mukamu.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Yazid ibnul Asam, Abul
Jauza, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. Ibrahim
An-Nakha'i mengatakan, makna yang dimaksud ialah membual. Akan tetapi, yang
benar adalah pendapat yang pertama.
Ibnu
Jarir mengatakan bahwa asal kata as-sa'r ialah suatu penyakit yang bersarang di
leher dan bagian kepala unta, dan lama kelamaan dapat memisahkan leher dari
kepalanya. Lalu kata ini dijadikan perumpamaan bagi orang yang bersikap
takabur, sebagaimana yang disebutkan oleh seorang penyair bernama Amr ibnut
Taglabi dalam salah satu bait syairnya: وَكُنَّا
إذَا الجَبَّارُ صَعّر خَدّه ... أقَمْنَا لَه مِنْ مَيْلِه فَتَقَوّمَا Dan adalah kami bila menghadapi
orang sombong yang memalingkan mukanya, maka kami luruskan dia dari
kesombongannya hingga ia kembali ke jalan yang lurus.
Abu
Talib telah mengatakan pula dalam salah satu bait syairnya: وَكُنَّا
قَديمًا لَا نقرُّ ظُلامَة ... إِذَا مَا ثَنوا صُعْر الرُّؤُوسِ نُقِيمها Dan
dahulu kami tidak pernah membiarkan suatu perbuatan aniaya pun. Bila mereka
mendapat pujian, lalu bersikap sombong, maka kami meluruskannya.
Angkuh
Firman
Allah Swt.: {وَلا
تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا} “dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” (Luqman: 18) Yaitu dengan langkah yang angkuh,
sombong, serta takabur. Janganlah kamu bersikap demikian, karena Allah pasti
akan membencimu. Dalam firman berikutnya disebutkan: {إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ}
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Luqman: 18) Yakni orang yang sombong dan merasa
bangga dengan dirinya terhadap orang lain. Dalam ayat yang lain disebutkan oleh
firman-Nya hal yang semakna, yaitu: {وَلا
تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ
الْجِبَالَ طُولا} “Dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung. “ (Al-Isra: 37)
Tafsir ayat ini telah dikemukakan
pada pembahasannya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو
الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِمْرَانَ بْنِ أَبِي لَيْلَى،
حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ عِيسَى، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاس قَالَ:
ذُكِرَ الْكِبْرُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَشَدَّدَ فِيهِ، فَقَالَ: "إِنِ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ
فَخُورٍ". فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي لِأَغْسِلُ ثِيَابِي فَيُعْجِبُنِي بَيَاضُهَا، وَيُعْجِبُنِي شِراك
نَعْلِي، وعِلاقة سَوْطي، فَقَالَ: "لَيْسَ ذَلِكَ الْكِبْرُ، إِنَّمَا
الْكِبْرُ أَنْ تَسْفه الْحَقَّ وتَغْمِط النَّاسَ"
Al-Hafiz
Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Abdullah Al-Hadrami, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Imran ibnu
Abu Laila, dari Isa, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Sabit ibnu Qais
Syammas yang menceritakan bahwa pada suatu hari disebutkan masalah takabur di
hadapan Rasulullah Saw. Maka beliau memperingatkannya dengan keras dan
bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang-sombong lagi
membanggakan diri.” Maka seorang
lelaki dari kaum yang hadir bertanya, "Demi Allah, wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya biasa mencuci pakaian saya karena saya suka dengan warna
putihnya. Saya juga suka dengan tali sandal saya serta tempat gantungan cemeti
saya.” Maka beliau Saw.
menjawab, "Itu bukan takabur namanya, sesungguhnya yang dinamakan takabur
itu ialah bila kamu meremehkan perkara yang hak dan merendahkan orang lain.” Imam Tabrani telah
meriwayatkan hal yang semisal melalui jalur lain, yang mengandung kisah yang
cukup panjang, juga tentang gugurnya Sabit serta wasiatnya.
h
Sederhana dalam Berjalan
dan Melunakkan Suara
Firman Allah Swt.: {وَاقْصِدْ
فِي مَشْيِكَ} “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan.”(Luqman:
19)
Maksudnya, berjalanlah kamu dengan langkah yang biasa dan wajar, tidak terlalu
lambat dan tidak terlalu cepat, melainkan pertengahan di antara keduanya. Firman Allah Swt.: {وَاغْضُضْ
مِنْ صَوْتِكَ} “dan
lunakkanlah suaramu.” (Luqman: 19)
Janganlah kamu berlebihan dalam bicaramu, jangan pula kamu keraskan suaramu
terhadap hal yang tidak ada faedahnya. Karena itulah disebut dalam firman
berikutnya: {إِنَّ أَنْكَرَ الأصْوَاتِ
لَصَوْتُ الْحَمِيرِ} “Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai. “(Luqman: 19)
Mujahid
dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan, sesungguhnya suara yang
paling buruk ialah suara keledai, yakni suara yang keras berlebihan itu
diserupakan dengan suara keledai dalam hal keras dan nada tingginya, selain itu
suara tersebut tidak disukai oleh Allah Swt. Adanya penyerupaan dengan suara
keledai ini menunjukkan bahwa hal tersebut diharamkan dan sangat dicela, karena
Rasulullah Saw. pernah bersabda: "لَيْسَ
لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ، الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ
يَعُودُ فِي قَيْئِهِ" Tiada
pada kita suatu perumpamaan buruk terhadap orang yang mengambil kembali
hibahnya (melainkan) seperti anjing yang muntah, lalu ia memakan lagi
muntahannya.
قَالَ النَّسَائِيُّ
عِنْدَ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ،
حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ، عَنِ الْأَعْرَجِ، (9) عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [أَنَّهُ]
قَالَ: "إِذَا سمعتم صياح الديكة فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ، وَإِذَا
سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحَمِيرِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ،
فَإِنَّهَا رَأَتْ شَيْطَانًا"
Imam
Nasai dalam tafsir ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah
ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Ja'far ibnu Rabi'ah,
dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Apabila kalian mendengar suara kokokan ayam jago, maka mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Dan apabila kalian mendengar suara lengkingan
keledai, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari gangguan setan, karena
sesungguhnya keledai itu sedang melihat setan.
i.
Rendah Diri dan Tidak
Ingin Terkenal
Pembahasan
ini berkaitan dengan wasiat Luqmanul Hakim kepada putranya. Al-Hafiz Abu Bakar
Ibnu Abud Dunia telah menghimpun sebuah kitab tersendiri yang membahas
mengenainya. Berikut ini akan diketengahkan sebagian dari kandungan intinya. قَالَ:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى
الْمَدَنِيُّ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ حَفْصِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ
بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: "رُبَّ أشعثَ ذِي طِمْرَين يُصْفَح عَنْ أَبْوَابِ
النَّاسِ، إِذَا أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ"
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Musa Al-Madani, dari Usamah ibnu Zaid ibnu Hafs ibnu Abdullah
ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas ibnu Malik), yang menceritakan bahwa ia
pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Banyak dijumpai orang yang rambutnya
berdebu, berpakaian tambal sulam yang terusir dari pintu rumah orang-orang.
Apabila ia memohon kepada Allah, niscaya Allah mengabulkannya.
Kemudian
Ibnu Abud Dunia meriwayatkannya melalui Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit dan
Ali ibnu Zaid, dari Anas, dari Nabi Saw., lalu disebutkan hadis yang semisal,
dan di akhirnya ada tambahan, yaitu: مِنْهُمُ
الْبَرَاءَ بْنَ مَالِكٍ di
antara mereka adalah Al-Barra ibnu Malik. Dia telah meriwayatkan pula melalui
Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"طُوبَى
لِلْأَتْقِيَاءِ الْأَثْرِيَاءِ الَّذِينَ إِذَا حَضَرُوا لَمْ يُعْرَفُوا،
وَإِذَا غَابُوا لَمْ يُفْتَقَدُوا، أُولَئِكَ مَصَابِيحُ مُجَرَّدُونَ مَنْ كُلِّ
فِتْنَةٍ غَبْرَاءَ مُشِينَةٍ"
Beruntunglah
orang-orang yang bertakwa lagi kaya, yaitu mereka yang apabila hadir tidak
dikenal dan bila tidak hadir tidak ada yang mencarinya. Mereka bagaikan
pelita-pelita (yang bersinar cemerlang) lagi terbebas dari semua fitnah yang
kotor lagi kacau.[9]
Dalam
kitab Tafsir Muyassar
Disebutkan
ingatlah wahai rasul, nasihat Luqman kepada putranya saat dia menasehatinya. “wahai
anakku janganlah mempersekutukan sesuatu dengan Allah karena dengan itu kamu
menzholimi dirimu, sesungguhnya syirik benar-benar perbuatan dosa yang paling
besar dan paling buruk Dan kami
memerintahkan manusia agar berbakti dan berbuat baik kepada ibu bapaknya.
Ibunya mengandungnya dalam kedaan lemah di atas kelemahan,, mengandungnya dan
menyapihnya setelah menyusuinya selama dua tahun. Kami berfirman kepadanya,
“Bersyukurlah kepada Allah kemudian berterima kasihlah kepada kedua orang
tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian akan kembali, lalu Aku akan membalas
masing-masing sesuai haknya.
Bila
bapak ibumu, wahai anak yang beriman, berusaha untukmembuatmu menyekutukan
sesuatu dengan-Ku dalam ibadahmu kepada-Ku di mana kamu tidak memiliki ilmu
tentangnya atau keduanya mengajakmu berbuat maksiat, maka jangan taati
keduanya, karena tidak ada ketaatan bagi makhluk untuk bermaksiat kepada sang
Khaliq, namun tetaplah bergaul dengan keduanya di dunia ini dengan baik dalam
hal-hal yang bukan mengandung dosa. Wahai anak yang beriman, tempuhlah jalan
orang-orang yang bertaubat dari dosanya yang kembali kepada-Ku, beriman kepada
utusan-Ku, Muhammad kemudian hanya kepada-Ku lah tempat kembali lalu Aku
mengabarkan kepada kalian apa yang dulu kalian kerjakan di dunia dan Aku
membalas setiap orang yang sesuai dengan perbuatannya.
Wahai anakku ketahuilah
bahwa keburukan dan kebaikan, seklaipun itu sekecil biji sawi –maksudnya sangat
kecil- di perut gunung atau di manapun di langit dan dan di bumi maka akan
mendatangkannya di hari kiamat dan menghisabnya. Sesungguhnya Allah Maha Lembut
kepada hamba-hamba-Nya juga maha teliti terhadap perbuatan-perbuatan mereka.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat pula dikembangkan bahwa tahapan pendidikan karakter
islami pada anak terdiri dari enam tahapan yaitu periode penanaman tauhid,
ahad, tanggung jawab, caring /peduli,
kemandirian dan bermasyarakat. Tahapan periode penanaman tauhid dilakukan pada
saat anak berusia 0-2 tahun. Manusia dilahirkan ke dunia dalam
kondisi fitrah, maknaya dianugrahi potensi tauhid, yaitu meng-Esa-kan Allah dan
berusaha terus untuk mencari ketauhidan tersebut sebagaiamana yang dipaparkan
Luqman kepada puteranya. Saat bayi lahir sangat penting untuk memperdengarkan
kalimat-kalimat tauhid ini dalam rangka tetap menjaga ketauhidan, sampai bayi
menginjak usia 2 tahun sudah diberi kemampuan untuk berbicara, maka kata-kata
yang akan keluar dari mulutnya adalah kata-kata tauhid/kalimat thayyibah sebagaimana
yang sering diperdengarkan kepadanya.
Pengajaran
tentang adab, dilakukan saat anak menginjak usia 5-6 tahun Dalam ada
fase ini anak dididik budi pekerti, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai
karakter jujur (tidak berbohong), mengenal yang baik-buruk, benar-salah, yang
diperintahkan-yang dilarang. Pendidikan
tanggung jawab diberikan pada anak saat berusia 7-8 tahun. Berdasarkan
hadits tentang perintah shalat pada usia tujuh tahun menggambarkan bahwa pada
fase ini anak dididik untuk bertanggung jawab. Jika perintah shalat itu tidak
dikerjakan maka akan mendapat sanski, dipukul (pada usia sepuluh tahun). Pada tahapan berikutnya, yaitu usia 9-10
tahun, anak diajarkan untuk peduli.
Setelah
anak memiliki rasa tanggung jawab, maka akan muncul sifat kepedulian, baik
kepedulian terhadap lingkungan maupun kepedulian terhadap sesama. Bila
bercermin kepada tarikh Rasulullah SAW bahwa pada usia 9 tahun Rasul
menggembalakan kambing. Pekerjaan menggembala kambing merupakan wujud
kepedulian rasul terhadap kondisi kehidupan ekonomi pamannya, yang pada saat
itu mengurusnya setelah kematian kakeknya. Tahapan
selanjutnya adalah tahapan mengajarkan kemandirian pada anak yang sudah berusia
10-12 tahun.
Pada usia ini anak
telah memiliki kemandirian. Kemandirian ini ditandai dengan siap menerima
resiko jika tidak mentaati peraturan. Contoh kemandirian pada pribadi rasul
adalah saat beliau mengikuti pamannya untuk berniaga ke negeri Syam. Pada saat
itu Rasulullah telah memiliki kemandirian yang hebat, tidak cengeng, kokoh,
sampai mau mengikuti perjalanan yang jauh dengan pamannya tersebut, hingga pada
saat itu seorang pendeta Bukhaira menemukan tanda-tanda kenabian pada beliau.
Tahapan selanjutnya adalah mengajarkan bermasyarakat ketika anak
menginjak usia 13 tahun. Pada
fase ini anak sudah mulai memiliki kemampuan untuk bermasyarakat dengan
berbekal pengalaman-pengalaman yang didapat pada fase-fase sebelumnya. Kehidupan
dalam masyarakat lebih kompleks dari kehidupan keluarga, anak anak mengenal
banyak karakter manusia selain karakter orang-orang yang dia temui di dalam
keluarganya.[10]
KESIMPULAN
1. Pendidikan
Karakter adalah pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu
orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti, pendidikan yang mendukung perkembangan
sosial, emosional, dan etis siswayang
dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik,
mewujudkan, dan menebar kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh
hati.
2. Pubertas
pada remaja merupakan proses yang mengarah pada kematangan seksual atau
kesuburan bereproduksi. Proses pubertas ini diawali dengan sekresi hormon
Gonadotropin dari hipotalamus otak yang mengakibatkan munculnya hormon luteinizing (LH) dan hormon follicle stimulating (FSH) di mana pada
laki-laki mengakibatkan pemisahan hormon testosteron dan androstenedion,
sedangkan pada perempuan
3. Kaidah-kaidah
pubertas pada remaja dalam QS An Nuur : 31 dan QS Al Ahzab : 59 menurut
beberapa tafsir Al Qur’an adalah tentang aturan menutup aurat bagi perempuan
yang sudah baligh, larangan menampakkan perhiasan serta manfaat dari aturan
menutup aurat tesebut.
4. Cara
pendidikan anak yang diajarkan Al Qur’an untuk membentuk generasi yang berkarakter
islami dalam QS Luqman : 13-19 menurut beberapa tafsir Al Qur’an diantaranya
penanaman karakter-karakter baik seperti sederhana dalam berjalan dan
melunakkan suara, sabar, berbakti Kepada orang tua, larangan mempersekutukan
Allah dan bersyukur. Karakter-karakter buruk yang harus dihindari diantaranya
rendah diri dan tidak ingin terkenal, angkuh dan memalingkan muka / sombong
5. Tahapan
pendidikan karakter islami anak terdiri dari pengajaran tauhid, adab, tanggung
jawab, peduli, kemandirian dan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Dr
Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2009. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta : Pustaka Imam As Syafii.
Imam
Jalaludin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli, Al Imam Jalaluddin
Abdirahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. 2015. Tafsir
Jalalain. Surabaya : PT eLBA Fitrah Mandiri Sejahtera
Syaikh
Al-Allamah Dr Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh. 2016. Tafsir Muyassar 2 Memahami Al Qur’an dengan Terjemahan dan Penafsiran
Paling Mudah. Jakarta : Darul Haq
Unang Wahidin. Pendidikan Karakter Bagi Remaja. Halaman
256-257
Ani Nur Aeni . 2014. Pendidikan Karakter Untuk Siswa SD Dalam Perspektif Islam. Mimbar Sekolah Dasar, Volume 1 Nomor 1 April 2014, hal.
50-51
Imaningtyas,
I., Atmoko, A., & Triyono, T. (2017). Pengekspresian
Jatuh Cinta Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Media Tulisan: Kreativitas
atau Vandalisme?. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(4)
Sisrazeni.
(2016). Emosi Cinta Siswa : Studi Di SMPN
Se Tanah Datar. Proceeding International Seminar on Education
Faculty of Tarbiyah and Teacher Training,
Elizabeth B. Hurlock.
2012. Psikologi Perkembangan Edisi Kelima.
Jakarta : Erlangga
W.S.Winkel.S,J,
M.Sc.2014. Psikologi Pengajaran.
Yogyakarta: Sketsa (2014)
Dianne
E.Papalia. 2014. Menyelami Perkembangan
Manusia Experience Human Development Jakarta: Penerbit Salemba Humanika (2014)
Tasman
Hamami, dkk. 2019. Kurikulum Pendidikan
Al Islam, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (ISMUBA) Tahun 2017 untuk SD
Muhammadiyah. Jakarta Pusat :
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Gedung Dakwah
Muhammadiyah
Jalaludin. 2018. Psikologi
Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Virgianti Nurardila, Diyah Sri Yuhandini. (2017). Keterkaitan Tentang Pengetahuan Reproduksi
Remaja dengan Perilaku Seks Pra Nikah pada Siswa-Siswa kelas XI di SMA PGRI 1
Kabuparen Majalengka Tahun 2017.
Jurnal Care Vol .5, No.3,Tahun 2017
Ahmad
Tri Sofyan. 2019 Pendidikan Al Islam SD
Muhammadiyah Kelas 6. Jakarta Pusat:
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Gedung
Dakwah Muhammadiyah.: VIII
[1] Ani Nur Aeni . 2014. Pendidikan Karakter Untuk Siswa SD Dalam Perspektif Islam. Mimbar Sekolah Dasar, Volume 1 Nomor 1 April 2014, hal.
50-51
[2]
Dr Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2009. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta : Pustaka Imam As Syafii.
[3]
Imam Jalaludin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli, Al Imam Jalaluddin
Abdirahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. 2015. Tafsir
Jalalain. Surabaya : PT eLBA Fitrah Mandiri Sejahtera
[4]
Syaikh Al-Allamah Dr Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh. 2016. Tafsir Muyassar 2 Memahami Al Qur’an dengan
Terjemahan dan Penafsiran Paling Mudah. Jakarta : Darul Haq Hal 140-141
[5]
Dr Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2009. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta : Pustaka Imam As Syafii.
[6] Imam Jalaludin Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad Al-Mahalli, Al Imam Jalaluddin Abdirahman bin Abu Bakar As-Suyuthi.
2015. z. Surabaya : PT eLBA Fitrah
Mandiri Sejahtera
[7]
Syaikh Al-Allamah Dr Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh. 2016. Tafsir Muyassar 2 Memahami Al Qur’an dengan
Terjemahan dan Penafsiran Paling Mudah. Jakarta : Darul Haq
[8]
Dr Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2009. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta : Pustaka Imam As Syafii.
[9]
Dr Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2009. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta : Pustaka Imam As Syafii.
[10] Ani Nur Aeni. 2014. Pendidikan Karakter
untuk Siswa SD Dalam Persepektif Islam. Mimbar Sekolah Dasar, Volume 1 Nomor 1 April 2014, (hal. 50-58)
Posting Komentar untuk "PENDIDIKAN KARAKTER ISLAMI PADA SISWA PUBERTAS DITINJAU DARI QS LUQMAN : 13-19, QS AN NUUR : 31 DAN QS AL AHZAB : 59 (Tinjauan Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Jalalain dan Muyassar)"
Berkomentar dengan baik. Mohon tidak spam.