Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Emosi Dalam Psikologi Islam

Emosi dalam Psikologi Islam


       Pengertian Emosi
Secara etimologi (asal kata) emosi berasal dari kata emotion, mouvoir (Perancis), emovere (Latin), yakni e artinya keluar dan movere artinya bergerak, dengan demikian emosi berarti bergerak keluar. Menurut Abdul ‘Aziz El-Quusi, emosi adalah potensi fitri, sebagai pembawaan emosi dapat dikembangkan, di mana hasil yang dipelari itu dinamakan perasaan (‘awatif). Adapun pengembangan emosi itu sendiri, terkait dengan aspek fisiologis dalam sistem limbik. Emosi sebagai kecenderungan yang dipelajari ini memiliki keragaman yaitu marah, gembira, sedih, cinta dan sebagainya sesuai dengan situasi yang dihadapi.[1]

I.Crow dan A.Crow memaparkan bahwa emosi adalah pengalaman yang efektif oleh penyesuaian batin secara menyeluruh, di mana keadaan mental dan fisiologi sedang dalam kondisi yang meluap-luap, juga dapat diperlihatkan dalam tingkah laku yang jelas dan nyata. Kaplan dan Saddock memaparkan bahwa emosi adalah keadaan perasaan yang kompleks yang mengandung komponen kejiwaan, badan dan perilaku yang berkaitan dengan mood dan affect. Affect merupakan ekspresi yang tampak oleh orang lain dan dapat bervariasi sebagai respon terhadap perubahan emosi sedangkan mood adalah suatu perasaan yang meluas, meresap dan terus menerus yang secara subyektif di alami dan dikatakan oleh individu dan juga dilihat oleh orang lain. [2]
Goleman menyatakan emosi adalah perasaan dan pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, suatu rentangan dari kecenderungan untuk bertindak. Dalam The American College Dictionary, emosi adalah suatu keadaan afektif yang disadari di mana dialami perasaan kegembiraan (joy), kesedihan, takut, benci, dan cinta (dibedakan dari keadaan kognitif dan keinginan yang disadari), dan juga perasaan seperti kegembiraan, kesedihan, takut, benci, dan cinta. Henry L. Roediger III dan kawan-kawan mengungkapkan emosi adalah keadaan fisiologis dan kogniti yang kompleks yang digambarkan orang secara subyektif. Linda L. Davidoff mendefinisikan emosi adalah keadaan internal yang dicirikan oleh pemikiran khusus sensasi, reaksi-reaksi fisik, dan perilaku yang ekspresi. Keadaan itu muncul secara tiba-tiba dan tampaknya berada di luar kontrol. Menurutnya, ada enam emosi yang umumnya di alami oleh manusia yakni kegembiraan, kemarahan, kemuakan, keheranan dan kesedihan. Perasaan lain seperti minat, perasan malu, perasaan jijik dan perasaan bersalah juga merupakan perasaan yang bersifat umum. [3] Menurut Averill dalam bahasa Inggris setidaknya ditemukan lebih dari 500 kata untuk menggambarkan emosi.
Emosi berpusat pada pusat otak dan terhubung dengan lingkungan dan jaringan sara pada tubuh manusia, mulai dari sara perifer (saraf tepi, dalam hal ini indra) diolah ke pusat (otak) dan kembali ke sara tepi (kelanjar dan sel saraf motoris) dalam bentuk reaksi-reaksi tubuh. Dengan demikian proses perkembangan emosi menyangkut dan berhubungan langsung antara saraf pusat (otak) dengan seluruh susunan saraf yang berada di seluruh bagian tubuh sehingga respon dari emosi tampak pada reaksi sekujur tubuh.

            Emosi Menurut Perspektif Islam
Emosi yang merupakan anugrah Allah ini sejalan dengan Firman Allah dalam Surat An Najm: 53 yang artinya “Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis”. Hal ini berarti bahwa Allah telah menciptakan dalam diri manusia kemampuan untuk tertawa dalam diri manusia dan untuk menangis, untuk bersukacita dan untuk merenungkan penyebab hal tersebut. Bayangkan bagaimana hidup tanpa kapasitas untuk mencintai, bersuka cita, atau bahkan menjadi marah atau sedih. Kita akan seperti robot yang menjalani hidup kita tanpa mengalami kesenangan atau kesusahan. Emosi adalah pengalaman yang memengaruhi yang terdiri komponen internal (perasaan subyektif dan keadaan fisiologis) serta komponen eksternal (ekspresi dan perilaku wajah). Universalitas emosi jelas menunjukkan sifat bawaan mereka. Emosi umumnya dikategorikan sebagai positif atau negatif. Emosi positif biasanya membawa kesenangan, sedangkan emosi negatif menyiratkan kesusahan. Meskipun kita sering berusaha untuk mengalami emosi positif, bahkan tak jarang emosi juga kita alami, contohnya marah yang merupakan salah satu bentuk emosi negatif[4]
Dari sudut pandang Islam, emosi juga merupakan ujian dari Allah. Keberhasilan dalam ujian ini berarti kita dapat mengendalikan emosi dan menyalurkannya ke arah yang ditentukan oleh Allah. Karena emosi adalah alami, kita tidak dapat menghilangkannya sehingga kita masih dapat merasakan kesedihan, kemarahan, dan sebagainya. Namun, ada batasan-batasan yang dilakukan oleh Allah, serta jenis atau ekspresi emosi yang patut dipuji dan disalahkan.

1.      Timbulnya Emosi
Sebagai faktor bawaan (fitri) berasal dari faktor intern dalam diri manusia dan faktor ekstern yang berupa rangsang dari luar diri manusia. Adapun faktor intern yang ada dalam diri manusia bersumber dari muatan-muatan fitri sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Fitrah menimbulkan kecenderungan dan dorongan dengan motif-motif suci, yaitu mencari kebenaran, moral (akhlak), estetika, kreasi dan penciptaan, serta kerinduan dan ibadah. Dorongan dari motif-motif ini menimbulkan emosi yang bersiat positif dalam wujud motivasi serta sikap dan perilaku. Faktor intern lainnya dapat bersumber dari nafsu, sehingga Yusuf As, menyatakan : “Nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku” (QS Yusuf :53). Pernyataan ini mengindikasikan bahwa emosi yang bersumber dari nafsu memiliki potensi ganda, yakni potensi positif dan potensi negatif.[5]
Faktor ekstern yang menyebabkan timbulnya emosi diataranya godaan iblis (setan) dan keraguan atau was-was. Sebagaimana disebutkan dalam QS Al Hijr: 39 yang berarti “Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya”, dan menurut Al Imam al-Samarqandi yang menyebutkan bahwa tipu daya setan masuk ke dalam tubuh manusia melalui sepuluh pintu.  Perasaan was-was ini berasal dari setan yang merasuki dada manusia. Maka bila seseorang ini mengalami keraguan atau was-was ini mengingat Allah, maka setan akan keluar dari hatinya

2.      Rangsangan yang Menimbulkan Emosi
Emosi timbul dari rangsangan (stimulus). Setiap stimulus dapat menimbulkan emosi yang berbeda atau berlawanan. Rangsangan muncul  dari dorongan, keinginan, atau minat yang terhalang. Bila terpenuhi, maka emosional individu berada dalam keadaan stabil. Intensitas respon emosional tergantung dari kondisi fisik dan mental individu serta stimulus itu sendiri.[6]


       Cinta, Rasa Takut, Harapan dan Keseimbangan Ketiganya dalam Perspektif Islam 

       Cinta
Cinta adalah emosi yang alami dan ada di mana-mana yang datang dalam berbagai bentuk dan tingkat intensitas . Kita mencintai pasangan kita dengan satu cara, orang tua kita dengan cara lain dan anak-anak kita dengan cara yang sangat berbeda. Semua tipe ini berasal dari karunia Allah, dan  perasaan cinta itu sepenuhnya dapat diterima dan didorong, bahkan jika halangan cinta kita kebetulan adalah orang-orang kafir.  Satu-satunya batasan adalah bahwa cinta kita untuk manusia lain (atau hal, dalam hal ini) tidak boleh melebihi cinta kita untuk Allah). Tidak ada yang lebih berkah dalam mencintai seseorang melebihi cinta kita kepada Allah. Jika kita tidak mencintai Allah tentunya kita tidak akan mendapatkan ridho dari Allah.
 Cinta kita kepada Allah, pada kenyataannya, adalah unik dan berbeda dari jenis cinta lainnya. Aspek penting dan wajib dari iman adalah untuk mencintai  Allah dan Utusan-Nya serta mempercayai bahwa apa yang Allah telah tentukan untuk menjadi  yang terbaik baik dan yang paling adil  (dalam hal iman dan perbuatan).  Cinta untuk Allah dan Utusan-Nya harus menjadi prioritas melebihi cinta untuk cinta untuk anggota keluarga, kekayaan, dan aspek duniawi lainnya Allah. Di mana Allah berfirman dalam surat At Taubah : 24 yang berarti “Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
Mencintai Allah Allah dan utusan-Nya melebihi cinta pada cinta dan sesuatu lainnya adalah tanda kesetiaan yang sesungguhnya yang akan memimpin pelakunya untuk menikmati manisnya iman. Hal ini berimplikasi bagi seorang hamba Allah untuk menahan kesenangannya  karena memilih pada ketaatan dan mendekat kepada-Nya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw dalam hadis yang berarti “ Tidak ada diantara kamu  yang benar-benar beriman sampai kamu mencintaiku melebihi cintamu pada ayahmu, putra-putramu dan manusia lainnya” (HR Muslim).
Cinta kepada Allah merupakan bagian dari fitrah manusia dan cinta dalam wujud yang hakiki, yang kemudian diimplikasikan dalam kerinduan dan ibadah. Kerinduan (al ‘isyq) adalah kondisi yang lebih tinggi tingkatannya dibanding cinta, yang pada tingkatannya yang biasa-biasa saja terdapat dalam diri setiap orang. Berbeda dengan hal tersebut, maka kerinduan kepada Tuhan memiliki benih-benih yang tertanam dalam roh dan fitrah pada manusia. [7]
Kecintaan kepada Allah hakikatnya adalah kecintaan abadi seorang hamba kepada Khaliknya. Kecintaan puncak yang mengatasi segala bentuk cinta, kepada selain cinta kepada-Nya. Dinyatakan dalam firman-Nya dalam Surat Ali Imran : 31 yang berarti “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“
Cinta kepada rasul Allah adalah dalam wujud menempatkan kecintaan itu pada prioritas utama. Agar dorongan yang dimaksud tersalurkan secara tepat arah  dan sasaran, mesti didasarkan pada kesadaran yang mendalam. Untuk itu perlu adanya pedoman yang jelas. Cinta kepada rasul diwujudkan dengan menempatkan kecintaan kepada beliau pada prioritas utama. Kecintaan puncak ini akan terlihat pada tingkat pengorbanan yang lebih besar dalam menjalankan perintah-perintah Allah sesuai dengan bimbingan dan tuntunan beliau. Mematuhi semua itu pasti melebihi tingkat kepatuhan kepada orang lain.
Allah menjelaskan karakteristik hamba yang benar-benar mencintai-Nya dalam QS Al Maidah : 54  yang berarti “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”
Karakteristik yang dijelaskan dalam ayat ini adalah keramahtamahan terhadap orang beriman, yang menunjukkan bahwa mereka berbelas kasih dan berbelas kasih kepada saudara-saudara mereka dan  orang-orang yang beragama Islam, kekerasan dan kebencian terhadap mereka terhadap orang-orang kafir yang memerangi umat Islam, berjuang di jalan Allah melawan musuh-musuh-Nya dengan hati, jiwa, tangan, lidah dan kekayaan seseorang, dan tidak takut akan celaan dari siapa pun, karena ada kepuasan dalam melakukan apa yang berkenan kepada Allah  tidak peduli tentang krtikan atau pujian dari orang lain. Dengan demikian, memahami dan menerima prinsip-prinsip ini akan memperkuat iman kita dan membawa kita lebih dekat kepada Allah.
2.      Rasa Takut
Takut umumnya dianggap sebagai emosi negatif yang muncul sebagai akibat dari bahaya atau terancam bahaya. Ini adalah respons alami yang dimaksudkan untuk melindungi diri dari luka, rasa sakit, cedera, atau kematian. Hal ini merupakan cara mengekspresikan rasa takut dalam kehidupan duniawi untuk melarikan diri dengan ketakutan atau untuk menghindari situasi-situasi di mana sulit yang ada hadir. Namun sesungguhnya yang harus ditakuti adalah Allah. Ketika seseorang takut kepada Allah ia akan menghindari larangan-laranga-Nya, mencoba untuk lebih dekat dengan-Nya dan berusaha untuk mendapatkan keinginan-Nya dengan tindakan kepatuhan.
Dalam QS Adz Dzariyat : 50 “Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” Bentuk-bentuk ketakutan kepada Allah diantaranya takut akan kehilangan rahmat Allah, takut kehilangan rasa patuh kepada Allah, dan takut akan siksa Allah. Seseorang yang selalu takut kehilangan rahmat Allah selalu diliputi perasaan khawatir kalau dirinya terluput dari anugerah rahmat Allah. Perasaan ini kemudian akan memotivasi dirinya untuk tetap berupaya mematuhi seluruh perintah Allah disertai usaha sekeras mungkin agar terhindar dari segala bentuk aktivitas yang dilarang-Nya, baik berupa aktivitas lahiriah maupun batiniah.  Segala bentuk kegiatannya tetap didasarkan pada nilai-nilai imani, teguh mempertahankan keyakinan seraya mengharap rahmat Allah. Sebagaimana firman Allaj dalam QS Az Zukhruf : 32 yang berarti “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.[8]
Orang yang takut akan siksa Allah terdorong untuk hati-hati dan mawas diri dan senantiasa mengingat Allah. Dengan cara seperti ini dia diharapkan mampu menyesuaikan sikap dan perilakunya dengan tuntunan Allah SWT sehingga tidak terjebak dalam kelalaian dan lupa diri.  Ketakutan terhadap Allah juga termanifestasi dalam ketakutan terhadap hari pembalasan.  Allah berfirman “Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” (QS 2 : 48) , “Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku." (QS 6 : 15), “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,” (QS 79 : 40) dan masih banyak firman Allah lainnya. Takut akan hari pembalasan diwujudkan dalam sikap penuh kehati-hatian dalam melakukan setiap perbuatan.

3    Harapan
Harapan sering kali diartikan dengan optimis, yang kebalikannya adalah pesimisme.  Seorang optimis adalah orang yang umumnya mengharapkan yang terbaik dalam segala hal, Optimisme dicirikan oleh pandangan positif di masa kini dan harapan akan hasil yang baik di masa depan. Sebagai orang yang beriman, kita harus selalu berharap bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik, dan kita terutama harus berharap untuk kemurahan dan rahmat Allah dan memohon kepada-Nya dalam ketakutan dan aspirasi yang dilekatkan.
Allah berfirman : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS 7 : 56) Ayat-ayat ini menandakan orang-orang beriman yang berharap untuk pahala yang luar biasa yang telah dijanjikan Allah. Orang-orang beriman, yang mengingat hari kiamat dan berharap untuk sukses dan ganjaran pada hari itu akan didorong untuk melakukan perbuatan baik. Demikian pula, mereka akan dihibur untuk  keluar dari kesenangan duniawi karena harapan mereka akan imbalan dan kesenangan di akhirat, yang terbesar darinya adalah keridhaan Allah dan melihat Wajah-Nya. Rasulullah bersabda, “Jika orang yang tidak mengetahui mengetahui semua rahmat  yang ada di tangan Allah, ia tidak akan kehilangan harapan untuk memasuki surga, dan jika seorang beriman mengetahui semua hukuman yang ada pada Allah, ia tidak akan menganggap dirinya aman dari api neraka” (HR Bakhari dan Anas)
Penuh harap kepada Allah disebut “roja”. Menurut imam Al Ghazali tanda-tanda roja adalah taat. Ibn Khubaiq membagi roja pada tiga bagian yaitu (1) mengaharap kebaikan yang dikerjakan diterima Allah, (2) taubat dari perbuatan buruk yang dilakukan dan mengharap ampunan dari Allah, serta (3) sadar akan dosa yang telah lalu, bertaubat karena takut akan bertambah dan kemudian mengharap ampunan dari Allah. Penjelasan ini menjelskan bahwa roja adalah proses perbaikan diri diawali dengan kesadaran akan kesalahan yang dilakukan lalu bertaubat disertai harapan akan keampunan dari Allah SWT[9]
Perlu dicatat bahwa penelitian di bidang optimisme dan kesehatan telah mengindikasikan bahwa orang yang optimis dan senang secara umum menikmati kesehatan mental dan mental yang lebih baik. Optimis menjadikan seseorang mengalami tingkat stres dan depresi yang lebih rendah, tekanan darah rendah, fungsi paru yang lebih baik dan perbaikan yang lebih baik dalam pemulihan dari operasi. Hal inia mungkin disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk upaya mengatasi stres dengan lebih efektif (menekankan aspek positif dari situasi stres) mendapatkan dukungan sosial, dan memiliki gaya hidup yang lebih sehat (diet dan olahraga yang sehat) dan menyeimbangkan cinta, ketakutan, dan harapan hanya kepada Allah. 



      Kebencian dan Kemarahan dalam Perspektif Islam
Kebencian
Sama seperti kita harus mencintai Allah dan mereka yang mendekat kepada-Nya, kita juga harus membenci mereka yang dengan sengaja dan aktif menentang Allah dan agama Islam.  Kebencian seharusnya hanya demi Allah saja, dan tidak boleh memengaruhi kita dengan cara yang memungkinkan kita untuk bertindak atau bereaksi secara irasional.
Allah berfirman  dalam QS Al Mumtahanah : 4 “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah." (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali."
Sehubungan dengan orang-orang munafik yang adalah musuh pertama dari lslam, wajib untuk membenci mereka demi Allah.  Allah telah mengutuk mereka dalam Al Qur'an, sehingga ia akan memungkinkan bagi orang beriman sejati untuk memiliki apa pun kecuali kebencian terhadap mereka. Mereka telah mengambil sumpah untuk memusuhi orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Orang yang harus kita benci dan kita musuhi secara mutlak, serta tidak boleh mencintai dan loyal terhadap mereka. Mereka adalah orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang yang murtad, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mujadilah ayat 22.[10]

 Kemarahan
Secara umum, marah termasuk emosi yang paling populer disebut dalam percakapan sehari-hari. Perilaku marah amat beragam, mulai dari tindakan diam (menarik diri), hingga tindakan agresif yang bisa mencedrai atau mengancam nyawa orang lain. Pemicu marah juga beragam, mulai dari hal yang amat sepele sampai yang memberatkan. Secara bahasa, term “amarah” dalam bahasa Indonesia sama dengan “marah”, yakni keadaan atau sifat seseorang pada saat ia merasa tidak senang (karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dan lain sebagainya). Ia juga dapat bermakna berang; gusar.Membahas tentang kemarahan, tentunya berbicara masalah emosi. Manusia memilki kekayaan dalam mengekspresikan emosinya.
Terkait dengan kemarahan, Allah berfirman dalam surat Ali Imran : 134 (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Rasa marah menjadi suatu perasaan yang dominan secara perilaku, kognitif, maupun fisiologi sewaktu seseorang membuat pilihan sadar untuk mengambil tindakan untuk menghentikan secara langsung ancaman dari pihak luar. Marah adalah suatu pola perilaku yang dirancang untuk mengingatkan pengganggu untuk menghentikan perilaku mengancam mereka. Adapun menurut istilah psikologis, marah dapat diidentifikasi dengan suatu keadaan, sifat dan perilaku: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan dan barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis. [11]

Dalam Islam, marah terbagi dua, marah yang terpuji dan marah yang tercela.
a.       Marah yang terpuji, yaitu bila dilakukan dalam rangka membela diri, kehormatan, harta, agama, hak-hak umum atau menolong orang yang dizhalimi
Hal ini dikuatkan dengan dalil yang banyak, di antaranya: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, seperti dalam firman-Nya: “Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” [Al-Baqarah/2: 30]
Agar dapat melaksanakan tugas ini, manusia diciptakan meliputi tiga unsur; ruh, akal dan jasad. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan bahwa Dia menjadikan jasad manusia untuk melayani ruh, dan menjadikannya dalam keadaan baik untuk melayani ruh tersebut selama manusia hidup di atas muka bumi.
Marah yang tercela adalah marah sebagai tindakan balas dendam demi dirinya sendiri, demikianlah yang dimaksud di sini. Terhadap pencelaan marah seperti ini banyak sekali kabar dan riwayat yang datang tentangnya, yaitu: Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang kuat bukanlah dengan bergulat, namun orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”[12]


[1] Jalaluddin. 2018. Psikologi Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 287)

[2] Jalaluddin. 2018. Psikologi Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 288)
[3] Jalaluddin. 2018. Psikologi Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 288-289)

[4] Aisha Utz. __. Psychology From The Islamic Perspectiv. International Islamic Publishing House. Hal : 155-156
[5] Jalaluddin. 2018. Psikologi Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 291-292)

[6] Jalaluddin. 2018. Psikologi Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 297)
[7] Jalaluddin. 2018. Psikologi Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 425)

[8] Jalaluddin. 2018. Psikologi Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 416-417)

[9] Jalaluddin. 2018. Psikologi Pendidikan Islam.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 414)

[11] Moch.Syahroni Hasan. 2017.Manajemen Marah dan Urgensinya dalam Pendidikan. ( Al Idaroh, Volume 1 No.2, Edisi September 2017)hal 87-89

 

Posting Komentar untuk "Emosi Dalam Psikologi Islam"