Emosi Dalam Psikologi Islam
Emosi dalam Psikologi Islam
Pengertian Emosi
Secara
etimologi (asal kata) emosi berasal dari kata emotion, mouvoir (Perancis),
emovere (Latin), yakni e artinya keluar dan movere artinya bergerak, dengan demikian
emosi berarti bergerak keluar. Menurut Abdul ‘Aziz El-Quusi, emosi adalah
potensi fitri, sebagai pembawaan emosi dapat dikembangkan, di mana hasil yang
dipelari itu dinamakan perasaan (‘awatif).
Adapun pengembangan emosi itu sendiri, terkait dengan aspek fisiologis dalam
sistem limbik. Emosi sebagai kecenderungan yang dipelajari ini memiliki
keragaman yaitu marah, gembira, sedih, cinta dan sebagainya sesuai dengan
situasi yang dihadapi.[1]
I.Crow
dan A.Crow memaparkan bahwa emosi adalah pengalaman yang efektif oleh
penyesuaian batin secara menyeluruh, di mana keadaan mental dan fisiologi
sedang dalam kondisi yang meluap-luap, juga dapat diperlihatkan dalam tingkah
laku yang jelas dan nyata. Kaplan dan Saddock memaparkan bahwa emosi adalah
keadaan perasaan yang kompleks yang mengandung komponen kejiwaan, badan dan
perilaku yang berkaitan dengan mood dan affect. Affect merupakan ekspresi yang
tampak oleh orang lain dan dapat bervariasi sebagai respon terhadap perubahan
emosi sedangkan mood adalah suatu perasaan yang meluas, meresap dan terus
menerus yang secara subyektif di alami dan dikatakan oleh individu dan juga
dilihat oleh orang lain. [2]
Goleman
menyatakan emosi adalah perasaan dan pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan
psikologis, suatu rentangan dari kecenderungan untuk bertindak. Dalam The
American College Dictionary, emosi adalah suatu keadaan afektif yang disadari
di mana dialami perasaan kegembiraan (joy),
kesedihan, takut, benci, dan cinta (dibedakan dari keadaan kognitif dan
keinginan yang disadari), dan juga perasaan seperti kegembiraan, kesedihan,
takut, benci, dan cinta. Henry L. Roediger III dan kawan-kawan mengungkapkan
emosi adalah keadaan fisiologis dan kogniti yang kompleks yang digambarkan
orang secara subyektif. Linda L. Davidoff mendefinisikan emosi adalah keadaan
internal yang dicirikan oleh pemikiran khusus sensasi, reaksi-reaksi fisik, dan
perilaku yang ekspresi. Keadaan itu muncul secara tiba-tiba dan tampaknya
berada di luar kontrol. Menurutnya, ada enam emosi yang umumnya di alami oleh
manusia yakni kegembiraan, kemarahan, kemuakan, keheranan dan kesedihan.
Perasaan lain seperti minat, perasan malu, perasaan jijik dan perasaan bersalah
juga merupakan perasaan yang bersifat umum. [3] Menurut
Averill dalam bahasa Inggris setidaknya ditemukan lebih dari 500 kata untuk
menggambarkan emosi.
Emosi
berpusat pada pusat otak dan terhubung dengan lingkungan dan jaringan sara pada
tubuh manusia, mulai dari sara perifer (saraf tepi, dalam hal ini indra) diolah
ke pusat (otak) dan kembali ke sara tepi (kelanjar dan sel saraf motoris) dalam
bentuk reaksi-reaksi tubuh. Dengan demikian proses perkembangan emosi
menyangkut dan berhubungan langsung antara saraf pusat (otak) dengan seluruh
susunan saraf yang berada di seluruh bagian tubuh sehingga respon dari emosi
tampak pada reaksi sekujur tubuh.
Emosi Menurut Perspektif Islam
Emosi yang merupakan
anugrah Allah ini sejalan dengan Firman Allah dalam Surat An Najm: 53 yang
artinya “Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan
orang tertawa dan menangis”. Hal ini berarti bahwa Allah telah menciptakan
dalam diri manusia kemampuan untuk tertawa dalam diri manusia dan untuk
menangis, untuk bersukacita dan untuk merenungkan penyebab hal tersebut.
Bayangkan bagaimana hidup tanpa kapasitas untuk mencintai, bersuka cita, atau
bahkan menjadi marah atau sedih. Kita akan seperti robot yang menjalani hidup
kita tanpa mengalami kesenangan atau kesusahan. Emosi adalah pengalaman yang
memengaruhi yang terdiri komponen internal (perasaan subyektif dan keadaan
fisiologis) serta komponen eksternal (ekspresi dan perilaku wajah).
Universalitas emosi jelas menunjukkan sifat bawaan mereka. Emosi umumnya
dikategorikan sebagai positif atau negatif. Emosi positif biasanya membawa
kesenangan, sedangkan emosi negatif menyiratkan kesusahan. Meskipun kita sering
berusaha untuk mengalami emosi positif, bahkan tak jarang emosi juga kita
alami, contohnya marah yang merupakan salah satu bentuk emosi negatif[4]
Dari sudut pandang
Islam, emosi juga merupakan ujian dari Allah. Keberhasilan dalam ujian ini
berarti kita dapat mengendalikan emosi dan menyalurkannya ke arah yang
ditentukan oleh Allah. Karena emosi adalah alami, kita tidak dapat
menghilangkannya sehingga kita masih dapat merasakan kesedihan, kemarahan, dan
sebagainya. Namun, ada batasan-batasan yang dilakukan oleh Allah, serta jenis
atau ekspresi emosi yang patut dipuji dan disalahkan.
1.
Timbulnya
Emosi
Sebagai faktor bawaan
(fitri) berasal dari faktor intern dalam diri manusia dan faktor ekstern yang
berupa rangsang dari luar diri manusia. Adapun faktor intern yang ada dalam
diri manusia bersumber dari muatan-muatan fitri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Fitrah menimbulkan kecenderungan dan dorongan dengan motif-motif suci, yaitu
mencari kebenaran, moral (akhlak), estetika, kreasi dan penciptaan, serta
kerinduan dan ibadah. Dorongan dari motif-motif ini menimbulkan emosi yang
bersiat positif dalam wujud motivasi serta sikap dan perilaku. Faktor intern
lainnya dapat bersumber dari nafsu, sehingga Yusuf As, menyatakan : “Nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan
kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku” (QS Yusuf :53). Pernyataan
ini mengindikasikan bahwa emosi yang bersumber dari nafsu memiliki potensi
ganda, yakni potensi positif dan potensi negatif.[5]
Faktor ekstern yang
menyebabkan timbulnya emosi diataranya godaan iblis (setan) dan keraguan atau
was-was. Sebagaimana disebutkan dalam QS Al Hijr: 39 yang berarti “Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh
sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka
memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya”, dan menurut Al Imam al-Samarqandi yang menyebutkan bahwa
tipu daya setan masuk ke dalam tubuh manusia melalui sepuluh pintu. Perasaan was-was ini berasal dari setan yang
merasuki dada manusia. Maka bila seseorang ini mengalami keraguan atau was-was ini
mengingat Allah, maka setan akan keluar dari hatinya
2.
Rangsangan
yang Menimbulkan Emosi
Emosi timbul dari
rangsangan (stimulus). Setiap stimulus dapat menimbulkan emosi yang berbeda
atau berlawanan. Rangsangan muncul dari
dorongan, keinginan, atau minat yang terhalang. Bila terpenuhi, maka emosional
individu berada dalam keadaan stabil. Intensitas respon emosional tergantung
dari kondisi fisik dan mental individu serta stimulus itu sendiri.[6]
Cinta,
Rasa Takut, Harapan dan Keseimbangan Ketiganya dalam Perspektif Islam
Cinta
Cinta adalah
emosi yang alami dan ada di mana-mana yang datang dalam berbagai bentuk dan
tingkat intensitas . Kita mencintai pasangan kita dengan satu cara, orang tua
kita dengan cara lain dan anak-anak kita dengan cara yang sangat berbeda. Semua
tipe ini berasal dari karunia Allah, dan perasaan cinta itu sepenuhnya dapat diterima
dan didorong, bahkan jika halangan cinta kita kebetulan adalah orang-orang
kafir. Satu-satunya batasan adalah bahwa
cinta kita untuk manusia lain (atau hal, dalam hal ini) tidak boleh melebihi
cinta kita untuk Allah). Tidak ada yang lebih berkah dalam mencintai seseorang
melebihi cinta kita kepada Allah. Jika kita tidak mencintai Allah tentunya kita
tidak akan mendapatkan ridho dari Allah.
Cinta kita kepada Allah, pada kenyataannya,
adalah unik dan berbeda dari jenis cinta lainnya. Aspek penting dan wajib dari
iman adalah untuk mencintai Allah dan
Utusan-Nya serta mempercayai bahwa apa yang Allah telah tentukan untuk menjadi yang terbaik baik dan yang paling adil (dalam hal iman dan perbuatan). Cinta untuk Allah dan Utusan-Nya harus menjadi
prioritas melebihi cinta untuk cinta untuk anggota keluarga, kekayaan, dan
aspek duniawi lainnya Allah. Di mana Allah berfirman dalam surat At Taubah : 24
yang berarti “Katakanlah:
"jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.”
Mencintai
Allah Allah dan utusan-Nya melebihi cinta pada cinta dan sesuatu lainnya adalah
tanda kesetiaan yang sesungguhnya yang akan memimpin pelakunya untuk menikmati
manisnya iman. Hal ini berimplikasi bagi seorang hamba Allah untuk menahan
kesenangannya karena memilih pada
ketaatan dan mendekat kepada-Nya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw dalam
hadis yang berarti “ Tidak ada diantara
kamu yang benar-benar beriman sampai
kamu mencintaiku melebihi cintamu pada ayahmu, putra-putramu dan manusia
lainnya” (HR Muslim).
Cinta
kepada Allah merupakan bagian dari fitrah manusia dan cinta dalam wujud yang
hakiki, yang kemudian diimplikasikan dalam kerinduan dan ibadah. Kerinduan (al ‘isyq) adalah kondisi yang lebih
tinggi tingkatannya dibanding cinta, yang pada tingkatannya yang biasa-biasa
saja terdapat dalam diri setiap orang. Berbeda dengan hal tersebut, maka
kerinduan kepada Tuhan memiliki benih-benih yang tertanam dalam roh dan fitrah
pada manusia. [7]
Kecintaan
kepada Allah hakikatnya adalah kecintaan abadi seorang hamba kepada Khaliknya.
Kecintaan puncak yang mengatasi segala bentuk cinta, kepada selain cinta
kepada-Nya. Dinyatakan dalam firman-Nya dalam Surat Ali Imran : 31 yang berarti
“Katakanlah: "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“
Cinta
kepada rasul Allah adalah dalam wujud menempatkan kecintaan itu pada prioritas
utama. Agar dorongan yang dimaksud tersalurkan secara tepat arah dan sasaran, mesti didasarkan pada kesadaran
yang mendalam. Untuk itu perlu adanya pedoman yang jelas. Cinta kepada rasul
diwujudkan dengan menempatkan kecintaan kepada beliau pada prioritas utama.
Kecintaan puncak ini akan terlihat pada tingkat pengorbanan yang lebih besar
dalam menjalankan perintah-perintah Allah sesuai dengan bimbingan dan tuntunan
beliau. Mematuhi semua itu pasti melebihi tingkat kepatuhan kepada orang lain.
Allah
menjelaskan karakteristik hamba yang benar-benar mencintai-Nya dalam QS Al
Maidah : 54 yang berarti “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap
lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui”
Karakteristik
yang dijelaskan dalam ayat ini adalah keramahtamahan terhadap orang beriman,
yang menunjukkan bahwa mereka berbelas kasih dan berbelas kasih kepada
saudara-saudara mereka dan orang-orang
yang beragama Islam, kekerasan dan kebencian terhadap mereka terhadap
orang-orang kafir yang memerangi umat Islam, berjuang di jalan Allah melawan
musuh-musuh-Nya dengan hati, jiwa, tangan, lidah dan kekayaan seseorang, dan
tidak takut akan celaan dari siapa pun, karena ada kepuasan dalam melakukan apa
yang berkenan kepada Allah tidak peduli
tentang krtikan atau pujian dari orang lain. Dengan demikian, memahami dan
menerima prinsip-prinsip ini akan memperkuat iman kita dan membawa kita lebih
dekat kepada Allah.
2.
Rasa
Takut
Takut umumnya
dianggap sebagai emosi negatif yang muncul sebagai akibat dari bahaya atau terancam
bahaya. Ini adalah respons alami yang dimaksudkan untuk melindungi diri dari luka,
rasa sakit, cedera, atau kematian. Hal ini merupakan cara mengekspresikan rasa takut
dalam kehidupan duniawi untuk melarikan diri dengan ketakutan atau untuk
menghindari situasi-situasi di mana sulit yang ada hadir. Namun sesungguhnya
yang harus ditakuti adalah Allah. Ketika seseorang takut kepada Allah ia akan menghindari
larangan-laranga-Nya, mencoba untuk lebih dekat dengan-Nya dan berusaha untuk
mendapatkan keinginan-Nya dengan tindakan kepatuhan.
Dalam QS Adz
Dzariyat : 50 “Maka
segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi
peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” Bentuk-bentuk ketakutan kepada
Allah diantaranya takut akan kehilangan rahmat Allah, takut kehilangan rasa
patuh kepada Allah, dan takut akan siksa Allah. Seseorang yang selalu takut
kehilangan rahmat Allah selalu diliputi perasaan khawatir kalau dirinya
terluput dari anugerah rahmat Allah. Perasaan ini kemudian akan memotivasi
dirinya untuk tetap berupaya mematuhi seluruh perintah Allah disertai usaha
sekeras mungkin agar terhindar dari segala bentuk aktivitas yang dilarang-Nya,
baik berupa aktivitas lahiriah maupun batiniah.
Segala bentuk kegiatannya tetap didasarkan pada nilai-nilai imani, teguh
mempertahankan keyakinan seraya mengharap rahmat Allah. Sebagaimana firman
Allaj dalam QS Az Zukhruf : 32 yang berarti “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.[8]
Orang
yang takut akan siksa Allah terdorong untuk hati-hati dan mawas diri dan
senantiasa mengingat Allah. Dengan cara seperti ini dia diharapkan mampu
menyesuaikan sikap dan perilakunya dengan tuntunan Allah SWT sehingga tidak
terjebak dalam kelalaian dan lupa diri.
Ketakutan terhadap Allah juga termanifestasi dalam ketakutan terhadap
hari pembalasan. Allah berfirman “Dan jagalah dirimu dari (azab) hari
(kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau
sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan
tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” (QS 2 : 48) , “Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut
akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku."
(QS 6 : 15), “Dan adapun orang-orang yang
takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,”
(QS 79 : 40) dan masih banyak firman Allah lainnya. Takut akan hari pembalasan diwujudkan
dalam sikap penuh kehati-hatian dalam melakukan setiap perbuatan.
3 Harapan
Harapan
sering kali diartikan dengan optimis, yang kebalikannya adalah pesimisme. Seorang optimis adalah orang yang umumnya
mengharapkan yang terbaik dalam segala hal, Optimisme dicirikan oleh pandangan
positif di masa kini dan harapan akan hasil yang baik di masa depan. Sebagai
orang yang beriman, kita harus selalu berharap bahwa segala sesuatunya akan
berjalan dengan baik, dan kita terutama harus berharap untuk kemurahan dan
rahmat Allah dan memohon kepada-Nya dalam ketakutan dan aspirasi yang
dilekatkan.
Allah
berfirman : “Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (QS 7 : 56) Ayat-ayat ini menandakan orang-orang
beriman yang berharap untuk pahala yang luar biasa yang telah dijanjikan Allah.
Orang-orang beriman, yang mengingat hari kiamat dan berharap untuk sukses dan
ganjaran pada hari itu akan didorong untuk melakukan perbuatan baik. Demikian
pula, mereka akan dihibur untuk keluar
dari kesenangan duniawi karena harapan mereka akan imbalan dan kesenangan di
akhirat, yang terbesar darinya adalah keridhaan Allah dan melihat Wajah-Nya.
Rasulullah bersabda, “Jika orang yang
tidak mengetahui mengetahui semua rahmat
yang ada di tangan Allah, ia tidak akan kehilangan harapan untuk
memasuki surga, dan jika seorang beriman mengetahui semua hukuman yang ada pada
Allah, ia tidak akan menganggap dirinya aman dari api neraka” (HR Bakhari dan
Anas)
Penuh
harap kepada Allah disebut “roja”.
Menurut imam Al Ghazali tanda-tanda roja adalah
taat. Ibn Khubaiq membagi roja pada
tiga bagian yaitu (1) mengaharap kebaikan yang dikerjakan diterima Allah, (2)
taubat dari perbuatan buruk yang dilakukan dan mengharap ampunan dari Allah,
serta (3) sadar akan dosa yang telah lalu, bertaubat karena takut akan
bertambah dan kemudian mengharap ampunan dari Allah. Penjelasan ini menjelskan
bahwa roja adalah proses perbaikan
diri diawali dengan kesadaran akan kesalahan yang dilakukan lalu bertaubat
disertai harapan akan keampunan dari Allah SWT[9]
Perlu
dicatat bahwa penelitian di bidang optimisme dan kesehatan telah
mengindikasikan bahwa orang yang optimis dan senang secara umum menikmati
kesehatan mental dan mental yang lebih baik. Optimis menjadikan seseorang
mengalami tingkat stres dan depresi yang lebih rendah, tekanan darah rendah,
fungsi paru yang lebih baik dan perbaikan yang lebih baik dalam pemulihan dari
operasi. Hal inia mungkin disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk upaya
mengatasi stres dengan lebih efektif (menekankan aspek positif dari situasi
stres) mendapatkan dukungan sosial, dan memiliki gaya hidup yang lebih sehat
(diet dan olahraga yang sehat) dan menyeimbangkan cinta, ketakutan, dan harapan
hanya kepada Allah.
Kebencian
dan Kemarahan dalam Perspektif Islam
Kebencian
Sama
seperti kita harus mencintai Allah dan mereka yang mendekat kepada-Nya, kita
juga harus membenci mereka yang dengan sengaja dan aktif menentang Allah dan
agama Islam. Kebencian seharusnya hanya
demi Allah saja, dan tidak boleh memengaruhi kita dengan cara yang memungkinkan
kita untuk bertindak atau bereaksi secara
irasional.
Allah berfirman dalam QS Al Mumtahanah : 4 “Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu
sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan
kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada
Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku
akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari
kamu (siksaan) Allah." (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami hanya kepada
Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya
kepada Engkaulah kami kembali."
Sehubungan
dengan orang-orang munafik yang adalah musuh pertama dari lslam, wajib untuk
membenci mereka demi Allah. Allah telah
mengutuk mereka dalam Al Qur'an, sehingga ia akan memungkinkan bagi orang
beriman sejati untuk memiliki apa pun kecuali kebencian terhadap mereka. Mereka
telah mengambil sumpah untuk memusuhi orang-orang yang berjuang di jalan Allah.
Orang yang harus kita benci dan kita musuhi secara
mutlak, serta tidak boleh mencintai dan loyal terhadap mereka. Mereka adalah
orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang yang murtad, sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-Mujadilah ayat 22.[10]
Kemarahan
Secara umum, marah termasuk emosi yang paling
populer disebut dalam percakapan sehari-hari. Perilaku marah amat beragam,
mulai dari tindakan diam (menarik diri), hingga tindakan agresif yang bisa
mencedrai atau mengancam nyawa orang lain. Pemicu marah juga beragam, mulai
dari hal yang amat sepele sampai yang memberatkan. Secara bahasa, term “amarah”
dalam bahasa Indonesia sama dengan “marah”, yakni keadaan atau sifat seseorang
pada saat ia merasa tidak senang (karena dihina, diperlakukan tidak
sepantasnya, dan lain sebagainya). Ia juga dapat bermakna berang;
gusar.Membahas tentang kemarahan, tentunya berbicara masalah emosi. Manusia
memilki kekayaan dalam mengekspresikan emosinya.
Terkait dengan kemarahan, Allah berfirman dalam
surat Ali Imran : 134 “(yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Rasa marah menjadi suatu perasaan yang dominan
secara perilaku, kognitif, maupun fisiologi sewaktu seseorang membuat pilihan
sadar untuk mengambil tindakan untuk menghentikan secara langsung ancaman dari
pihak luar. Marah adalah suatu pola perilaku yang dirancang untuk mengingatkan
pengganggu untuk menghentikan perilaku mengancam mereka. Adapun menurut istilah
psikologis, marah dapat diidentifikasi dengan suatu keadaan, sifat dan
perilaku: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati,
terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan dan barangkali yang
paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis. [11]
Dalam Islam, marah terbagi dua, marah
yang terpuji dan marah yang tercela.
a.
Marah yang terpuji, yaitu
bila dilakukan dalam rangka membela diri, kehormatan, harta, agama, hak-hak
umum atau menolong orang yang dizhalimi
Hal ini dikuatkan dengan dalil yang banyak, di antaranya: Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka
bumi, seperti dalam firman-Nya: “Ingatlah
ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” [Al-Baqarah/2: 30]
Agar dapat melaksanakan tugas ini,
manusia diciptakan meliputi tiga unsur; ruh, akal dan jasad. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menentukan bahwa Dia menjadikan jasad manusia untuk melayani ruh,
dan menjadikannya dalam keadaan baik untuk melayani ruh tersebut selama manusia
hidup di atas muka bumi.
Marah yang tercela adalah marah sebagai tindakan balas
dendam demi dirinya sendiri, demikianlah yang dimaksud di sini. Terhadap
pencelaan marah seperti ini banyak sekali kabar dan riwayat yang datang tentangnya,
yaitu: Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang
kuat bukanlah dengan bergulat, namun orang yang kuat itu adalah orang yang
mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”[12]
[1] Jalaluddin.
2018. Psikologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 287)
[2] Jalaluddin.
2018. Psikologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 288)
[3] Jalaluddin.
2018. Psikologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 288-289)
[4] Aisha Utz. __. Psychology From The Islamic Perspectiv.
International Islamic Publishing House. Hal : 155-156
[5] Jalaluddin.
2018. Psikologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 291-292)
[6] Jalaluddin.
2018. Psikologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 297)
[7] Jalaluddin.
2018. Psikologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 425)
[8] Jalaluddin.
2018. Psikologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 416-417)
[9] Jalaluddin.
2018. Psikologi Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (halaman : 414)
[11] Moch.Syahroni
Hasan. 2017.Manajemen Marah dan
Urgensinya dalam Pendidikan. ( Al Idaroh, Volume 1 No.2, Edisi September 2017)hal
87-89
Posting Komentar untuk "Emosi Dalam Psikologi Islam"
Berkomentar dengan baik. Mohon tidak spam.